
Latar Belakang
Eksekusi perdata merupakan tahap akhir proses litigasi yang berfungsi sebagai instrumen yudisial untuk mewujudkan hak substantif pihak yang dimenangkan, dengan dasar pada amar putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Namun, dalam praktiknya pelaksanaan eksekusi di Indonesia masih terkendala secara normatif dan struktural akibat sistem hukum yang berlandaskan kerangka lama, yang secara historis tidak lagi sejalan dengan kebutuhan hukum modern dan kompleksitas dinamika masyarakat [1]. Secara normatif, belum terdapat pembaruan komprehensif yang mengatur mekanisme eksekusi dalam hukum acara perdata. Sementara hambatan eksekusi semakin nyata di lapangan. Rendahnya efektivitas koordinasi antarlembaga serta keterbatasan sumber daya aparat pengadilan [2] diperparah oleh perlawanan yang terorganisir dan anarkis. Dalam praktik, eksekusi kerap dihalangi oleh Termohon Eksekusi yang memobilisasi massa atau Ormas [3]. Ketiadaan sanksi tegas menyebabkan eksekusi sering gagal atau tertunda demi menghindari bentrokan sipil. Kondisi ini menegaskan bahwa persoalan utama eksekusi perdata di Indonesia tidak semata bersifat idealistis, tetapi berakar pada bias dan kekosongan norma yang belum menyediakan instrumen hukum memadai untuk penyelesaian di lapangan[4]. Normatif bias terlihat ketika upaya hukum luar biasa dijadikan dasar untuk menunda pelaksanaan eksekusi, sedangkan kekosongan norma tampak dari ketiadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait dengan koordinasi antarlembaga serta ketiadaan sanksi tegas bagi pihak yang menghalangi eksekusi [5]. Akibatnya, banyak putusan yang telah in kracht terhambat, yang secara sistemik meruntuhkan kepastian hukum dan mengikis kepercayaan publik terhadap supremasi hukum, sehingga reformasi sistem hukum secara menyeluruh menjadi kebutuhan mutlak [6]. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: pertama, apa saja hambatan dalam pelaksanaan eksekusi perdata di Indonesia? Kedua, bagaimana pembaruan hukum dan strategi institusional yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan eksekusi?. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hambatan normatif, administratif, dan teknis dalam eksekusi perdata, mengkaji arah pembaruan hukum yang relevan, serta merumuskan strategi kelembagaan guna memperkuat proses eksekusi sebagai bagian dari pembaruan sistem hukum nasional [7].
Hambatan dalam Pelaksanaan Eksekusi Perdata di Indonesia
Meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, dalam praktiknya upaya hukum luar biasa kerap dijadikan dasar oleh ketua pengadilan untuk menunda eksekusi. Penundaan tersebut mencerminkan bentuk diskresi yudisial yang sering dibenarkan atas dasar kehati-hatian, terutama ketika terdapat potensi perubahan putusan melalui upaya hukum luar biasa. (vide Buku II Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum Dan Perdata Khusus, Hal. 103). Namun, praktik ini justru menciptakan normatif bias karena penundaan tersebut berada di luar ketentuan eksplisit Pasal 207 ayat (3) HIR, Pasal 227 RBg dan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahmakah Agung yang melarang penangguhan atau penghentian. Dengan demikian, penundaan eksekusi bagaikan pedang bermata dua[8] meskipun bertujuan mencegah kerugian, penundaan tersebut secara tidak langsung dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta memperlambat realisasi keadilan substantif bagi pihak yang dimenangkan [9].
Di sisi lain, lemahnya sinergi antara lembaga peradilan dan aparat keamanan sering kali menjadi faktor penghambat pelaksanaan eksekusi, tidak bisa dipungkiri keberhasilan dan kelancaran proses eksekusi tidak terlepas dari peran kepolisian selaku aparat keamanan. Hal tersebut disebabkan oleh karena belum terdapat SOP yang efektif dalam pelaksanaan koordinasi serta tingginya ego sektoral antar lembaga yang semakin memperburuk keadaan. Kondisi tersebut memperlihatkan lemahnya integrasi sistem hukum dan keterbatasan sumber daya lembaga peradilan dalam menjamin efektivitas pelaksanaan eksekusi [10].
