Pelibatan Masyarakat Adat dalam Pengamanan Eksekusi

17 December 2025 | Dismas Lukito Ornasto
Dismas Lukito Ornasto

format_quote

Latar Belakang

Penyelesaian suatu perkara perdata di Indonesia tidak serta merta berhenti dengan adanya putusan pengadilan. Setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, terdapat suatu proses penting dalam menjalankan putusan pengadilan yang dinamakan eksekusi. Dapat dikatakan suatu perkara yang dapat dilaksanakan (dieksekusi) merupakan esensi terpenting serta aktual dan merupakan puncak dari perkara perdata. [1] Eksekusi didefinisikan sebagai suatu proses menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata/inkracht van gewijsde) yang bersifat penghukuman (condemnatoir) yang dilakukan secara paksa, jika perlu dengan bantuan kekuatan umum. [2] Sifat “paksa” dan “keterpaksaan” ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Artinya bahwa proses eksekusi dilaksanakan secara tidak sukarela. Hal tersebut menimbulkan adanya konflik yang memberikan ancaman kepada pihak yang melaksanakan eksekusi.

Pelaksanaan putusan pengadilan, utamanya dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan. [3] Amanat undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada aparatur pengadilan untuk melaksanakan eksekusi. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak diatur lebih lanjut mengenai pengamanan dari pelaksanaan eksekusi. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pelaksanaan eksekusi menimbulkan potensi konflik yang dapat mengancam pelaksanaan eksekusi.

Dalam Pedoman Eksekusi bagi Pengadilan Negeri yang diterbitkan oleh Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung, biaya pengamanan diserahkan kepada Pemohon Eksekusi untuk ditanggung. Praktiknya, pengamanan dilaksanakan dengan terlebih dahulu Pemohon Eksekusi membayar biaya-biaya, kemudian Panitera berkoordinasi berkaitan dengan kesediaan pihak keamanan dalam pelaksanaan eksekusi, selanjutnya eksekusi dilakukan oleh Panitera dan Juru sita/ Juru sita Pengganti dihadiri 2 (dua) orang saksi dengan pengawalan dari Petugas Keamanan.

Selama ini, pengamanan eksekusi masih berkutat pada pengamanan konvensional petugas keamanan yaitu pelibatan aparat kepolisian dalam pelaksanaan eksekusi. Di sisi lain adanya petugas kepolisian dengan atribut lengkapnya diharapkan dapat membuat efek takut juga sebagai efek pencegahan (deterrence) agar tidak terjadi keributan. Namun terdapat efek lainnya yaitu biaya pengamanan yang cukup mahal serta citra represif aparat yang mengakibatkan situasi tidak kondusif. Biaya yang cukup mahal ini dikarenakan dalam pelaksanaan eksekusi membutuhkan personel kepolisian lengkap dengan akomodasinya, yang mana biaya ini dibebankan oleh Pemohon Eksekusi. Hal tersebut secara umum dapat memberatkan Pelaksanaan eksekusi didasarkan pada suatu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang artinya pelaksanaan tersebut dapat diwujudkan dengan pendekatan-pendekatan humanis.

Pelibatan Masyarakat Adat dalam Pengamanan Eksekusi

Masyarakat adat di Indonesia terdiri dari berupa-rupa budaya dan adat istiadatnya. Demikian pula dalam pelaksanaan hukum adatnya, terdiri dari berbagai pengaturan yang disesuaikan dengan masyarakatnya itu sendiri. Salah satu sifat hukum adat yang secara universal diterima adalah sifat musyawarah dan mufakat. Hukum adat mengutamakan sifat musyawarah dan mufakat dalam hal adanya perselisihan. Penyelesaian perselisihan diutamakan jalan penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat. [4] Dengan demikian masyarakat adat mengenal proses penyelesaian tanpa konflik, dengan cara khasnya yaitu melalui musyawarah dan mufakat. Penyelesaian menggunakan cara adat tersebut sejalan juga dengan yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pelibatan masyarakat adat dalam pengamanan eksekusi dapat dilaksanakan di tempat-tempat tertentu yang masyarakat adatnya masih hidup dan berkembang. Sebagai contoh nyata adalah di Bali, yang mengenal satuan pengamanan adat yaitu Pecalang atau di budaya Minangkabau yang mengenal Dubalang yang merupakan lembaga penegak hukum adat, yang biasa menangani masalah-masalah keamanan. [5] Setiap masyarakat adat yang masih hidup dan berkembang memiliki pengamanannya tersendiri yang bertugas untuk melindungi masyarakat adatnya. Dalam permasalahan mengenai eksekusi, agar pelaksanaan eksekusi dapat berjalan dengan humanis dan dengan lancar, Ketua Pengadilan sebagai pemimpin pelaksanaan eksekusi dapat bekerja sama dengan satuan pengamanan masyarakat adat itu untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Satuan pengamanan seperti Pecalang, pada umumnya memiliki pendekatan humanis yang bertujuan pada perdamaian masyarakat. Dengan dilibatkannya masyarakat adat yang dihargai oleh masyarakat, diharapkan termohon eksekusi dapat mengikuti pelaksanaan eksekusi dengan sukarela dan dihindarkan dari ancaman-ancaman keamanan. Berbeda dengan aparat kepolisian yang cenderung menggunakan kekuatan fisik, pada umumnya penyelesaian dan pendekatan yang dilaksanakan oleh masyarakat adat (termasuk tetua adatnya).

Dalam melibatkan masyarakat adat sebagai satuan pengamanan pelaksanaan eksekusi, Ketua Pengadilan harus jeli dalam melihat objek yang dieksekusi. Apabila terdapat potensi konflik kepentingan, seperti misalnya salah satu anggota dalam masyarakat adat tersebut merupakan pihak dalam permohonan eksekusi, maka pelibatan masyarakat adat sebagai pengamanan pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Sebab hal tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Oleh karena itu dalam menelaah eksekusi, Ketua Pengadilan sebagai pemimpin harus jeli dalam melihat perkara-perkara yang dieksekusi.

Kesimpulan

Pelibatan masyarakat adat dalam pengamanan eksekusi merupakan upaya untuk memberikan opsi pengamanan yang humanis kepada termohon eksekusi. Dengan melibatkan masyarakat adat yang mengerti budaya, serta adat istiadatnya, diharapkan para pihak yang tereksekusi dapat melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela tanpa adanya paksaan yang menimbulkan ancaman konflik. Selain itu dengan menggandeng masyarakat adat, diharapkan dapat menurunkan biaya pengamanan eksekusi yang saat ini kerap kali menjadi kendala dalam pelaksanaan eksekusi.

Referensi

[1] L. Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015, p. 318.

[2] Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI, Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI, 2019, p. 1.

[3] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 54 ayat (2)

[4] H. Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju, 2014, p. 314.

[5] E.E. Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern, Jakarta: Obor, 2007, p. 26.