
Latar Belakang
Dalam praktik, salah satu hambatan mengapa suatu eksekusi atas putusan berkekuatan hukum tetap tidak dapat diajukan atau dilaksanakan adalah pemohon tidak mengetahui aset termohon yang dapat disita [1]. Telah menjadi rahasia umum bahwa hambatan tersebut lazim dihadapi pemohon dalam mengajukan eksekusi atas putusan penghukuman pembayaran sejumlah uang, yang bersumber dari sengketa perniagaan sehari-hari tanpa disertai jaminan kebendaan. Jika merujuk ke peraturan perundangan dan pedoman saat ini, disebutkan bahwa jika teguran/aanmaning eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak dihiraukan, maka selanjutnya dijatuhkan sita eksekusi atas aset termohon yang idealnya dilanjutkan dengan penjualan atas aset yang telah dijatuhi sita eksekusi tersebut. Permasalahannya, dalam kondisi tersebut di atas, siapa yang mengetahui aset milik termohon?
Ungkapan sopan namun akurat untuk menjawab permasalahan ‘siapa yang mengetahui aset termohon?’ adalah data aset hanya bisa diakses oleh pihak tertentu secara terbatas dan/atau untuk kepentingan pro-yustisia [1]. Dengan mengingat tugas serta kewenangan Pengadilan Negeri (“Pengadilan”) yang salah satunya melaksanakan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Pengadilan sepatutnya termasuk pihak yang dapat mengakses data tersebut.
Setidaknya sampai dengan tulisan ini dibuat, ide di atas belum didalami secara serius. Adapun, tulisan ini mencoba mengisi kekosongan tersebut, namun fokusnya terbatas pada ‘aset tak bergerak’, mengingat lebih teraturnya pencatatan data dan cenderung tidak dinamisnya aset, sehingga memudahkan penelusuran. Meskipun demikian, penulis yakin bahwa diskursus ini menjadi langkah awal yang strategis, dengan harapan jika mekanisme ini ajek, hal serupa dapat dikembangkan untuk aset bergerak.
Berangkat dari latar belakang di atas, diusung dua permasalahan pokok. Pertama, dasar hukum yang melandasi kewenangan tersebut. Kedua, pengoperasian kewenangan yang dimaksud dalam proses eksekusi.
Dasar Hukum yang Melandasi Kewenangan Pengadilan
Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah berikut perubahannya (“PP Pendaftaran Tanah”) jo. Pasal 192 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah berikut perubahannya (“Permen ATR/BPN Pendaftaran Tanah”), Kantor Pertanahan merupakan instansi yang berwenang dalam menyimpan dan merawat data terkait pertanahan. Atas kewenangannya tersebut, Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 35 ayat (3) PP Pendaftaran Tanah jo. Pasal 191 ayat (1) dan Pasal 192 ayat (3) Permen ATR/BPN Pendaftaran Tanah mengatur yang pada pokoknya bahwa data terkait pertanahan tersebut dapat diberikan ke instansi lain yang memerlukan untuk pelaksanaan tugasnya. Dengan pembacaan secara gramatikal, maka ketentuan tersebut tiada lain haruslah dibaca tanpa pengecualian bahwa ‘data-data terkait pertanahan tersebut diberikan sepanjang diminta oleh instansi dan diperlukan untuk pelaksanaan tugas’ [2].
Mengenai prasayarat ‘instansi’, sebagaimana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) jo. Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum berikut perubahannya (“UU Peradilan Umum”), Pengadilan merupakan lembaga pelaksana kewenangan kekuasaan kehakiman di tingkat pertama (yaitu kabupaten/kota) di bawah pengadilan tinggi, badan peradilan umum, dan Mahkamah Agung [3]. Atas dasar tersebut, tidak salah apabila Pengadilan dapat dikategorikan sebagai suatu ‘instansi’.
Mengenai prasyarat ‘diperlukan untuk pelaksanaan tugas’, berdasarkan Pasal 50 jo. Pasal 60 UU Peradilan Umum dan Pasal 54 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan bertugas dan berwenang antara lain melaksanakan putusan perdata. Atas dasar tugas yang demikian, maka pada pokoknya Pengadilan berkepentingan dalam menyelesaikan persoalan yang sekiranya menghambat pelaksanaan tugasnya, termasuk dalam melaksanakan putusan perdata.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Pengadilan merupakan suatu lembaga (sehingga termasuk sebagai ‘instansi’) yang nyatanya memiliki tugas dan wewenang melaksanakan putusan perdata yang dilakukan dengan cara antara lain penjualan aset tak bergerak. Dengan demikian, maka Pengadilan berhak dan berwenang untuk mengakses data-data tentang aset tak bergerak tersebut.
