Tumpang Tindih Putusan Pengadilan dan Kepastian Hukum Eksekusi

12 December 2025 | Bagus Mizan Albab
Bagus Mizan Albab

format_quote

Latar Belakang

Eksekusi merupakan mahkota bagi Pengadilan dimana akhir dari perjalanan sebuah putusan adalah pada kekuatan eksekusinya. Pada prinsipnya, eksekusi tidak perlu melalui Pengadilan apabila terhadap pihak yang dikalahkan dalam putusan, berkehendak secara sukarela untuk melakukan atau memenuhi prestasi dari isi putusan. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengadilan, terletak pada upaya memastikan agar permohonan eksekusi dapat dilaksanakan secara efektif. Meskipun tidak setiap permohonan eksekusi harus dikabulkan, namun melalui mekanisme pelaksanaan tersebut, tampak bahwa ketua Pengadilan bahkan lembaga peradilan itu sendiri sedang berupaya mewujudkan fungsi dan kewenangannya secara substansial.

Salah satu kendala dalam pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan yaitu adanya putusan pengadilan yang tumpang tindih, atau dengan kata lain mengandung sifat nebis in idem sehingga terhadap objek perkara yang sama tersebut masing-masing pihak memiliki hak berdasarkan putusan pengadilan. Sehingga terhadap hal tersebut tentu menjadi sebuah tantangan bukan hanya bagi ketua pengadilan, tetapi juga bagi hakim dalam memeriksa perkara perdata serta kebijakan Mahkamah Agung agar tumpang tindih putusan ini dapat dihindari demi terwujudnya kepastian hokum bagi pihak berperkara.

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai bagaimana pelaksanaan eksekusi atas putusan yang tumpang tindih? serta bagaimana Mahkamah Agung menyikapi hal tersebut guna memberikan kepastian bagi masyarakat? Oleh sebab itu, dengan dua rumusan masalah tersebut diatas, penelitian ini akan membangun kesamaan konstruksi berfikir bagi para hakim lebih berhati-hati dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata agar nantinya terhadap putusan yang dihasilkan dapat dilakukan eksekusi, serta saran inovasi dari penulis guna mengantisipasi putusan bersifat nebis in idem tersebut.

Hakim Bersikap Aktif

Salah satu dari tujuan putusan hakim yaitu dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang sedang bersidang. Sebagaimana tujuan hukum yang tercantum dalam teori etis dan teori utilitas yang menitikberatkan pada keadilan dan manfaat bagi orang lain. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut, hakim dalam memeriksa suatu perkara di persidangan harus berlandaskan pada fakta-fakta hukum yang terungkap selama proses persidangan.

Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim, masih terdapat perdebatan mengenai apakah hakim dalam perkara perdata seharusnya bersikap pasif atau diperkenankan bersikap aktif, namun esensi pelaksanaan hukum tetap harus diwujudkan, yakni tercapainya kepastian hukum, keadilan, dan ketertiban. Dalam praktiknya, hakim dituntut untuk tidak hanya berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan, tetapi juga menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law).

Konsep hakim bersifat pasif dewasa ini menurut penulis sudah tidak lagi relevan, mengingat masyarakat pencari keadilan membutuhkan kepastian hukum atas putusan pengadilan yang telah dibuat oleh para hakim. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Yahya Harahap yang mengatakan bahwa prinsip aktif merupakan pendekatan yang lebih baru yang muncul sebagai bentuk kritik atau tantangan terhadap prinsip pasif tersebut. Oleh sebab itu, apabila kita perbandingkan dengan proses hukum acara perdata, bahwasanya proses persidangan perdata merupakan salah satu proses yang cukup melelahkan, dimana perjalanan untuk 1 (satu) perkara mulai dari tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi. Oleh sebab itu, apabila dengan telah dilakukannya usaha sedemikian rupa pada saat pelaksanaan eksekusi dinyatakan non eksekutable, tentu hal ini bertolak belakang dengan tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yaitu kepastian dan keadilan serta terhadap asas sederhana cepat biaya ringan. Dengan demikian, hakim bersikap aktif terhadap perkara perdata, tentu memberikan kesempatan untuk hakim dalam menilai apakah perkara tersebut bersifat nebis in idem atau tidak.

