PROBLEMATIKA TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI PEMULIHAN ASET BARANG MILIK NEGARA

17 December 2025 | Anggita Tridiani Sirait
Anggita Tridiani Sirait

format_quote

Latar Belakang

Pelaksanaan eksekusi untuk memulihkan aset milik negara memiliki peran strategis yang sangat penting dalam konteks pemulihan kerugian negara. Melalui mekanisme eksekusi, negara dapat memastikan bahwa aset yang semula dikuasai atau dimanfaatkan secara tidak sah kembali berada di bawah pengelolaan Negara. Keberhasilan eksekusi tidak hanya diukur dari jumlah pengembalian aset secara fisik, tetapi juga mencakup kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas dalam prosesnya. Dengan demikian, eksekusi BMN berfungsi sebagai instrumen hukum sekaligus strategis untuk menjaga integritas pengelolaan keuangan negara, memberikan efek jera terhadap pelanggaran hukum, dan mendukung terciptanya tata kelola aset publik yang efisien dan berkelanjutan. Namun, praktik pemulihan aset yang melibatkan pihak ketiga atau swasta sering terhambat oleh penyalahgunaan permohonan Peninjauan Kembali (PK) meski seharusnya tidak menunda eksekusi sesuai Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,[1] sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengurangi efektivitas pemulihan aset negara secara efektif.

Permasalahan nyata dalam pemulihan aset Barang Milik Negara terlihat dari kasus eksekusi terhadap bangunan Rumah Makan Simpang Tiga di atas lahan milik PTPN IV Regional II yang dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Sei Rampah pada 8 Mei 2025. Negara mengalami kerugian sebesar Rp17,6 miliar akibat penyalahgunaan kewenangan oleh Pengurus Koperasi Karyawan Adolina melalui perjanjian sewa-menyewa yang tidak sah. Meskipun eksekusi dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,[2] kuasa hukum tergugat mengajukan Peninjauan Kembali dengan alasan eksekusi dilakukan secara sepihak tanpa konstatering atau verifikasi objek terlebih dahulu, sehingga menimbulkan kesan terburu-buru dan berat sebelah.[3] Kasus ini menyoroti kesenjangan antara kepastian hukum formal dan keadilan substantif, sekaligus menegaskan perlunya mekanisme eksekusi yang lebih efektif agar pemulihan aset negara dapat berjalan tanpa terganggu oleh strategi hukum yang menunda pelaksanaan putusan.

Kesenjangan hukum dalam pelaksanaan eksekusi pemulihan aset Barang Milik Negara memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab dua permasalahan utama, yaitu pertama, apa saja problematika yang muncul dalam pelaksanaan eksekusi oleh aparat negara, dan kedua, bagaimana strategi komprehensif yang dapat diterapkan untuk memastikan pemulihan kerugian negara berjalan efektif. Penelitian ini bertujuan menganalisis dan menjelaskan permasalahan hukum tersebut, sekaligus merumuskan strategi eksekusi yang dapat diimplementasikan oleh aparat negara secara transparan, akuntabel, dan efisien, sehingga pemulihan aset dan kerugian negara dapat terlaksana secara optimal.

Problematika Pelaksanaan Eksekusi oleh Aparat Negara

Kasus eksekusi pemulihan aset negara secara mendalam memperlihatkan kompleksitas dan tantangan multi faset yang dihadapi Negara dalam upaya pemulihan aset, khususnya dalam menegakkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.[4] Problematika utama yang terungkap adalah adanya ketegangan intrinsik antara prinsip kepastian hukum formal (rechtszekerheid) dengan tuntutan keadilan substantif dan prosedur yang transparan. Walaupun secara normatif putusan wajib dilaksanakan, kritik yang muncul dari pihak tergugat terkait pelaksanaan eksekusi secara sepihak, terutama ketiadaan konstatering (verifikasi dan pencocokan objek eksekusi) terlebih dahulu, menciptakan persepsi yang terburu-buru dan berat sebelah. Konstatering, yang seharusnya menjadi jembatan antara amar putusan dengan realitas lapangan, diabaikan, sehingga mengkhianati prinsip due process of law dan berpotensi melanggar hak-hak pihak terkait, termasuk pihak ketiga yang beritikad baik.

