
Latar Belakang
Berdasarkan ketentuan Pasal 195 HIR/Pasal 207 RBg, eksekusi didefinisikan sebagai pelaksanaan secara paksa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dilaksanakan karena pihak yang kalah tidak mau mematuhi isi putusan tersebut. Konsep eksekusi ini sepadan dengan makna “ten uitvoerlegging van vonnissen” atau menjalankan putusan, dimana pelaksanaannya berada di bawah perintah dan tanggung jawab Ketua Pengadilan Negeri tempat perkara tersebut diperiksa, sesuai dengan tata cara yang diatur dalam HIR maupun RBg.[1] Selain diatur dalam ketentuan tersebut, proses eksekusi juga diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 60 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pada praktiknya, pelaksanaan eksekusi oleh pengadilan seringkali menghadapi berbagai hambatan, terutama disebabkan oleh kurangnya itikad baik dari pihak yang kalah perkara untuk melaksanakan putusan.[2] Proses eksekusi di lapangan menghadapi tantangan kompleks yang mencakup aspek yuridis dan non-yuridis. Pada aspek non-yuridis, kendala utama terletak pada permasalahan teknis pelaksanaan eksekusi, dimana pihak termohon tidak jarang melakukan perlawanan seperti menghalangi petugas eksekusi, mengerahkan massa, atau tindakan perlawanan fisik lainnya. Dalam salah satu kasus, Panitera Pengadilan Negeri Sibolga Temaziduhu Harfea mengalami kekerasan berupa pemukulan yang mengakibatkan luka fisik dan kepala bocor pada saat melaksanakan Eksekusi Putusan Perkara Perdata.[3] Dalam mengantisipasi kondisi demikian, pengadilan berwenang meminta dukungan aparat keamanan untuk menjamin keamanan proses eksekusi. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam konteks ini dimaksudkan untuk memastikan kelancaran eksekusi dengan prinsip minim intervensi yang hanya dilakukan ketika diperlukan.[4]
Masalahnya, ketentuan peraturan perundang-undang di Indonesia belum mengatur prosedur pengamanan eksekusi secara komprehensif. Untuk mengatasi hal ini, Pedoman Eksekusi Tahun 2019 dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum merekomendasikan koordinasi antara Ketua Pengadilan Negeri dengan aparat kepolisian setempat, dengan pembiayaan pengamanan menjadi tanggung jawab pemohon eksekusi. Namun pedoman ini belum bisa menjawab permasalahan fundamental dalam hal mekanisme pengamanan proses eksekusi.[5] Kekosongan hukum (legal gap) mengenai mekanisme pengamanan proses eksekusi ini menimbulkan masalah dalam implementasi khususnya persoalan biaya pengamanan yang tidak terstandarisasi dan kerap memberatkan pihak pemohon eksekusi. Kondisi ini tentu bertentangan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Kekosongan hukum tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut, dimana penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua permasalahan pokok: pertama, Apa landasan yuridis bagi Tugas Kepolisian Republik Indonesia dalam pengamanan proses eksekusi putusan pengadilan? Kedua, Bagaimana rekomendasi kebijakan mengenai pengamanan proses eksekusi Putusan Pengadilan.? Penelitian ini akan menganalisis kebutuhan untuk mengintegrasikan mekanisme koordinasi antara Pengadilan dan Kepolisian ke dalam aturan teknis yuridis, sehingga tidak lagi mengandalkan pedoman administratif semata.
Landasan Yuridis bagi Tugas Kepolisian Republik Indonesia dalam Pengamanan Proses Eksekusi Putusan Pengadilan.