Selain itu, faktor resistensi masyarakat terhadap pelaksanaan putusan pengadilan sering menjadi hambatan lapangan yang sulit diatasi. Tidak jarang, eksekusi menimbulkan konflik horizontal yang berujung pada tindakan anarkis atau intimidasi terhadap aparat pengadilan. Sebagai contoh, tindakan anarkis berupa penyerangan terhadap Panitera Pengadilan Negeri Sibolga hingga mengakibatkan kepalanya bocor pada saat melakukan eksekusi Kamis, 6 November 2025 lalu. Lemahnya penegakan hukum terhadap pihak yang menghalangi eksekusi memperparah keadaan, karena hukum tidak memberikan efek jera yang memadai [11].
Pembaruan Hukum Dan Strategi Institusional Sebagai Upaya Optimalisasi Pelaksanaan Eksekusi
Selain penyempurnaan norma hukum acara, pembaruan penting lainnya adalah memperluas pelaksana putusan perdata. Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan eksekusi dilakukan oleh panitera dan juru sita di bawah pimpinan ketua pengadilan. Namun, pelaksanaan eksekusi di lapangan sering bergantung pada dukungan kepolisian untuk mencegah resistensi pihak kalah, hal ini menunjukkan adanya keterbatasan pelaksana sebagaimana diatur dalam pasal tersebut. Maka cukup beralasan jika kepolisian diposisikan sebagai bagian dari pelaksana eksekusi putusan perdata, perannya terbatas pada menjaga keamanan dan kelancaran pelaksanaan putusan [12]. Hal ini juga dinilai dapat menekan biaya keamanan eksekusi yang relatif besar, biaya keamanan yang besar dalam pelaksanaan eksekusi hanya akan menimbulkan stigma negatif terhadap lembaga peradilan dan akan mencederai asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan [13]. Dengan perintah dari undang-undang bahwa kepolisian sebagai bagian dari pelaksana putusan perkara perdata tentunya akan melekat kewajiban dan tanggung jawab institusional.
Di sisi lain, fakta di lapangan menunjukkan eksekusi seringkali dihalangi oleh Termohon Eksekusi yang memobilisasi masa terorganisir, termasuk Ormas atau preman bayaran [14]. Oleh karenanya diperlukan mekanisme yang proporsional untuk menindak pihak-pihak yang tidak patuh atau yang menghalangi jalannya eksekusi seperti sanksi pidana yang bersifat memaksa yang dikenal dalam sistem hukum Common Law sebagai “Contempt of Court.” Yang dapat dijadikan salah satu penyelesaian dalam menegakkan wibawa pengadilan dan mengakhiri aksi anarkis yang dapat menghambat pelaksanaan eksekusi [14].
Tidak cukup hanya perluasan pelaksana eksekusi dan sanksi resistensi, tetapi juga strategi kelembagaan diperlukan untuk menjamin implementasi yang efektif. Oleh karenanya diperlukan pembentukan unit khusus eksekusi di bawah Mahkamah Agung yang bertugas sebagai pelaksanaan putusan pengadilan. Unit ini berfungsi sebagai kendali kinerja dan pengawas kepatuhan terhadap standar eksekusi. Sebagai perbandingan, di Jerman dan Yunani, pelaksanaan eksekusi ditempatkan di bawah otoritas hakim sebagai pusat kendali, namun proses implementasinya melibatkan tenaga auksilier (pembantu) yang secara struktural berada di luar kekuasaan kehakiman, tetapi tetap berada dalam lingkup pengawasan serta pengendalian yudisial. Petugas pelaksana eksekusi dalam sistem tersebut merupakan fungsionaris yang terafiliasi dengan lembaga peradilan. Dalam konteks Jerman, petugas pelaksana eksekusi dikenal dengan sebutan Gerichtsvollzieher, sedangkan di Yunani disebut Dikastikos Epimelitis [15].
Penutup
Pelaksanaan eksekusi perdata merupakan tahap krusial dalam mewujudkan keadilan substantif. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sistem eksekusi perdata di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, baik secara teknis maupun kelembagaan. Kelemahan regulasi yang tidak adaptif terhadap perkembangan zaman, serta rendahnya efektivitas koordinasi dengan aparat keamanan, menjadi faktor utama terhambatnya kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Pembaruan sistem hukum eksekusi perdata di Indonesia memerlukan reformasi yang menyeluruh dan berkelanjutan guna menjamin pelaksanaan eksekusi yang efektif dan efisien. Reformasi tersebut idealnya berfokus pada tiga aspek utama: Perluasan pelaksana putusan eksekusi perdata, Penguatan sanksi melalui penerapan mekanisme contempt of court, serta Perbandingan hukum mengarahkan penguatan strategi kelembagaan untuk memperkokoh mekanisme eksekusi melalui delegasi fungsi eksekusi kepada pejabat khusus (seperti Gerichtsvollzieher atau Dikastikos Epimelitis).