Kondisi ini kemudian merambah ke ranah administrasi kekayaan negara, mengingat aset yang dieksekusi adalah Barang Milik Negara (BMN). Karakteristik BMN yang dilindungi oleh prinsip kekebalan aset (imunitas) menuntut proses eksekusi yang sangat hati-hati dan legalistik.[5] Eksekusi yang cacat prosedural seperti tanpa konstatering berimplikasi langsung pada risiko sengketa lanjutan (derden verzet) dan mempersulit otoritas pengelola aset (DJKN) dalam menindaklanjutinya secara administrasi. Apabila objek terbukti salah atau terdapat keberatan sah, proses pertanggungjawaban dan Penghapusan BMN dari Daftar Barang Milik Negara menjadi terhambat atau bahkan cacat hukum, yang pada akhirnya merusak akuntabilitas keuangan negara. [6]

Lebih jauh, permasalahan ini diperparah oleh adanya aspek strategi hukum yang memanfaatkan celah prosedural untuk menghambat proses eksekusi. Secara yuridis, pengajuan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (PK) tidak memiliki daya tangguh (schorsende werking);[7] namun, dalam praktik pengajuan PK sering kali digunakan oleh Termohon Eksekusi sebagai delaying tactics yang membuat pengadilan bersikap de facto menunda eksekusi.[8] Keterlambatan ini bukan hanya menangguhkan pemulihan aset negara, tetapi juga memberi kesempatan kepada pihak yang kalah untuk melakukan tindakan-tindakan pengalihan atau penyembunyian aset. Oleh karena itu, efektivitas upaya pemulihan aset Negara sangat ditentukan oleh perbaikan mendasar pada prosedur eksekusi, yang harus secara tegas mengintegrasikan tahapan verifikasi lapangan yang partisipatif guna menjamin keadilan substantif, sekaligus meminimalkan risiko sengketa dan menjaga legitimasi institusi peradilan.

Strategi Komprehensif untuk Pemulihan Kerugian Negara

Isu sentral dalam penegakan hukum terhadap aset negara, khususnya dalam pelaksanaan eksekusi Barang Milik Negara, adalah efektivitas riil dari pemulihan kerugian keuangan negara. Kasus sengketa RM Simpang Tiga menjadi studi kasus yang revelan, menunjukkan bahwa keberhasilan eksekusi fisik yaitu pengembalian aset berupa bangunan tidak serta-merta menutup kerugian finansial yang ditaksir sebesar Rp17,6 miliar. Pendekatan yang hanya menitikberatkan pada aspek formal atau penguasaan fisik aset terbukti tidak memadai untuk menjamin bahwa kepentingan negara dari aspek ekonomi dan keadilan substantif terpenuhi secara optimal. Untuk memastikan pelaksanaan eksekusi BMN berkontribusi efektif dalam memulihkan kerugian keuangan negara, diperlukan reformulasi strategi yang lebih komprehensif, terstruktur, dan berorientasi pada hasil.

Strategi pemulihan kerugian negara harus dimulai dengan penerapan prosedur eksekusi yang transparan dan partisipatif. Meskipun eksekusi merupakan tindakan paksa, mekanisme konsultasi, verifikasi, dan keterlibatan aktif pihak-pihak terkait termasuk pemilik sah dan pihak ketiga yang berpotensi terdampak sangat dibutuhkan. Pelaksanaan yang tidak hanya sah secara hukum tetapi juga adil, transparan, dan mampu menjamin kepentingan publik, akan memperkuat legitimasi tindakan eksekusi itu sendiri dan meminimalkan risiko sengketa horizontal (derden verzet).

Lebih lanjut, fokus harus dialihkan pada kompensasi finansial dan nilai kerugian yang diderita negara. Eksekusi tidak boleh hanya berhenti pada kepastian hukum formal atas kepemilikan aset, melainkan harus berorientasi pada pemulihan kerugian negara untuk menjamin keadilan substantif. Diperlukan inovasi prosedural untuk menagih atau mengkompensasi nilai kerugian finansial yang terpisah dari aset fisik. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme gugatan ganti rugi yang terintegrasi atau penetapan sita jaminan atas aset pribadi pihak yang bertanggung jawab, yang nilainya setara dengan kerugian yang ditimbulkan. Aspek krusial lainnya adalah penguatan verifikasi objek (konstatering). Setiap tindakan eksekusi wajib didahului dengan verifikasi lapangan yang memadai terhadap objek sengketa dengan tujuan untuk meminimalkan risiko sengketa lanjutan, mencegah kesalahan objek (salah eksekusi), dan melawan persepsi ketidakadilan. Konstatering yang akuntabel sangat sejalan dengan prinsip tata kelola aset negara yang baik dan menjadi dasar administratif yang kuat bagi otoritas BMN sebelum melakukan tindakan penghapusan BMN.

