PEMBENTUKAN BADAN EKSEKUSI DI INDONESIA: TELAAH PENGUATAN SISTEM EKSEKUSI PERDATA MELALUI RESTRUKTURISASI ORGANISASI

18 December 2025 | Denny Budi Kusuma
Denny Budi Kusuma

format_quote

Latar Belakang

Eksekusi adalah suatu upaya realisasi hak secara paksa yang dilakukan oleh pengadilan berdasarkan permohonan satu pihak terhadap pihak lain yang tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya di dalam putusan pengadilan dalam perkara perdata maupun putusan lembaga kuasi yudisial dan dokumen lain yang dipersamakan putusan.

Merujuk pandangan Lawrence M. Friedman tentang elemen sistem hukum dalam bukunya Legal System: A Social Science Perspective, bekerjanya eksekusi perdata juga bergantung pada tiga elemen, yaitu struktur yang merupakan lembaga yang menjaga keberlangsungan sistem eksekusi, substansi yang terdiri dari perangkat aturan yang mencakup norma pelaksanaan eksekusi dan norma untuk menentukan validitasnya, serta budaya hukum berupa nilai dan sikap sosial masyarakat yang melingkupinya. Setiap elemen memiliki fungsi tersendiri dan bergerak dalam satu kesatuan hubungan yang saling mempengaruhi untuk mewujudkan tujuan eksekusi, yaitu menciptakan masyarakat yang sejahtera melalui keadilan, yakni semua orang mendapatkan haknya.

Eksekusi perdata sebagai sebuah sistem menghadapi masalah pada tataran praktik di semua elemen hingga kerap sulit penyelesaiannya bahkan mandek. Hal ini tentu berdampak menghambat akses keadilan, melemahkan wibawa peradilan, hingga pada skala lebih besar akan menurunkan iklim bisnis dan upaya pemulihan lingkungan hidup. Paul Bohannan, seorang ahli sosiologi hukum, menyatakan bahwa struktur merupakan elemen utama dari sistem hukum karena kerangka lembaga inilah yang bertugas menjalankan sistem hukum.[1]

Sistem eksekusi perdata di Indonesia memerlukan penelitian lebih lanjut, antara lain terkait analisis elemen struktur dalam bekerjanya sistem eksekusi, dimana penelitian ini bertujuan menjawab dua permasalahan pokok, pertama, bagaimana urgensi penataan kembali kelembagaan dalam sistem eksekusi perdata? Kedua, bagaimana konsep lembaga yang ideal diterapkan dalam sistem eksekusi perdata?

Urgensi Penataan Kembali Kelembagaan

Urgensi penataan kembali kelembagaan dalam sistem eksekusi di Indonesia dapat diketahui melalui analisa berdasarkan alasan berbasis pada kepentingan dan kebutuhan yang ditinjau dari perspektif filosofis, sosiologis, dan yuridis. Titik berangkat aspek filosofis adalah nilai utama yang hendak diwujudkan oleh para pendiri Indonesia, yaitu keadilan. Keadilan tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum Indonesia. Keadilan bersifat teleologis atau tujuan dari bangsa yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur sebagaimana pembukaan UUD 1945.[2]

Keadilan menurut filsuf Ulpianus adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi).[3] Pengakuan dan perlindungan terhadap hak demikian menjadi fondasi dan jiwa dari konsep negara hukum. Pancasila sebagai landasan filosofis merupakan dasar pembentukan sistem hukum di Indonesia. Salah satu prinsip negara hukum Pancasila ialah memiliki lembaga peradilan yang independen.

Keadilan dapat dicapai melalui realisasi hak keperdataan lewat sarana eksekusi. Eksekusi berperan menjembatani dua tatanan yang secara diametral berbeda yakni antara tatanan ideal (sollen) dengan kenyataan (sein) agar tidak terjadi jurang perbedaan antara hak yang diakui dengan hak yang terpenuhi. Wewenang pelaksanaan eksekusi itu merupakan tanggung jawab lembaga peradilan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain sebagaimana amanat negara hukum Pancasila.

