Urgensi Aturan Eksekusi Aset Kripto: Tantangan Pembaruan Hukum Perdata dalam Era Digital

11 December 2025 | Fikrinur Setyansyah
Fikrinur Setyansyah

format_quote

Pendahuluan

Kemajuan teknologi menciptakan dikotomi norma. Peraturan hukum sering kali gagal mengakomodasi aset digital yang berkembang di masyarakat. Hal ini menjadi tantangan serius dalam eksekusi perdata. Untuk mengatasinya, hukum harus bersifat antisipatif dan menjadikan teknologi sebagai rekan strategis. Dengan sinergi ini, sistem hukum diharapkan mampu memberikan keadilan dan penegakan hukum yang efektif. Salah satu isu mendesak terkait hal tersebut adalah kripto.

Aset kripto adalah aset yang keamanannya dijamin dengan kriptografi. Popularitasnya meningkat beberapa tahun belakangan karena sifatnya yang tidak terikat oleh otoritas pusat. Adanya kripto membuat kompleksitas eksekusi perdata menjadi titik awal pembaruan hukum di Indonesia. Hal itu dikarenakan kripto sudah banyak digunakan sebagai komoditas/aset digital. Namun, hingga sekarang belum terdapat aturan yang mengatur apabila aset tersebut menjadi objek sengketa dalam perkara perdata. Kondisi tersebut dapat menjadi permasalahan apalagi hakim tidak boleh menolak suatu perkara sesuai asas Ius Curia Novit.

Ketiadaan peraturan yang spesifik mengenai hal tersebut menyebabkan eksekusi terhadap aset kripto yang nantinya bila menjadi objek sengketa menjadi sulit untuk ditegakkan. Saat ini prosedur eksekusi perdata masih merujuk pada ketentuan HIR/RBg yang berorientasi pada aset yang berbentuk fisik yang dibuktikan dengan surat dari lembaga resmi. Berbeda dengan aset kripto yang bersifat anonimitas, desentralisasi, dan borderless yang memicu tantangan lebih kompleks, terutama tentang identifikasi dan pengamanan aset kripto yang berada di luar otoritas berwenang.

Mengurai Kompleksitas: Aset Kripto sebagai Problematika Eksekusi

Tantangan tentang aset kripto terlihat nyata pada penegakkan hukum di Indonesia. Meskipun berlatar belakang pidana, kasus PT. Asabri menyingkap satu masalah yang fundamental. Kejagung pada 2021 menemukan modus pencucian uang menggunakan aset kripto dalam kasus yang merugikan negara 23,7 triliun rupiah.Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat diduga membeli Bitcoin menggunakan nominee melalui PT. Indodax untuk menyamarkan hasil korupsi. Keberhasilan penyitaan aset digital tergantung pada perolehan dan penguasaan private key. Proses penyitaan menghadapi kendala signifikan karena tersangka menolak menyerahkan private key dan menggunakan rekening atas nama orang lain untuk menyembunyikan aset, bahkan Penyidik kesulitan dalam mengusut transaksi karena kompleksitas pelacakan.

Keberhasilan penyitaan aset digital tergantung pada perolehan dan penguasaan private key. Meskipun penegak hukum di bidang pidana memiliki kewenangan yang kuat, mereka harus berjuang untuk mengamankan aset melalui pembuatan controlled crypto wallet. Proses penyitaan aset kripto ini tidak seperti menyita properti fisik, melainkan memerlukan proses tracing dan pengamanan yang sangat spesifik.

Kondisi ini menjadi bukti empiris untuk menyoroti kekosongan dan urgensi di ranah perdata. Juru sita pengadilan perdata tidak dilengkapi dengan instrumen hukum yang setara untuk memaksa penyerahan private key dari debitur. Akibatnya, apabila suatu saat terdapat eksekusi aset kripto di ranah perdata. Hal tersebut menjadi non-executable, sementara di ranah pidana setidaknya masih ada mekanisme paksaan di bawah undang-undang khusus. Oleh karena itu, ranah perdata harus menjadi fokus utama pembaruan, karena tanpa regulasi, putusan condemnatoir akan selamanya berakhir menang di atas kertas.

Prospek Pembaruan Hukum dan Solusi Adaptif

Perlu ada pergeseran paradigma. Dari benda fisik dan teritorial menjadi kerangka regulasi yang adaptif. Solusi mendasar yang dilakukan adalah penyesuaian status hukum aset kripto di hukum kebendaan. Sekarang aset kripto telah diakui sebagai komoditas di Indonesia.

