Studi Komparatif Jurusita Indonesia & 'Gerechtsdeurwaarder' Belanda: Relevansi Pembaruan Eksekusi

12 December 2025 | Hendra Abednego Halomoan Purba
Hendra Abednego Halomoan Purba

format_quote

Pendahuluan

Pelaksanaan putusan pengadilan merupakan mahkota dari keseluruhan proses pencarian keadilan, namun dalam praktiknya, putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tidak selalu dilaksanakan oleh pihak yang kalah secara sukarela, sehingga harus dilakukan dengan proses secara eksekusi [1]. Tanpa pelaksanaan eksekusi, putusan tersebut hanyalah kemenangan di atas kertas semata. Realitas menunjukkan gambaran yang kontradiktif, proses eksekusi putusan perdata, khususnya eksekusi riil, identik dengan kelambatan, biaya tinggi, dan kerap terkendala ketidakcermatan dari aparat dalam melakukan penyitaan yang menimbulkan masalah dalam pelaksanaan eksekusi [2].

Jurusita adalah aktor yang cukup sentral, terutama terkait pemberitahuan dan pelaksanaan putusan serta penyampaian panggilan kepada para pihak dalam suatu perkara. Di Indonesia, Jurusita berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), status ini menempatkan mereka dalam kerangka birokrasi peradilan yang kaku, bukanlah sebagai profesi hukum yang independen. Implikasi fundamentalnya adalah mekanisme kerja mereka yang birokratis, insentif berbasis gaji (bukan kinerja eksekusi), dan terpecahnya fokus dengan tugas administrasi kepaniteraan lainnya.

Ironisnya, sistem hukum Indonesia masih mempertahankan struktur Jurusita sebagai PNS, sedangkan Belanda sebagai negara “induk” sistem hukum kita, telah mereformasi total sistem eksekusinya. Belanda memperkenalkan model Gerechtsdeurwaarder yang secara harfiah berarti Petugas Pelaksana Pengadilan yaitu pejabat publik yang menjalankan profesinya secara independen sebagai seorang profesional liberal. Disparitas ini memunculkan pertanyaan mengapa Indonesia masih bertahan dengan model warisan kolonial yang terbukti kurang efektif dalam mewujudkan kepastian hukum. Artikel ini menganalisis perbedaan tersebut dengan dalam dua rumusan masalah yaitu (i) Bagaimana perbedaan fundamental terkait status, kewenangan, mekanisme kerja, dan pengawasan antara Jurusita di Indonesia dan Gerechtsdeurwaarder di Belanda, dan (ii) Relevansi apa yang dapat ditarik dari kelebihan dan sistem kerja Gerechtsdeurwaarder di Belanda untuk mengatasi problematika efektivitas eksekusi perkara perdata di Indonesia?

Komparasi Dua Model Pelaksana Eksekusi

Sistem hukum di Indonesia menempatkan Jurusita sebagai bagian integral dari suatu institusi pengadilan negeri. Sebagai PNS yang berada dibawah Mahkamah Agung (MA), Jurusita tunduk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara dan regulasi internal MA, sehingga menjadikan mereka aparat birokrasi yang digaji negara. Tugas dan fungsi Jurusita diatur dalam PERMA Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretariat Peradilan, yang meliputi pemanggilan, pelaksanaan pemberitahuan sita dan eksekusi, pelaksanaan persiapan sita dan eksekusi, pelaksanaan sita dan eksekusi dan pernyusunan berita acaranya, serta pelaskanaan penyerahan berita acara sita dan eksekusi kepada pihak terkait [3].

Berdasarkan tugas tersebut, kewenanangan Jurusita bersifat bersifat pasif dan derivatif, artinya menunggu perintah atau penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana diatur Pasal 195 HIR/209 RBg. Alur kerjanya sangat birokratis, dimana pemenang perkara harus memohon eksekusi, kemudian Ketua Pengadilan Negeri akan memanggil pihak yang kalah untuk ditegur (aanmaning) agar memenuhi putusan dalam waktu 8 (delapan) hari. Jika pihak yang kalah abai, barulah penetapan sita eksekusi diterbitkan, setelah penetapan dikeluarkan, Jurusita baru dapat bekerja.

Keberhasilan Jurusita, khususnya dalam eksekusi riil, sangat bergantung pada bantuan pengamanan eksternal, yaitu Polri. Praktik lapangan, menunjukkan adanya biaya pengamanan dan operasional yang harus ditanggung oleh pemenang eksekusi, hal ini menambah kompleksitas birokrasi dan mengaburkan transparansi biaya. Lebih lanjut, pengawasan Jurusita bersifat internal dan hierarkis berjenjang (oleh Panitera dan Ketua Pengadilan Negeri), sehingga fokus pengawasan cenderung administratif, bukan pada akuntabilitas profesional atas keberhasilan eksekusi. Sebaliknya, Belanda menerapkan model yang berbeda secara diametral, yaitu model Gerechtsdeurwaarder. Secara historis Gerechtsdeurwaarder berasal dari istilah Perancis kuno yaitu “Bailiff of Justice”, yang berarti penjaga pengadilan [4]. Peran ini berevolusi dari sekadar menjaga ketertiban sidang menjadi penegak keputusan pengadilan.