Oleh karena eksekusi putusan perdata merupakan wujud akhir penyelesaian atas sengketa yang menjadi harapan dari masyarakat khususnya pihak yang menang untuk memperoleh kepastian atas hak [4], maka bunyi ketentuan di atas perlulah dibaca dengan pemahaman sebagaimana paragraf lalu. Hal demikian menjadi langkah maju sinergitas antar lembaga dalam menegakkan hukum perdata yang berkepastian [5], apalagi mengingat bahwa koordinator/pengampu target prioritas penerapan dan penegakan hukum khususnya penyelesaian eksekusi putusan perdata adalah Mahkamah Agung [6].
Konsep Pelaksanaan Penelusuran Data Aset Tak Bergerak oleh Pengadilan dalam Eksekusi
Diterimanya pembacaan dan pemahaman sub bagian lalu membuka cakrawala mengenai bagaimana kiranya konsep pengaksesan tersebut. Dengan mempertahankan mekanisme dan proses eksekusi saat ini, tahap ‘penelusuran data aset tak bergerak’ dapat disematkan dalam tahap pasca teguran/aanmaning diabaikan. Setelah teguran/aanmaning diabaikan, pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengakses data aset tak bergerak yang diduga milik termohon dengan melampirkan informasi dan data-data yang dimiliki pemohon ke Pengadilan. Berdasarkan pada informasi dan data-data tersebut, Pengadilan selanjutnya mengajukan permohonan permintaan data ke Kantor Pertanahan setempat, yang pada pokoknya mengonfirmasi beberapa hal penting antara lain siapa yang memiliki, haknya, dan ada tidaknya jaminan kebendaan yang membebani aset tersebut, sepanjang tidak menyangkut data pribadi yang dilarang untuk dibuka [7]. Atas permohonan tersebut, Kantor Pertanahan memberikan konfirmasi tertulis ke Pengadilan mengenai hal-hal penting yang dimaksudkan. Setelah Pengadilan menerima konfirmasi tertulis dari Kantor Pertanahan, Pengadilan meneruskannya ke pemohon, yang mana hal tersebut merupakan tanggapan atas permohonan dari pemohon di awal. Setelah pemohon menerima terusan informasi yang dimaksud, selanjutnya ‘konfirmasi tertulis’ tersebut wajib pemohon ajukan sebagai objek eksekusi, untuk kemudian dijatuhkan sita eksekusi.
Dari ‘konfirmasi tertulis’ tersebut, diketahui informasi atau data penting terkait aset tak bergerak tersebut yang dapat meminimalisir hambatan yang mungkin muncul terkait eksekusi. Setidaknya terdapat keuntungan dari terimplementasinya konsep ini. Pertama, eksekusi menjadi lebih mudah sehingga persentase putusan yang dapat tereksekusi akan meningkat. Kedua, jika permasalahan ‘yang mungkin timbul’ tersebut teridentifikasi sejak awal, maka apabila tetap ada sengketa, Ketua Pengadilan (“KPN”) dapat menyikapinya secara akurat/by data (mengingat KPN dapat secara kasuistis dan eksepsional menunda pelaksanaan eksekusi jika terdapat bantahan yang beralasan).
Berdasarkan konsep di atas, dipahami bahwa untuk mengimplementasikan konsep tersebut, perlu tindak lanjut teknis yang setidaknya terbagi menjadi teknis eksternal dan internal. Mengenai teknis eksternal, perlu komitmen antar lembaga/kementerian dan kesepahaman bahwa Pengadilan berhak menelusuri data tersebut untuk kepentingan eksekusi. Jika ada soal lain, mungkin terkait data yang perlu dilampirkan. Adapun mengenai teknis internal, yang terpenting adalah bagaimana Pengadilan didudukkan dalam proses eksekusi, apakah bersifat aktif atau pasif. Selain itu, mengenai tahapan proses, jangka waktu, pihak pelaksanan di Pengadilan, sampai dengan apakah permohonan tersebut dikenai PNBP atau tidak, seluruhnya dapat diatur secara internal oleh Mahkamah Agung [8].