Penyesuaian ini harus diikuti penguatan wewenang pengadilan yang bertujuan memaksimalkan kolaborasi dengan otoritas perdagangan resmi. Pengadilan Negeri perlu diberi kewenangan yang diatur dalam instrumen hukum secara relevan dan memadai yang dapat memberikan penetapan kepada pihak ketiga untuk membekukan atau melakukan penjualan aset yang dieksekusi secara digital tanpa memandang keberadaan fisik aset. Untuk modelnya dapat meniru model eksekusi surat berharga yang mendasarkan pada instruksi elektronik ke lembaga kliring.

Selain penyesuaian regulasi dalam negeri, Pengadilan Negeri harus beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Pengadilan harus didorong untuk mengadopsi pendekatan yudisial yang lebih progresif dalam menjawab tantangan borderless. Dalam konteks aset kripto disimpan di luar negeri, Pengadilan dapat menerapkan asas-asas hukum perdata internasional. Majelis Hakim diberikan wewenang kepada debitur atau pihak yang memiliki kewajiban pembayaran untuk menyediakan private key yang dijamin kerahasiaannya di bawah pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan instruksi kepada penyedia/jasa wallet untuk memfasilitasi proses transfer aset kripto. Sementara untuk aset di luar negeri, Mahkamah Agung dapat menjalin Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance Treaty/MLAT) ke otoritas terkait yang memuat tentang aset digital. Tanpa kerangka hukum internasional yang tepat, upaya eksekusi aset kripto lintas negara akan menemui jalan buntu tanpa arti.

Ilmu dari Korea Selatan: Keberhasilan Sistem Pelacakan Terintegrasi

Melalui National Tax Service (NTS), Korea Selatan berhasil menyita dan melikuidasi aset kripto senilai lebih dari 140 miliar won atau sekitar 108 juta dolar AS dari 14.140 individu selama periode 2021-2024. Pada tahun pertama implementasi (2021), NTS berhasil menyita 71,2 miliar won dari 5.741 individu. Keberhasilan ini dimungkinkan setelah Mahkamah Agung Korea Selatan pada tahun 2018 mengakui aset virtual sebagai properti tak berwujud yang dapat disita, setara dengan saham atau hak cipta.

Di tingkat provinsi, Gyeonggi menunjukkan inovasi melalui implementasi sistem pelacakan digital yang berhasil mengumpulkan 6,2 miliar won atau sekitar 4,6 juta dolar AS dari 2.390 pelanggar pada tahun 2023. Sistem digital ini secara drastis mengurangi waktu investigasi dari enam bulan menjadi hanya 15 hari dengan membandingkan data nomor registrasi penduduk dengan akun di bursa kripto domestik. Berbeda dengan Indonesia yang hingga saat ini belum memiliki sistem pelacakan terintegrasi digital yang efisien.

Keberhasilan Korea Selatan ditentukan tiga hal: kerja sama struktural dengan bursa kripto domestik; keputusan hukum yang mengakui aset virtual sebagai properti tak berwujud yang dapat disita; dan amandemen National Tax Collection Act tahun 2022 yang memungkinkan penjualan langsung aset kripto yang disita melalui bursa domestic. Penegakan yang ketat ini terus berlanjut hingga 2025, dengan NTS bahkan memperluas kewenangan untuk menyita cold wallet melalui penggeledahan rumah apabila diduga ada penyembunyian aset guna menghindari pajak.

Kesimpulan dan Penutup

Kesimpulannya, kompleksitas aset kripto seperti sifat nirwujud, kendali private key hingga operasional yang desentralistik dan borderless menyebabkan posisi aturan perdata Indonesia di titik krusial. Saat ini aturan eksekusi menitik beratkan pada orientasi fisik dan teritorial. Akibatnya, amar putusan yang memiliki sifat condemnatoir sulit ditegakkan pada aset digital seperti kripto. Untuk itu dibutuhkan sinergi regulasi domestik dengan strategi internasional yang terwujud dalam konsep normatif. Konsep tersebut mencakup penguatan wewenang juru sita melalui instrumen teknis dengan pembuatan Peraturan Mahkamah Agung Tentang Eksekusi Aset Digital atau pembentukan undang-undang hukum perdata; penyesuaian status hukum kripto di ranah hukum perdata berkolaborasi hukum dengan BAPPEBTI dan bursa kripto; serta membangun kapasitas pelacakan digital untuk mengamankan aset kripto dalam eksekusi perdata.