Pada aspek sosiologis, disarikan dari kertas kebijakan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), terdapat beberapa masalah pada elemen struktur dalam sistem eksekusi perdata. Pertama, dari sisi ketua pengadilan, kinerjanya rentan kurang optimal akibat besarnya tanggung jawab, selain memutus perkara dan memimpin pengadilan juga ditugasi memimpin eksekusi. Kedua, dari sisi panitera dan jurusita, belum mampu memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan tugasnya, baik dari segi jumlah personil maupun kompetensinya. Ketiga, dari sisi hubungan lembaga, minimnya dukungan lembaga lain kepada pengadilan.[4]

Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan pelaksanaan eksekusi masih jauh dari harapan. Ironinya, pencari keadilan-lah yang harus menanggung sejumlah beban, antara lain tingginya biaya permohonan eksekusi, kesulitan menelusuri harta termohon, ketidakpastian jangka waktu penyelesaian, hingga kegagalan memperoleh haknya akibat eksekusi dinyatakan tidak dapat dilaksanakan.

Penegakan hukum sesungguhnya belum selesai dengan adanya putusan atau dokumen lain yang dipersamakan itu, lebih esensial bagi pencari keadilan ialah pelaksanaan/pemenuhannya, baik secara sukarela maupun melalui eksekusi, guna memastikan tegaknya hukum dalam bentuk konkrit, terpenuhinya hak-hak para pihak, dan berakhirnya sengketa secara keseluruhan.

Pertimbangan aspek yuridis mengacu pada asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Demi mencapainya, lembaga peradilan diberi tugas untuk membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan.[5] Penyelesaian eksekusi adalah salah satu ukuran kinerja kekuasaan kehakiman karena mencerminkan kemampuan sistem peradilan untuk memastikan bahwa putusan benar-benar dijalankan.

Rencana Strategis Mahkamah Agung Tahun 2025-2029 pada Sasaran Strategis 1 tentang “Terwujudnya peradilan yang efektif, transparan, akuntabel, responsif, dan modern”, salah satu indikatornya ialah “Persentase penyelesaian permohonan eksekusi putusan perdata, perdata agama, dan tata usaha negara”. Guna mencapai sasaran itu, telah diidentifikasi sejumlah regulasi yang dinilai mendesak pembentukannya, diantaranya RUU Hukum Acara Perdata, RUU Kekuasaan Kehakiman, RUU Mahkamah Agung dan Badan Peradilan, RPerpres Sekretariat Mahkamah Agung, PERMA Pelaksanaan/Eksekusi Putusan Perdata, dan Regulasi tentang Pedoman Tugas, Administrasi Perkara, dan Manajemen Peradilan Berbasis Sistem Digital.[6]

Pembahasan kerangka regulasi menjadi momentum penataan kembali kelembagaan dalam sistem eksekusi agar langsung terakomodasi di dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan tersebut. Solidnya dasar hukum akan memacu kinerja kekuasaan kehakiman untuk mengaktualkan penyelesaian eksekusi yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Konsep Lembaga yang Ideal

Penyelesaian perkara yang efektif dan efisien adalah aspek fundamental dalam mewujudkan keadilan. Lembaga peradilan dituntut memiliki fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dinamika hukum dan perkembangan masyarakat. Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan yakni melalui restrukturisasi organisasi untuk memastikan sistem hukum yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Restrukturisasi organisasi yang krusial dilakukan Mahkamah Agung dalam sistem eksekusi perdata ialah membentuk Badan Eksekusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas menyelesaikan eksekusi perdata. Guna memudahkan tata laksana, Badan Eksekusi hendaknya ditempatkan di bawah koordinasi Sekretariat Mahkamah Agung dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Dalam melaksanakan tugas, Badan Eksekusi mengemban 6 (enam) fungsi, yakni pelaksana, koordinasi, sinkronisasi, kebijakan, pembinaan, dan administrasi.

Fungsi pelaksana yaitu mengambil alih tanggung jawab ketua pengadilan untuk menyelesaikan permohonan eksekusi. Ketua pengadilan didorong agar fokus meningkatkan kualitas dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara selaku hakim serta kualitas kepemimpinan peradilan, karena kualitas putusan bertalian erat dengan kompleksitas eksekusinya. Penyelesaian eksekusi yang merupakan tahapan paling sulit dan rumit dalam penanganan perkara akan diselesaikan secara komprehensif oleh Badan Eksekusi. Pembagian tugas akan mengakselerasi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan keadilan.