Selain itu, tidak salah jika disiapkan pula alternatif eksesif, yaitu dalam keadaan tertentu dimana pemohon tidak memiliki data awal selain nama dan alamat termohon, Pengadilan dan Kantor Pertanahan tetap dapat mengakomodirnya. Namun, pemohon yang demikian tentunya tidak dapat disamakan dengan yang hanya meminta ‘konfirmasi’ saja. Mungkin, salah satu pembeda adalah terhadap pemohon ini dikenakan PNBP yang lebih mahal.
Adapun, tidak dapat dinafikan bahwa apabila konsep ini dilaksanakan, niscaya menambah tugas, fungsi, sampai beban kerja. Oleh karena itu, untuk menjamin keterlaksanaannya, perlu peningkatan kapasitas melalui koordinasi dan pelatihan insentif secara berkala, serta bila perlu penambahan sumber daya manusia.
Penutup
Pengadilan berwenang menelusuri data aset tak bergerak, dalam rangka pelaksanaan tugas Pengadilan melaksanakan putusan perdata. Terkait alur prosesnya, secara umum adalah sebagaimana yang telah dijabarkan dalam bagian kedua, mulai dari permohonan pasca diabaikannya teguran/aanmaning, lalu diproses hingga diperoleh konfirmasi/jawaban tertulis, dan kemudian diajukan sebagai landasan untuk melakukan sita eksekusi.
Berdasarkan konsep ini, benar bahwa Pengadilan aktif menegakkan putusan perdata, namun keaktifan tersebut terbatas pada meminta konfirmasi atas kebenaran data yang dipersiapkan pemohon di awal atau meminta data. Hal tersebut dimungkinkan karena menurut penulis eksekusi bukan proses ‘memeriksa, mengadili, dan memutus perkara’ melainkan proses ‘pelaksanaan putusan’, yang mana di dalam peraturan perundang-undangan, 2 (dua) frasa tersebut merupakan hal yang berbeda dan selalu dipisah. Oleh karenanya, peran lebih aktif selama ‘pelaksanaan putusan’ tidaklah bertentangan dengan ‘kewajiban pasif’ selama proses ‘memeriksa, mengadili, dan memutus’, namun merupakan bentuk konkret bantuan bagi pencari keadilan dalam mengatasi hambatan dan rintangan dalam mengajukan eksekusi sebagai layanan pasca putusan (Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman).
Referensi:
[1] A. Jebabun et al., Asesmen Awal Permasalahan Eksekusi Putusan Perkara Perdata di indonesia. Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan, 2018.
[2] N. Rahmanto, “Keterbukaan Informasi Publik Data Pertanahan,” J. Widya Bhumi, vol. 1, no. 1, pp. 58–64, 2021.
[3] R. A. Safa’at, G. A. P. Ananda, and Rasji, “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Agung dalam Menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,” J. Kewarganegar, vol. 8, no. 1, pp. 303–309, 2024.
[4] I. Rosyadi, Eksekusi Putusan Perdata: Problematika dan Dinamika dengan Pendekatan Praktik. Kencana, 2025.
[5] Supriyono and F. A. J. Putri, “Sistem Eksekusi Perkara Perdata yang Efektif dan Menjamin Kepastian Hukum,” J. Ilm. Hosp., vol. 12, no. 2, pp. 729–736, 2023, [Online]. Available: http://stp-mataram.e-journal.id/JIH
[6] Perpres, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025 - 2029. 2025.
[7] C. A. Sormin, M. H. Masykur, and C. C. Putri, “Perlindungan Data Pribadi dan Kaitannnya dengan Asas Publisitas pada Sertifikat Tanah Elektronik,” Rechtjiva, vol. 2, no. 1, pp. 86–105, 2025, doi: https://doi.org/10.21776/rechtjiva.v2n1.6.
[8] A. Satory and H. P. Sibuea, “Problematika Kedudukan dan Pengujian Peraturan Mahkamah Agung Secara Materiil sebagai Peraturan Perundang-Undangan,” PALAR (Pakuan Law Rev., vol. 06, no. 01, pp. 1–27, 2020, [Online]. Available: https://journal.unpak.ac.id/index.php/palar