Pada akhirnya, keberhasilan penegakkan hukum perdata terhadap aset digital ditentukan oleh kemampuan lembaga peradilan untuk beradaptasi. Hukum tidak hanya digunakan untuk mengejar ketertinggalan, namun harus dapat menjadi rekan strategis dalam mewujudkan keadilan dan kepastian dalam aset yang nirwujud. Modernisasi eksekusi perdata adalah harga mati untuk mewujudkan hal tersebut.

Referensi

[1] D. M. Nazar, Y. Febrianty, and Mahipal, “Implementasi penggunaan cryptocurrency dalam perspektif hukum perdata dan hukum Islam guna mencapai kepastian hukum para pihak di Indonesia,” Jurnal Multilingual, vol. 4, no. 3, pp. 154–173, 2024.

[2] K. Erdianto, “Tiga tersangka korupsi Asabri diduga cuci uang lewat Bitcoin,” Kompas.com, Apr. 21, 2021. [Online]. Available: https://nasional.kompas.com/read/2021/04/21/11405121/tiga-tersangka-korupsi-asabri-diduga-cuci-uang-lewat-bitcoin

[3] “Kejagung temukan bukti tersangka Asabri cuci uang hasil korupsi di Bitcoin,” Harianjogja.com, Apr. 17, 2021. [Online]. Available: https://news.harianjogja.com/read/2021/04/17/500/1069221/kejagung-temukan-bukti-tersangka-asabri-cuci-uang-hasil-korupsi-di-bitcoin

[4] “Kejagung mengaku kesulitan usut TPPU melalui Bitcoin di kasus Asabri,” Tempo.co, Apr. 21, 2021. [Online]. Available: https://nasional.tempo.co/read/1454815/kejagung-mengaku-kesulitan-usut-tppu-melalui-bitcoin-di-kasus-asabri

[5] “Diduga gagal buktikan aliran dana Bitcoin di Asabri, Kejagung diminta tak beropini,” Medcom.id, Jan. 12, 2022. [Online]. Available: https://www.medcom.id/ekonomi/keuangan/akWxw0aK-diduga-gagal-buktikan-aliran-dana-bitcoin-di-asabri-kejagung-diminta-tak-beropini

[6] F. R. Muslim and Urbanisasi, “Kualifikasi hukum crypto asset sebagai benda tidak berwujud dalam sistem hukum keperdataan Indonesia,” Jurnal Multilingual, vol. 5, no. 1, pp. 494–505, 2025.

[7] H. V. Tambunan and E. N. Butarbutar, “Kepastian hukum eksekusi aset digital kripto sebagai jaminan pelunasan hutang: Legal certainty execution of digital crypto assets in Indonesia as guarantee for debt payment,” Jurnal Hukum Justice, vol. 10, pp. 10–20, 2024.

[8] N. W. Adyawan, “Klasifikasi kebendaan aset kripto serta perolehan hak kebendaannya berdasarkan KUHP Perdata,” Aliansi: Jurnal Hukum, Pendidikan dan Sosial Humaniora, vol. 1, no. 5, pp. 158–172, 2024.

[9] M. R. Fadhali and P. L. S. Sewu, “Tinjauan hukum aset kripto dihubungkan dengan sistem hukum jaminan dan pengamanannya di Indonesia,” Veritas: Jurnal Program Pascasarjana Ilmu Hukum, vol. 10, no. 2, 2024.

[10] “Tax agency seizes over W146b in unpaid taxes through seizure of virtual assets,” The Korea Herald, Oct. 7, 2025. [Online]. Available: https://www.koreaherald.com/article/10590016

[11] “South Korea seizes $106m in crypto from tax delinquents since 2021,” Crowdfund Insider, Sep. 21, 2025. [Online]. Available: https://www.crowdfundinsider.com/2025/09/252021-south-korea-seizes-106m-in-crypto-from-tax-delinquents-since-2021/

[12] “South Korean province implements digital system to track tax evaders' crypto,” Cointelegraph, Feb. 22, 2024. [Online]. Available: https://cointelegraph.com/news/south-korea-track-crypto-tax-evaders

[13] “South Korea ramps up crypto seizures, will target cold wallets,” TradingView News, Oct. 8, 2025. [Online]. Available: https://www.tradingview.com/news/cointelegraph:847a64b05094b:0-south-korea-ramps-up-crypto-seizures-will-target-cold-wallets/