Dalam pelaksanaan eksekusi riil seperti pengosongan bangunan atau tanah, pengadilan kerap mengalami kendala non-yuridis berupa penolakan dari termohon eksekusi atau aksi massa yang menghambat proses, sehingga diperlukan koordinasi dengan institusi keamanan dalam hal ini kepolisian. Solusi yang ditawarkan kepolisian adalah melalui fungsi pengamanan eksekusi, mengingat Kepolisian Republik Indonesia sebagai alat negara yang berwenang dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, yakni untuk memberikan pengamanan dan perlindungan kepada pelaksana eksekusi, pemohon eksekusi, dan termohon eksekusi selama proses eksekusi berlangsung.[6] Kendala yuridis yang muncul adalah ketiadaan ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara khusus mekanisme pengamanan dalam proses eksekusi putusan pengadilan. Namun, dasar konstitusional dapat dijadikan pedoman bagi pembentuk undang-undang dan institusi terkait untuk menyusun aturan teknis mengenai pengamanan tersebut, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan sektoral seperti Peraturan Kepala Polri atau Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dasar kewenangan Polri dalam pengamanan proses eksekusi putusan pengadilan tersebar secara parsial dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam konteks eksekusi, ketentuan ini mencakup pemberian jaminan keamanan bagi aparatur pengadilan dalam pelaksanaan proses eksekusi. Selain itu, Ayat (3) pada pasal tersebut menentukan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”, dimana badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dalam konteks eksekusi, Polri sebagai badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan tugas pengamanan proses eksekusi tiada lain merupakan salah satu upaya untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman yang terbebas dari segala bentuk ancaman atau tekanan dalam prosesnya.
Selain landasan konstitusional di atas, terdapat pula landasan yuridis yang termuat dalam Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pada intinya menyebutkan fungsi dan tujuan fungsi Polri sebagai alat negara untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Pasal 15 Ayat (1) huruf i undang-undang tersebut secara eksplisit menyebutkan “Polri berwenang memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan…”. Pasal 11 PERMA Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Lingkungan Peradilan juga menyebutkan “…pelaksanaan eksekusi yang berpotensi menimbulkan ancaman yang membahayakan keselamatan Hakim/Majelis Hakim dan Aparatur Pengadilan wajib mendapatkan perlindungan, Pengamanan dan/atau Pengawalan di dalam maupun di luar Pengadilan dari kepolisian…”. PERMA ini secara umum mengatur pengamanan bagi pihak yang melakukan tindakan yang berlawanan dengan martabat Pengadilan.[7] Dengan demikian, maka landasan konstitusional maupun landasan yuridis di atas dapat dijadikan pedoman bagi pembentukan regulasi teknis, guna mengatasi hambatan non-yuridis dalam pelaksanaan eksekusi riil, sehingga dapat menjamin pengamanan yang efektif, kelancaran proses, dan yang terpenting terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Rekomendasi Kebijakan mengenai Pengamanan Proses Eksekusi Putusan Pengadilan.
Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan rekomendasi kebijakan untuk dijadikan dasar formulasi bagi penyusunan mekanisme pengamanan dalam proses eksekusi putusan pengadilan. Pertama, perlu diatur mekanisme permohonan pengamanan yang diajukan oleh Ketua Pengadilan Negeri kepada Kapolres setempat melalui pemberitahuan akan dilaksanakannya eksekusi. Kedua, perlu diatur juga tahapan pengamanan yakni tahap persiapan yang meliputi analisis intelijen, penyusunan rencana operasi, dan koordinasi dengan pengadilan, kemudian tahap pelaksanaan yang meliputi sikap pasif jika berlangsung dengan aman hingga sikap aktif apabila terjadi perlawanan fisik. Lalu tahap pengawasan untuk memastikan prosedur berjalan humanis dan sesuai kode etik. Ketiga, untuk biaya pengamanan perlu ditambahkan biaya