Saat ini, Gerechtsdeurwaarder dalam sistem hukum Belanda adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang diangkat oleh Raja, namun beroperasi sebagai profesional swasta dalam kantor mandiri. Mereka tidak digaji oleh negara, melainkan hidup dari jasa profesional yang mereka berikan. Status ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Gerechtsdeurwaarderswet (Undang-Undang Jurusita Belanda) : De gerechtsdeurwaarder is een openbaar ambtenaar, belast met de taken die hem bij of krachtens de wet en in het bijzonder bij of krachtens het Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering zijn opgedragen”, yang apabila diterjemahkan secara bebas ke Bahasa Indonesia berarti: Jurusita adalah seorang pejabat publik, yang dibebani dengan tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh atau berdasarkan undang-undang”. Jadi, Gerechtsdeurwaarder memiliki wewenang paksa sebagai pejabat publik, namun status ketenagakerjaannya adalah profesional swasta yang membedakan mereka dari PNS [5].

Gerechtsdeurwaarder memiliki monopoli kewenangan untuk melakukan mengeluarkan surat perintah resmi dan melaksanakan eksekusi putusan (penyitaan, lelang, pengosongan). Mereka bertindak aktif atas kuasa klien (pemenang perkara) tanpa menunggu perintah birokratis dari pengadilan. Mekanisme kerjanya berorientasi pada hasil dan efisiensi, klien sebagai pemenang perkara akan datang ke kantor Gerechtsdeurwaarder dan membayar tarif profesional yang telah distandarisasi oleh pemerintah, hal tersebut membuat mereka memiliki insentif ekonomi yang kuat untuk melaksanakan eksekusi secepat mungkin [6].

Mengingat status swasta publik dari Gerechtsdeurwaarder, maka pengawasannya dilakukan secara ganda dan ketat. Pertama, akan diawasi oleh organisasi internal profesi mereka sendiri yaitu Koninklijke Beroepsorganisatie van Gerechtsdeurwaarders (KBvG), lalu kedua diawasi oleh lembaga pengawas eksternal independen, yaitu Bureau Financieel Toezicht (BFT), yang mengawasi aspek keuangan dan integritas mereka. Berikut adalah tabel perbandingan mendalam antara kedua sistem tersebut:

Aspek Perbandingan

Jurusita

Gerechtsdeurwaarder

Dasar Hukum & Kewenangan

PermenPANRB Nomor 19 Tahun 2018 (Jabatan Fungsional), HIR dan RBg (hukum acara), serta PERMA Nomor 7 Tahun 2015. Kewenangannya bersifat prosedural administratif.

Pasal 2 Gerechtsdeurwaarderswet (jabatan dan kewenangan), dan Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) sebagai dasar kewenangan atributif undang-undang.

Status & Kedudukan

Pejabat Fungsional berstatus PNS dibawah MA.

Pejabat umum (openbaar ambtenaar), yang beroperasi sebagai profesional independen.

Fungsi & Sifat Wewenang

Melaksanakan tugas yudisial dan kepaniteraan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Wewenangnya bersifat delegatif dan pasif.

Fungsi Ambtelijk (Eksklusif): Mengeksekusi putusan, penyitaan, penyampaian akta. (Pasal 2 Gerechtsdeurwaarderswet), dan Fungsi Non-Ambtelijk (Komersial Non Ekslutif): Jasa inkaso (penagihan utang) dan nasihat hukum. (Pasal 19 Gerechtsdeurwaarderswet). Bersifat otonom dan aktif.

Sistem Upah

Gaji pokok PNS dan tunjangan kinerja.

Penghasilan dari jasa profesional (tarif diatur negara untuk tugas resmi, tapi tarif berdasarkan pasar untuk tugas komersil)

Mekanisme Pengawasan

Internal dan hierarkis oleh atasan langsung (Panitera & Ketua Pengadilan Negeri) dan Badan Pengawasan MA.

Bureau Financieel Toezicht (BFT) untuk pengawasan finansial dan administrasi. Kamer voor Gerechtsdeurwaarders (Majelis Disiplin Bailiff) untuk pengawasan disiplin dan etika.

Tanggung Jawab

Administratif kepada atasan langsung atau pimpinan pengadilan, dan tunduk pada disiplin ASN.