Terakhir, dalam menghadapi upaya penghambatan, penting untuk memastikan putusan tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Meskipun terdapat upaya hukum luar biasa seperti permohonan Peninjauan Kembali (PK), Negara harus berpegangan teguh pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung, yang menegaskan bahwa permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan.[9] Penegasan prinsip non-schorsende werking ini sangat penting untuk menjaga kepastian hukum dan mencegah pemanfaatan proses hukum sebagai delaying tactics, sehingga efektivitas dan kecepatan pemulihan kerugian negara dapat terjamin. Reformulasi strategi eksekusi ini menjadi kunci untuk menutup kesenjangan antara pemulihan aset secara fisik dan realisasi manfaat finansial bagi keuangan negara.

Penutup

Pelaksanaan eksekusi pemulihan aset barang milik negara menghadapi sejumlah problematika, khususnya ketegangan antara kepastian hukum formal dan keadilan substantif, serta tantangan dalam efektivitas pemulihan kerugian negara. Kasus eksekusi BMN di Sei Rampah menunjukkan bahwa meskipun pengembalian aset secara fisik berhasil dilakukan berdasarkan putusan yang telah inkracht, kurangnya verifikasi dan partisipasi pihak terkait berpotensi menimbulkan persepsi ketidakadilan dan risiko sengketa lanjutan. Selain itu, keberhasilan prosedural dalam mengembalikan aset tidak selalu sejalan dengan pemulihan nilai ekonomi aset (kerugian sebesar Rp17,6 miliar), sehingga tujuan perlindungan keuangan publik belum sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu, pelaksanaan eksekusi aset BMN harus mengadopsi strategi yang komprehensif, menitikberatkan pada prosedur yang transparan, partisipatif, serta berorientasi pada pemulihan nilai kerugian negara untuk menjamin terwujudnya keadilan substantif sekaligus kepastian hukum.

Referensi

[1] S. Arifin, “Eksekusi Barang Milik Negara Terhadap Putusan Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (Inkracht Van Gewijsde),” J. Huk. Pertan., vol. 4, no. 1, pp. 48–56, 2023.

[2] Pengadilan Negeri Sei, “Pengadilan Negeri Sei Rampah Berhasil Laksanakan Eksekusi Pengosongan Aset Negara,” 2025. https://pn-seirampah.go.id.

[3] Novriandy, “Restoran Mewah Dibongkar Setelah 23 Tahun Beroperasi di Serdang Bedagai,” 2025. https://kabarmedan.com/restoran-mewah-dibongkar-setelah-23-tahun-beroperasi-di-serdang-bedagai/.

[4] F. Nugroho and N. A. Sinaga, “Mekanisme Upaya Hukum Verzet Terhadap Putusan Verstek dalam Hukum Acara Perdata,” Lex Laguens J. Kaji. Huk. dan Keadilan, vol. 3, no. 1, pp. 188–203, 2025.

[5] A. Jebabun, F. Abrar, L. Farihah, T. Aziezi, F. Aziz, and N. Wulandari, Asesmen Awal Permasalahan Eksekusi Putusan Perkara Perdata di Indonesia. Jakarta: LeIP: Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan, 2021.

[6] S. A. Juanda and Sudrajat, “Faktor Hambatan Penghapusan Barang Milik Negara ( BMN ) Di Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas 1A,” TEKNO J. Penelit. Teknol. dan Peradil., vol. 3, no. 1, pp. 42–50, 2025.

[7] N. Putra, Manfarisyah, and Ramziati, “Perlindungan Hukum Terhadap Perlawanan Tereksekusi Partij Verzet Atas Sita Eksekusi (Studi Putusan Nomor:16/PDT.BTH/2022/PN.KTN),” Suloh J. Fak. Huk. Univ. Malikussaleh, vol. 12, no. 1, pp. 13–25, 2024.

[8] R. Hartati and Syafrida, “Hambatan dalam Eksekusi Perkara Perdata,” ADIL J. Huk., vol. 12, no. 1, pp. 88–106, 2021.

[9] D. Angeliaa, R. Y. A. Silvana, I. F. Karima, D. Latifianib, and Y. D. Novitab, “Faktor Penghambat Dalam Eksekusi Perkara Perdata dan Inovasi Hukum Dalam Menanggulanginya,” J. Surya Kencana Satu Din. Masal. Huk. dan Keadilan, vol. 15, no. 2, pp. 115–127, 2024.