
Latar Belakang
Pada suatu hari di tahun 1978, dua entitas bernama Apple saling berhadapan di meja hijau. Pertama, Apple Corps, rumah bagi The Beatles—band yang bagi sebagian orang tak hanya sekadar musik, tetapi sejarah kebudayaan manusia. Kedua, Apple Inc, yang waktu itu masih dikenal sebagai Apple Computer, perusahaan teknologi pemula yang bahkan belum membayangkan dunia akan mengantre membeli gawai dengan logo apel tergigit itu. Mereka bertengkar karena satu hal,nama. Apa yang boleh dilakukan dengan merek “Apple”? Di ranah musik, Apple Corps merasa memiliki legitimasi moral dan legal. Di ranah teknologi digital, Apple Inc menegaskan wilayahnya sendiri, suatu wilayah yang kelak menjadi inti dari industri streaming global. Sengketa monumental ini, sebagaimana pertama kali didokumentasikan oleh J. Hoffman (2020) [1], adalah titik awal perdebatan hukum tentang batas-batas teritorialitas hak di dunia yang semakin tak berbatas.
Pertikaian itu berlangsung bertahun-tahun, menembus dekade, menjangkau era ketika musik tak lagi hanya berupa piringan hitam atau kaset, melainkan bit-bit data yang mengalir melalui jaringan nirkabel. Putusan akhirnya berpihak pada Apple Inc [2]. Hak atas merek “Apple” dalam ranah digital beralih, kompensasi dibayar, dunia musik pun memasuki gerbang Apple Music tanpa kata “Corps” di belakangnya. Eksekusi putusan itu bukan lagi soal menyita barang di gudang, melainkan memindahkan hak eksklusif atas simbol, nama, dan semua kapitalisasi digital yang menyertainya. Singkatnya, eksekusi di dunia yang tak bisa disentuh tangan, tapi sangat terasa di pasar.
Sekarang, bayangkan jika pertarungan dua Apple itu masuk ke meja hakim negeri ini. Bagaimana pengadilan Indonesia memandang sebuah sengketa yang objeknya bukan sebidang tanah atau sekarung barang, melainkan merek, hak cipta, reputasi, dan royalti yang mengalir dari layar-layar di seluruh penjuru dunia? Bagaimana jika sebuah perusahaan teknologi global yang tidak berkantor di Jakarta atau Surabaya harus tunduk pada perintah eksekusi yang lahir dari sistem peradilan kita? Di sini, hukum mulai mempertanyakan dirinya sendiri, apakah ia telah memiliki cukup alat untuk menangani sengketa yang semodern ini, se-immaterial, dan seluas ini?
Dasar Hukum dan Sifat Benda Immaterial dalam Peradilan Indonesia
Dalam hukum Indonesia, hak atas merek dan hak cipta dikonstruksikan sebagai benda. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Pasal 16 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta: meskipun tak berwujud, keduanya dianggap memiliki nilai ekonomi yang dapat dipindahtangankan, dijaminkan, atau diwariskan. Ketentuan ini secara yuridis menempatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ke dalam ranah benda bergerak tidak berwujud (roerende zaken) yang secara prinsipil dapat menjadi objek sita eksekusi (executorial beslag).[3]
Namun pengakuan bukan segalanya. Pertanyaannya lebih pelik “bagaimana memaksa objek tak terlihat untuk tunduk pada hukum?”
Eksekusi dalam perkara perdata dimulai ketika putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Ketentuan Pasal 195 HIR menegaskan: jika pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka pihak yang menang berhak mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan. Pengadilan kemudian memberikan aanmaning atau teguran untuk memenuhi putusan. Ini bukan sekadar formalitas. Hukum memberi kesempatan kembali untuk bernapas dan berpikir. Namun bila kehendak baik tak juga hadir, barulah negara menggerakkan kekuatan paksanya.