Profesional dan personal kepada klien dan hukum. Wajib memiliki asuransi liabilitas (beroepsaansprakelijkheidsverzekering).

Relevansi Model Belanda untuk Pembaruan Hukum Eksekusi di Indonesia

Perbandingan di atas menunjukkan kesenjangan yang fundamental, yaitu sistem Indonesia terjebak dalam inefisiensi birokrasi, sementara sistem Belanda mendorong efisiensi profesional. Belanda sukses memodernisasi hukum perdatanya dengan meninggalkan aturan kolonial dan mereformasi lembaga eksekusinya menjadi mandiri. Hal ini menunjukkan urgensi bagi Indonesia untuk mereformasi sistem eksekusi warisan kolonial Belanda yang terbukti tidaklah efektif. Kelemahan teoretis sistem Jurusita PNS adalah ketiadaannya insentif kinerja. Gaji tetap yang relatif kecil, namun memiliki kewenangan besar menciptakan celah korupsi dan pungutan liar. Akibatnya proses eksekusi sering bergeser menjadi ajang negosiasi non-resmi, alih-alih penegakan hukum yang pasti. Selain itu, status PNS justru membebani pengadilan negeri dengan tugas non-yudisial yang rumit, seperti administrasi eksekusi aset dan koordinasi keamanan, sehingga mendistraksi fungsi utama pengadilan untuk mengadili perkara.

Pelajaran utama dari Gerechtsdeurwaarder bukanlah pada swastanisasi murni, melainkan profesionalisasi dan pemisahan fungsi. Keberhasilan model ini bertumpu pada dua pilar yaitu pertama, insentif ekonomi legal yang memacu efisiensi, dan kedua, pengawasan eksternal ketat yang menjamin akuntabilitas. Indonesia tidak perlu mengadopsi sistem swasta murni ala Bailiff seperti negara Common Law yang terlalu liberal, namun karakteristik hibrida dari Gerechtsdeurwaarder patut dipertimbangkan untuk diadapatasi. Tantangan untuk mengadopsi model Gerechtsdeurwaarder akan mencakup tiga aspek, yaitu pertama, tantangan kultural untuk melepas kekuasaan eksekusi yang selama ini dipegang erat oleh lembaga pengadilan. Kedua, tantangan legislasi, karena reformasi ini memerlukan perombakan HIR/RBg dan penciptaan undang-undang baru tentang Jabatan Pejabat Eksekusi. Ketiga, tantangan membangun infrastruktur pengawasan ekseternal yang efektif dari nol.

Penutup

Efektivitas eksekusi perdata berbanding lurus dengan profesionalisme, independensi, dan sistem insentif pelaksananya. Studi komparatif ini membuktikan bahwa sistem Jurusita PNS di Indonesia, dengan birokrasi kaku dan minimnya insentif kerja, merupakan faktor determinan lambatnya eksekusi. Sebaliknya, model Gerechtsdeurwaarder di Belanda menunjukkan bahwa eksekusi yang efektif akan lebih baik dijalankan oleh profesional independen yang didorong oleh insentif ekonomi legal dan diimbangi akuntabilitas profesi yang ketat. Mempertahankan sistem yang membebani pengadilan negeri dengan tugas-tugas non-yudisial terbukti tidak lagi relevan bagi pencari keadilan di Indonesia modern.

Referensi

[1] R. Hartati dan Syafrida, “Hambatan dalam Eksekusi Perkara Perdata”, Adil Jurnal Hukum, vol. 12, no. 1, Juli. 2021.

[2] Erick S. Lie, M. H. Soepeno, dan A. T. Koesumo, Implikasi Hukum Pihak yang Tidak Melaksanakan Putusan Pengadilan dalam Perkara Perdata”, Lex Privatum, vol. 11, no. 3, Maret. 2023.

[3] A. F. S. Ambarita dan R. Nababan, “Peran Jurusita Dalam Pelaksanaan Eksekusi di Pengadilan Negeri Medan”, Jurnal Media Informatika (Jumin), vol. 6, no.2, Januari-April. 2025.

[4] D. Angelia, et al., “Faktor Penghambat dalam Eksekusi Perkara Perdata dan Inovasi Hukum dalam Menanggulanginya”, Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, vol. 15, Nn. 2, Oktober. 2024.

[5] Instituut voor de Nederlandse Taal, “Deurwaarder”, pada Etymologiebank.nl, [Daring]. Tersedia di: https://www.etymologiebank.nl/trefwoord/deurwaarder. (Diakses pada 15 November 2025).

[6] Netherlands. Gerechtsdeurwaarderswet (UU Jurusita Belanda), Staatsblad 2001, No.70. [Daring]. Tersedia di: https://wetten.overheid.nl/BWBR0012197/2025-01-01. (Diakses pada 15 November 2025).