Hakim bersifat aktif juga sejalan dengan sistem hukum yang dianut oleh Indonesia yaitu civil law. Sebagaimana diketahui, sistem inkuisitorial hakim memiliki peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus perkara. Disitulah peran hakim bersfat aktif dibutuhkan, seperti yang dipraktikan di Belanda dimana profesionalisme dan kejujuran hakim merupakan kunci dalam persidangan.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi pada dasarnya prinsip Hakim harus aktif dalam perkara perdata juga berpotensi menimbulkan kesan bertentangan atau berbenturan dengan asas ultra petitum partium (hakim tidak boleh melebihi tuntutan para pihak). Oleh karena itu, prinsip keaktifan Hakim dan ketidakberpihakan (imparsial) perlu dikaji lebih dalam untuk memastikan adanya keselarasan dengan asas-asas hukum acara perdata lain, seperti ultra petitum partium, et aequo et bono, ketidakberpihakan, dan prinsip Hakim bersikap pasif. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan agar penerapan sifat aktif pada diri hakim dalam memeriksa perkara perdata tidak mengganggu independensi dan netralitas hakim atau dengan kata lain agar putusan hakim tersebut tidak melebihi tuntutan atau ultra petita sebagaimana ketentuan pasal 178 (3) HIR.

Nebis In Idem dalam Perkara Perdata

Istilah nebis in idem sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1917 KUHPerdata yang pada pokoknya menerangkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum dan mengenai pokok perkara dengan kriteria apa yang dituntut harus sama, tuntutan harus sama, serta diajukan oleh pihakpihak yang sama. Sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung telah menerbitkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2022 tentang Penanganan Perkara yang berkaitan dengan Asas Nebis in idem yang menyatakan bahwa ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan ketentuan asas nebis in idem dengan baik demi kepastian bagi para pencari keadilan.

Selain itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1456 K/Sip/1967, tanggal 6 Desember 1969, yang pada pokoknya menyatakan hakikat nebis in idem adalah para pihak yang berperakra maupun barang yang disengketakan dalam gugatan perdata tersebut adalah sama. Begitupun dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1226/K/Pdt/2001, 20 Mei 2002 yang menyatakan meskipun kedudukan subjeknya berbedam akan tetapi memiliki kesamaan terhadap objek perkara terdahulu, maka gugatan tersebut tetap dinyatakan nebis in idem.

Sebagai seorang hakim, terkadang penulis menemui praktik yang dilakukan oleh para pihak untuk mencoba mengelabui sifat nebis in idem itu sendiri. Sebagai contoh terhadap perkara tanah yang diajukan pada tahun 2020, penggugat mendalilkan mengenai status kepemilikan tanah dan diputus bahwa tergugat adalah pemilik yang sah. Kemudian penggugat kembali mengajukan gugatan pada tahun 2025 dengan objek yang sama akan tetapi bukan terkait status kepemilikan, melainkan pembatalan akta notaris yang dijadikan sebagai bukti kepemilikan dari tergugat yang mana perkara tersebut telah diputus oleh hakim pada tahun 2020.

Hal ini harus diperhatikan dengan cermat oleh hakim agar status kepemilikan terhadap perkara yang memiliki pihak dan objek yang sama tidak diulang kembali perkaranya. Kondisi ketelitian yang demikian akan dapat diatasi oleh hakim apabila hakim tersebut bersifat aktif serta memperhatikan kualifikasi nebis in idem pada setiap perkara yang diduga sama menurut ketentuan Pasal 1917 KUHPerdata.

Terobosan Mahkamah Agung

Putusan tumpang tindih demikian, tentu dapat dilakukan eksekusi dengan ratio legis tidak mungkin dilakukan eksekusi apabila terdapat dua atau lebih putusan pengadilan dengan pihak yang dimenangkan berbeda, sehingga masing-masing pihak dianggap memiliki hak yang sama atas objek perkara yang disengketakan.