Referensi
[1] M. S. Phireri, D. Rahman, and A. F. Makmur, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Perkara Perdata,” Julia J. Litigasi Amsir, vol. 10, no. 1, pp. 43–46, 2022, doi: http://journalstih.amsir.ac.id/.
[2] I. Yustiana, “Pelaksanaan Verzet Terhadap Eksekusi Dalam Perkara Perdata,” vol. 6, pp. 225–239, 2022, doi: https://doi.org/10.33474/hukeno.v6i1.12784.
[3] I. W. K. Maramis, “Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) Sebagai Upaya Menangguhkan Eksekusi,” Lex Adm., vol. 5, 2017.
[4] S. Supriyono, “Sistem Eksekusi Perkara Perdata yang Efektif dalam Mewujudkan Kepastian Hukum,” J. Ilmu Huk., vol. 12, no. 2, pp. 167–186, 2021.
[5] W. Oedoyo et al., “Pelaksanaan Eksekusi Perkara Perdata Di Indonesia,” vol. 10, no. 7, pp. 1640–1649, 2022.
[6] N. A. Daim, R. Bayuaji, and S. Abadi, “Criminalizing Non-Compliance with Civil Execution Orders: A Strategy for Enhancing Legal Certainty and Business Efficiency,” J. Huk. dan Perad., vol. 13, no. 2, pp. 337–364, 2024, doi: 10.25216/jhp.13.2.2024.337-364.
[7] F. Lubis and others, “Upaya Hukum Dalam Putusan Perkara Perdata,” J. Relev. Huk. Nusant., vol. 8, no. 2, pp. 20–34, 2025.
[8] W. Oedoyo, D. Ayu Pratiwi, and M. A. Wicaksono, “Analisis Putusan Hakim Dalam Pelaksanaan Eksekusi Perkara Perdata Di Indonesia,” Kertha Semaya J. Ilmu Huk., vol. 10, no. 7, p. 1640, Jun. 2022, doi: 10.24843/KS.2022.v10.i07.p15.
[9] R. Hartati and S. Syafrida, “Hambatan Dalam Eksekusi Perkara Perdata,” ADIL J. Huk., vol. 12, no. 1, Jul. 2021, doi: 10.33476/ajl.v12i1.1919.
[10] A. Arifullah, “Faktor Penghambat Pelaksanaan Putusan Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap,” JISH J. Ilmu Syariah dan Huk., vol. 3, no. 1, pp. 28–40, Mar. 2021, doi: 10.36915/jish.v3i1.14.
[11] S. Kholik, M. N. Alhadi, S. Surahman, and E. Elviandri, “Reformulasi Mekanisme Eksekusi Putusan Pengadilan Untuk Menjamin Kepastian Hukum Dalam Sistem Administrasi Yudisial Indonesia,” Nomos J. Penelit. Ilmu Huk., vol. 5, no. 3, Jul. 2025, doi: 10.56393/nomos.v5i3.3415.
[12] A. A. Gayo, P. R. Hukum, B. Riset, N. Brin, and C. C. By-nc, “Problematic In The Civil Decision Execution Process In Indonesia In Order To Realize Court Excellence Abstract,” pp. 551–560, 2022.
[13] G. P. Christy and P. T. Pasapan, “Eksistensi Pelaksanaan Eksekusi Pada Perkara Perdata Prodeo,” Jurisprud. Jur. Ilmu Huk. Fak. Syariah dan Huk., vol. 7, no. 1, p. 75, Jun. 2020, doi: 10.24252/jurisprudentie.v7i1.13684.
[14] A. Muslimah and S. Widodo, “Urgensi Penerapan Contempt of Court Terhadap Pihak yang Menghambat Eksekusi Perdata,” J. Karya Ilm. Multidisiplin, vol. 5, no. 2, pp. 86–95, May 2025, doi: 10.31849/jurkim.v5i2.24374.
[15] R. De Derecho, “El modelo orgánico de la ejecución civil desjudicializada desde el punto de vista del Derecho comparado .,” pp. 393–430, 2012.