pengamanan eksekusi sebagai jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sehingga terdapat standarisasi biaya pengamanan, karena selama ini biaya pengamanan tidak diatur dalam PNBP Polri. Terakhir, penulis juga memberikan opsi dibentuknya polisi khusus Pengadilan yang salah satu kewenangannya adalah mengamankan proses eksekusi putusan pengadilan. Hal ini dimungkinkan mengingat terdapat Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 yang menentukan adanya penugasan Anggota Polri di Instansi pemerintahan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memiliki lembaga polisi khusus Pengadilan yang bernama The National Center for Judicial Security (NCJS) yang berada di bawah U.S. Marshals Service. Salah satu kewenangan Lembaga tersebut adalah memastikan keamanan fasilitas pengadilan federal dan keselamatan hakim serta aparatur pengadilan lain dalam melaksanakan tugas dan fungsi yudisial.[8] Apabila dihubungkan dengan konteks eksekusi di Indonesia, maka keberadaan polisi khusus baik melalui pembentukan Lembaga tersendiri maupun tetap berada dalam struktur Polri sangat penting untuk menjamin pengamanan dan kelancaran proses eksekusi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka implementasi rekomendasi kebijakan holistik yang meliputi pengaturan mekanisme permohonan, tahapan pengamanan yang jelas, standardisasi biaya melalui PNBP, maupun opsi pembentukan polisi khusus pengadilan menjadi suatu keharusan untuk diintegrasikan ke dalam regulasi teknis yang mengikat guna menciptakan sinergi yang efektif antara Pengadilan dan Kepolisian, memastikan eksekusi berjalan lancar, dan pada akhirnya menegakkan wibawa hukum serta memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun dasar kewenangan Polri dalam pengamanan eksekusi telah memiliki landasan yang kuat, namun Ketiadaan regulasi teknis yang khusus mengatur mekanisme pengamanan eksekusi menciptakan ketidakpastian hukum dan menghambat terwujudnya sinergi yang optimal antara Pengadilan dan Kepolisian dalam hal implementasi. Atas dasar tersebut, pembentukan regulasi teknis yang mengintegrasikan rekomendasi kebijakan yang holistik baik dituangkan di dalam PERMA, PERKAPOLRI maupun peraturan pelaksana lainnya menjadi sebuah keniscayaan. Langkah strategis ini tidak hanya untuk mengisi kekosongan hukum dan menjamin efektivitas eksekusi, tetapi yang terpenting adalah untuk menegakkan kewibawaan hukum, kemandirian kekuasaan kehakiman, dan memberikan kepastian serta keadilan bagi seluruh pencari keadilan.
Referensi
[1] W. Kasim, “Analisis Hukum Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara,” vol. 3, no. 1, pp. 51–64, 2020.
[2] P. Muhammad, S. Rahman, D. Paluaran, and A. Fauzan, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Putusan ( Eksekusi ) Perkara Perdata,” vol. 10, no. November, pp. 43–46, 2022.
[3] Dandapala.com, MA & IPASPI Prihatin Dan Kecam Kekerasan Terhadap Panitera PN Sibolga. [Online]. Available: https://dandapala.com/article/detail/ma-ipaspi-prihatin-dan-kecam-kekerasan-terhadap-panitera-pn-sibolga
[4] J. S. Hukum, T. R. Utami, G. Apriliandi, F. M. Akbar, H. Wandono, and I. Wina, “Eksekusi Putusan dan Implikasi Hukum Bagi Pihak yang Tidak Patuh dalam Perkara Perdata,” vol. 16, no. 01, pp. 144–151, 2023.
[5] Direktorat Jenderal BADAN Peradilan Umum and M. A. R. Indonesia, “Pedoman eksekusi,” 2019.
[6] L. Sibri, F. Asyhadi, and M. Abas, “Upaya Kepolisian Dalam Mengamankan Pelaksanaan Jaminan Fidusia Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 Tahun 2011,” vol. 13, pp. 249–261, 2024, doi: 10.37893/jbh.v13i1.785.
[7] P. Indonesia and Z. Ilmiyah, “Jurnal Hukum & Pembangunan Quo Vadis Desain Pengamanan Hakim dari Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim Quo Vadis Desain Pengamanan Hakim dari Perbuatan Merendahkan Kehormatan,” vol. 55, no. 1, 2025, doi: 10.21143/jhp.vol55.no.1.1675.
[8] U. S. M. Service, “The National Center for Judicial Security (NCJS).” [Online]. Available: https://www.usmarshals.gov/what-we-do/judicial-security/national-center-judicial-