Fungsi koordinasi mencakup hubungan kelembagaan dengan internal dan eksternal peradilan. Koordinasi internal bertujuan untuk mendekatkan akses keadilan bagi masyarakat, sedapat mungkin sejumlah tahapan tetap dilakukan di pengadilan oleh Badan Eksekusi, misalnya pendaftaran permohonan dan penyampaian peringantan. Koordinasi eksternal bertujuan untuk mendapatkan dukungan kebijakan penyelesaian eksekusi, diantaranya dengan lembaga eksekutif, legislatif, penyedia informasi dan pengelola aset, lembaga yang melakukan penyitaan atau pemblokiran aset, penilai publik, kantor lelang, media massa, lembaga adat, keamanan, dan instansi swasta. Pengoordinasian akan membentuk kerangka kerja yang utuh, terkendali, dan teratur.

Fungsi sinkronisasi merupakan pengoleksian data informasi aset dari berbagai lembaga yang disusun secara terorganisir dan disimpan secara elektronik untuk keperluan proses eksekusi. Basis data aset ini akan memudahkan jurusita saat melakukan penelusuran aset. Selanjutnya terhadap aset yang berada dalam penyitaan akan dipublikasikan detailnya pada suatu portal nasional yang dapat diakses publik dengan maksud untuk mencegah pengalihan dan penjaminan aset yang dapat menghambat eksekusi. Portal dimaksud juga menampilkan aset yang hendak dilelang untuk mendapatkan harga kompetitif.

Fungsi kebijakan meliputi wewenang perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta standardisasi teknis untuk merespons kebutuhan pencari keadilan guna memberikan pelayanan publik yang prima dan mempercepat penyelesaian eksekusi. Fungsi ini juga dimaksudkan untuk memberi masukan pada Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya agar menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang mendukung pelaksanaan eksekusi, sehingga setiap kebijakan konsisten, selaras, dan tidak bertentangan dengan kebijakan lainnya.

Fungsi pembinaan menuntut semua personel mengikuti pelatihan berkelanjutan di bidang eksekusi, seperti hukum bisnis, teknik eksekusi, memahami dokumen yang dipersamakan putusan, penelusuran aset, menilai barang hasil sita, strategi negosiasi, dan melakukan lelang yang efektif. Tujuannya untuk memastikan setiap personel memiliki tingkat keilmuan dan kemahiran yang mumpuni. Personel pada setiap perwakilan Badan Eksekusi terdiri dari para hakim tinggi yustisial baik dari peradilan umum maupun peradilan agama, serta dibantu panitera, jurusita, dan staf dengan komposisi berbasis analisa beban kerja.

Fungsi administrasi ialah pelaksanaan dukungan di bidang teknis, administrasi yustisial, pengorganisasian, ketatausahaan, kepegawaian, kehumasan, keprotokolan, dan keuangan dalam mendukung tugas penyelesaian eksekusi.

Tantangan hukum perdata ke depan kian kompleks akibat masifnya kemajuan teknologi, tidak hanya lokal namun lintas batas negara. Mahkamah Agung memainkan peran penting sebagai lembaga tunggal penyelesaian eksekusi perdata. Penyelesaian eksekusi yang terintegrasi dan kohesif oleh Badan Eksekusi akan menciptakan sistem eksekusi perdata yang lebih kuat dan berkelanjutan, sehingga Mahkamah Agung menjadi simbol keadilan yang dipercaya oleh masyarakat luas.

Penutup

Terdapat kepentingan dan kebutuhan untuk menata kembali kelembagaan dalam sistem eksekusi perdata di Indonesia baik ditinjau dari perspektif filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Mahkamah Agung perlu melakukan restrukturisasi organisasi dengan membentuk Badan Eksekusi yang bertugas menyelesaikan eksekusi secara terintegrasi dan kohesif untuk menciptakan sistem eksekusi perdata yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Referensi

[1] Muh. A. Mahfud, Pengantar Ilmu Hukum. Semarang: Yoga Pratama, 2024.

[2] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[3] F. M. Sidik, M. N. Munggaran, dan M. A. Pratama, “Konsep Keadilan dalam Hukum dan Moralitas menurut Marcus Tullius Cicero: Relevansinya terhadap Pemikiran Filsafat Hukum,” Nusantara, Juni 2025.

[4] M. T. Aziezi dkk., “Kertas Kebijakan Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata di Indonesia,” LeIP, Jakarta, Sep 2019.

[5] Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[6] Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 167/KMA/SK.RA1.3/IX/2025 tentang Rencana Strategis Mahkamah Agung RI Tahun 2025-2029.