Mahkamah agung sebetulnya telah menindaklanjuti hal tersebut dengan SEMA 10 tahun 2009 jo SEMA Nomor 4 tahun 2016 yang mana terhadap dua putusan berkekuatan hukum tetap yang saling bertentangan dan salah satu diantaranya adalah putusan peninjauan kembali maka dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali untuk kedua kali.

Akan tetapi, tentu upaya peninjauan kembali tersebut akan lebih baik apabila dapat dilakukan pencegahan sejak dini, dimana penulis mengusulkan suatu terobosan pada aplikasi sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) yang digunakan oleh hakim pemeriksa perkara untuk mendeteksi dugaan atau indikasi perkara yang bersifat nebis in idem.

Pembaharuan SIPP

Mahkamah Agung perlu mengeluarkan inovasi berupa tambahan fitur dalam aplikasi SIPP berupa notifikasi pada aplikasi SIPP terhadap setiap perkara yang masuk pada akun hakim pemeriksa perkara. Adapun cara kerja dari notifikasi tersebut yaitu, ketika ketua pengadilan negeri telah membuat penetapan penunjukan majelis hakim, maka pada aplikasi SIPP majelis hakim tersebut secara sistem akan diberitahukan pada menu notifikasi mengenai adanya indikasi kesamaan terhadap perkara yang sedang ditangani.

Notifikasi pada aplikasi SIPP hakim pemeriksa perkara diperoleh dari data SIPP seluruh pengadilan negeri serta direktori putusan. Misalkan, terdapat perkara gugatan wanprestasi di PN Blangpidie dengan pihak fulan dan afan pada tahun 2010 dengan objek surat perjanjian nomor 001/PN/2010. Selanjutnya, pada tahun 2025 terdapat perkara dengan subjek dan objek yang sama masuk ke SIPP PN Blangpidie. Terhadap kondisi yang demikian, dikarenakan subjek dan objek yang sama pernah diajukan sebelumnya maka akun SIPP pada hakim pemeriksa terdapat notifikasi yang memberikan informasi bahwasanya gugatan yang demikian pernah diajukan, dengan menunjukan nomor perkara, pihak, dan objek sengketa terdahulu.

Dengan demikian, terhadap identifikasi atas kemiripan objek gugatan nantinya akan terbaca oleh sistem dari SIPP sehingga majelis hakim pemeriksa perkara dapat mengantisipasi apabila terdapat indikasi perkara yang bersifat nebis in idem.

Penutup

Dengan demikian, terhadap persoalan eksekusi dikarenakan adanya putusan tumpang tindih, sehingga terhadap perkara tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi, hal ini dapat dilakukan pencegahan dimulai dari perubahan paradigma dan pandangan agar hakim bersifat aktif. Dengan demikian, hal ini dapat mencegah putusan yang dihasilkan bersifat nebis in idem oleh karenanya tidak dapat dilakukan eksekusi. Selain itu, meskipun terhadap putusan tumpang tindih yang demikian dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali, tentu asas sederhana cepat dan biaya ringan dalam penegakan hukum akan lebih dirasakan oleh masyarakat jika dapat diantisipasi berupa penerapan asas kehati-hatian dalam perkara yang memiliki sifat nebis in idem tersebut. Salah satu inovasi yang penulis tawarkan berupa pembaharuan pada aplikasi SIPP berupa notifikasi atau early warning yang muncul di aplikasi SIPP hakim pemeriksa perkara atas indikasi perkara yang pernah diajukan sebelumnya, sehingga hakim pemeriksa perkara mendapatkan informasi yang utuh terhadap perkara yang sedang ditangani.

Referensi

[1] M.T. Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cet.1, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

[2] R. Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Cet.1, Pustaka Kartini, Jakarta. 1988.

[3] M. Y. Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Pernyetaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

[4] Marzuki, Penelitian Hukum; Teori dan Praktik, Kencana, Jakarta, 2017.

Sarwono, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

[5] M. Y. Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

[6] M. Y. Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

[7] Sunarto, Prinsip Hakim Aktif dalam Perkara Perdata, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 2, Juli 2016.

[8] N. Qomar, Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System. Pustaka Refleksi, . Makassar, 2010.

[9] A. Anita, Politik Hukum dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Dharmasisya Jurnal Program Magister Hukum FHUI, Vol.2, Desember 2022.