Mekanisme Eksekusi HKI Lintas Batas di Indonesia
Di titik itu, jurusita tak akan datang membawa segel merah ke gudang Apple. Sebab yang hendak dieksekusi bukan perpustakaan fisik, bukan pula stok piringan hitam milik Apple Corps. Yang hendak dieksekusi adalah hak atas merek, yang hidupnya berada dalam pencatatan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Maka sita eksekusi (executorial beslag) dilakukan dengan memerintahkan pembekuan pencatatan, pelarangan pengalihan hak, bahkan penghapusan merek menurut Pasal 3 dan Pasal 35 Undang-Undang Merek jika amar putusan menyatakan merek tersebut melanggar hak pihak lain. Hukum mengambil kendali atas administrasi yang menjadi tubuh dari benda tak berwujud itu.
Eksekusi Atas Royalti Digital
Lalu ada eksekusi royalti digital. Jika amar putusan menyatakan Apple Inc harus menyerahkan sejumlah royalti kepada Apple Corps, maka Pasal 198 HIR memberi legitimasi untuk menyita aliran dana tersebut melalui sistem perbankan nasional. Bank wajib tunduk pada penetapan pengadilan. Dan ketika dana sudah terbang ke luar negeri? Hukum tak boleh kehilangan arah. Melalui aspek resiprositas dalam kerja sama internasional dan dukungan prinsip penegakan HKI dalam TRIPS Agreement,[4] pengadilan dapat meminta jurisdiksi lain membantu pelaksanaan eksekusi lintas batas. Jalannya tidak selalu mulus. Tetapi ada pijakan yang bisa digunakan agar royalti yang menjadi Hak Pemenang tetap kembali pada pemiliknya.
Otoritas Penegakan Digital (Kominfo)
Namun ada bentuk pemaksa lain yang lebih terasa di ruang digital. Jika penggunaan merek yang dinyatakan melanggar tetap dipertontonkan, negara bisa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menutup akses tertentu sesuai Pasal 40 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (jo. UU No. 19/2016). Layanan digital boleh sedunia, tetapi untuk beroperasi di Indonesia, ia harus hormat kepada putusan pengadilan Indonesia. Tantangan terbesar dalam eksekusi HKI semacam ini terletak pada hambatan sita eksekusi benda tak berwujud (intangible goods) yang tidak memiliki bentuk fisik, yang membutuhkan koordinasi antarlembaga yang kompleks.[5]
Penutup: Tantangan dan Visi Masa Depan
Hukum sering gagap berhadapan dengan masa depan. Tetapi masa depan tidak menunggu hukum untuk memahami. HKI adalah masa depan. Jika negara tidak mampu mengeksekusinya, maka keadilan hanya akan membela benda-benda yang dapat difoto, bukan ide-ide yang menghasilkan miliaran.
Pada akhirnya, perkara Apple vs Apple bukan hanya soal hak nama. Ia adalah arena ujian bagi kedaulatan hukum. Eksekusi bukan sekadar prosedur di belakang layar. Ia adalah napas terakhir dari sebuah putusan,penentu apakah keadilan benar-benar berjalan keluar dari berkas dan hidup di dunia nyata. Jika pertarungan Apple itu terjadi di tanah air, hukum kita harus cukup kuat untuk membuat perusahaan teknologi global tunduk kepada putusan hakim Indonesia. Karena putusan yang tak bisa dieksekusi, hanyalah tulisan bagus yang kalah oleh kenyataan.
Dan hukum yang kalah oleh kenyataan, akan selalu terlambat mengejar masa depan.
Referensi
[1] J. Hoffman, “The Beatles and Apple Records dispute,” J. Music Law, vol. 12, no. 3, pp. 122–135, 2020.
[2] P. Burrows, “Apple Inc Legal Timeline on Marks and Music Rights,” TechLaw Rev., vol. 7, no. 1, pp. 45–60, 2019.
[3] Iqbal and N. Saptanti, “Non-Fungible Token sebagai Objek Jaminan Fidusia Guna Mengoptimalisasi Hak Kekayaan Intelektual,” Referend. J. Huk. Perdata dan Pidana, vol. 1, no. 3, pp. 169–178, 2024, doi: https://doi.org/10.62383/referendum.v1i3.168.
[4] World Trade Organization, “TRIPS Agreement, Enforcement Section.”
[5] N. P. P. Dewi and I. M. Kastama, “Hambatan Sita Eksekusi Kekayaan Intelektual sebagai Barang Tidak Berwujud (Intangible),” Satya Dharma J. Ilmu Huk., vol. 07, no. 02, pp. 346–362, 2024.