
Pendahuluan
Arbitrase adalah penyelesaian perkara perdata non litigasi berdasarkan perjanjian arbitrase para pihak seperti yang dimuat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, selanjutnya disebut UU 30/1999. Arbitrase sering digunakan dalam sengketa komersil berdimensi internasional yang mengutamakan aspek efisien [1]. Arbitrase ini cenderung dipilih pengusaha karena terjamin, cepat, serta confidential serta sifat putusan yang final dan binding [2]. Sengketa yang diselesaikan dalam arbitrase internasional terbatas pada ruang lingkup bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual.
Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan arbitrase di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia, sedangkan Putusan Arbitrase Nasional adalah putusan arbitrase di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia [3]. Suatu putusan dinilai sebagai Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan hukum positif dilandaskan prinsip teritorial yakni tidak mensyaratkan perbedaan kewarganegaraan maupun sistem hukum, melainkan atas prinsip teritorial sehingga putusan dari Arbiter atau Majelis Arbiter yang diberikan di luar yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah dipastikan sebagai Putusan Arbitrase Internasional [4]. Selanjutnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XXII/2024 menyatakan frasa “dianggap” dalam definisi Putusan Arbitrase Internasional tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membawa dampak bagi kewenangan Ketua Pengadilan dalam mengatasi persoalan eksistensi dan eksekusi Arbitrase Internasional. Menjadi menarik untuk dikaji mengenai bagaimana Ketua Pengadilan Negeri dalam menjalankan kewenangannya melakukan telaah eksekusi arbitrase internasional dalam yurisdiksi Indonesia pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Oleh karena itu, cukup beralasan untuk membahas secara ringkas mengenai telaah eksekusi Putusan Arbitrase Internasional pasca adanya Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut agar mengetahui apakah memunculkan problematika baru atau justru menuntaskan perdebatan ketidakpastian hukum yang sudah lama ada di dalam eksekusi Arbitrase Internasional.
Pembahasan
Eksekusi Arbitrase Internasional diatur dalam UU 30/1999 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter Oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan Dan Pembatalan Putusan Arbitrase, selanjutnya disebut sebagai PERMA Nomor 3 Tahun 2023. Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk menangani pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus melakukan telaah syarat-syarat yang sudah diatur Pasal 66 UU 30/1999. Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif dan harus dipenuhi seluruhnya sehingga tidak dibukanya tindakan penafsiran tambahan mengenai pemenuhan sebagian syarat tersebut. Realitas yang muncul sekarang ini adalah adanya penafsiran mengenai putusan arbitrase nasional yang mengandung unsur asing. Mengenai hal tersebut haruslah diperhatikan unsur asing dalam suatu perjanjian arbitrase yang meliputi, yaitu klausula atau perjanjian arbitrase, forum arbitrase, pemenuhan kewajiban atas hubungan dagang harus dilaksanakan atau most closely connected di luar negara dan objek perjanjian arbitrase lintas negara [5]. Unsur asing dalam perjanjian arbitrase tersebut sebenarnya sudah tidak lagi menjadi pertimbangan bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam telaah eksekusi karena yang dinilai adalah Putusan Arbitrase Internasional dengan prinsip teritorial.
Fakta empiris mengenai adanya penilaian unsur asing yang berdampak pada eksistensi arbitrase internasional tercermin dalam dissenting opinion pada Putusan Nomor 904 K/PDT.SUS/2009 antara PT. PERTAMINA EP, dkk melawan PT. LIRIK PETROLLEUM yang dikemukakan Prof. Rehgena Purba, S.H. MS bahwa Putusan Arbitrase No. 14387/JB/JEM adalah putusan arbitrase internasional dengan pertimbangan yaitu forum penyelesaian dan putusan dijatuhkan International Court of Arbitration (ICC) pada Forum Arbitrase International Chamber of Commerce yang berkedudukan di Paris sehingga masuk kriteria arbitrase internasional sebagaimana kriteria teritorial bukan menentukan putusan menjadi arbitrase nasional. Penilaian bias yang terjadi tersebut salah satunya disebabkan pemaknaan frasa “dianggap” dalam legal terms arbitrase internasional di UU 30/1999. Hal tersebut juga menunjukkan adanya 2 (dua) interpretasi berkenaan eksistensi arbitrase internasional, yaitu pertama, putusan arbitrase internasional adalah yang dijatuhkan di luar yurisdiksi Indonesia dan kedua, putusan tersebut dapat pula dijatuhkan di dalam yurisdiksi Indonesia menurut hukum positif yang berlaku [6]. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa hal tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Legal terms Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 sekarang ini mengalami perubahan. Menurut Mahkamah Konstitusi (2025:143), “Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia sebagai suatu putusan arbitrase internasional”. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membawa dampak bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan telaah eksistensi dan eksekuatur sesuai penegasan konsep teritorial yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional sekarang ini dapat dikatakan mengalami paradigm shift, yang mana sebelumnya multitafsir dalam memaknai eksistensi atau pengakuan Putusan Arbitrase Internasional dikarenakan adanya frasa “dianggap” dalam legal terms Putusan Arbitrase Internasional yang diatur UU 30/1999. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sudah tidak beralasan menurut hukum lagi bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan penafsiran unsur asing dalam telaah eksekusi Arbitrase Nasional maupun Arbitrase Internasional dimana frasa “dianggap” dalam Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kajian komparatif eksistensi dan pelaksanaan arbitrase internasional dalam hal ini diperlukan agar memberikan pandangan model pembaruan hukum terutama sekali tentang badan peradilan menjalankan kewenangannya melakukan telaah eksekusi arbitrase internasional. Menurut Singapore International Arbitration Act 1994, “foreign award means an arbitral award made pursuant to an arbitration agreement in the territory of a Convention country other than Singapore”, dimana eksistensi maupun pelaksanaannya diberikan kepada General Division of the High Court in Singapore dengan tata cara yang sama diberlakukan pada arbitrase domestik dengan batasan kapabilitas dan public policy. Selain itu, menurut Book Four – Arbitration Dutch Arbitration Act, “An arbitral award made in a foreign State to which a treaty concerning recognition and enforcement is applicable may at the request of any of the parties be recognised and enforced in the Netherlands”, yang mana memberikan kewenangan pada badan peradilan untuk menolak pelaksanaan apabila bertentangan dengan public policy. Kedua konsep tersebut menunjukkan bahwa badan peradilan mengakui dan melaksanakan arbitrase internasional tidak dengan melakukan penafsiran legal terms, melainkan hanya diberikan kewenangan menyangkut public policy.
Berlandaskan pada fakta empiris, kajian komparatif dan hukum positif, maka dapat dirumuskan model pembaruan hukum dalam telaah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap permohonan eksekusi Arbitrase Internasional yaitu dengan melihat apakah memiliki perjanjian bilateral ataupun multilateral dengan negara Indonesia mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, berada dalam ruang lingkup bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual, tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy), yaitu segala sesuatu yang merupakan sendi-sendi asasi yang diperlukan demi berjalannya sistem hukum, sistem ekonomi dan sistem sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia, memberikan eksekuatur atau perintah pelaksanaan tidak lebih dari 14 (empat belas) hari kalender sejak permohonan eksekuatur didaftarkan dengan mengedepankan prinsip teritorial atas putusan dan pemberian eksekuatur atas pelimpahan dari Mahkamah Agung apabila pihak yang bersengketa adalah Negara Republik Indonesia serta tidak melakukan penafsiran legal terms [7] [8]. Rumusan tersebut memberikan model pembaruan kepastian hukum dengan dasar argumen bahwa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak melakukan penafsiran untuk mengakui maupun memberikan eksekuatur pada Putusan Arbitrase Internasional dengan menegakkan prinsip teritorial dan kajian komparatif Singapore International Arbitration Act 1994 dan Dutch Arbitration Act.
Penutup
Telaah eksekusi Arbitrase Internasional merupakan perintah dari UU 30/1999 sehingga berlaku imperatif. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi melahirkan paradigm shift dalam proses telaah yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam eksekusi Arbitrase Internasional. Unsur asing dalam perjanjian arbitrase haruslah tidak lagi dimaknai dalam pertimbangan menentukan eksistensi dan ekskutorial Arbitrase Internasional sesuai penegasan prinsip teritorial yang dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, model pembaruan hukum mengenai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam melaksanakan kewenangannya menelaah eksekusi Arbitrase Internasional yaitu dengan cara tidak perlu lagi melakukan penafsiran legal terms agar mewujudkan kepastian hukum bagi Pemohon Eksekusi maupun Termohon Eksekusi. Mahkamah Agung Republik Indonesia perlu melakukan pembaruan terhadap PERMA Nomor 3 Tahun 2023 serta Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum juga perlu melakukan pembaruan terhadap Pedoman Eksekusi di Pengadilan Negeri agar prosedur telaah eksekusi Arbitrase Internasional di Indonesia tidak menimbulkan multi-tafsir.
Referensi
[1] M. Limiardo, F. Reinhart, dan K. O. Karyn, “Ketidaksesuaian Komitmen Indonesia Dalam Perjanjian Internasional Untuk Mengakui Putusan Arbitrase Asing,” Jurnal Kewarganegaraan, vol. 8, no. 1, 2024.
[2] K. William dan M. Rizqy Syailendra, “Penyelesaian Sengketa Investasi Asing melalui Arbitrase Internasional,” Journal of Education Research, vol. 4, no. 4, 2023.
[3] G. Bianti, “Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional Yang Berpotensi Menghambat Kegiatan Investasi Asing Di Indonesia” Jurnal Crepido, vol. 5, no. 1, 2023.
[4] N. Yulistiawati dkk., “Peran Arbitrase Nasional Dan Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis,” Action Research Literate, vol. 9, no. 1, 2025.
[5] S. K. Harahap, “Penerapan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Penolakan Putusan Arbitrase Internasional,” Jurnal Bina Mulia Hukum, vol. 7, no. 1, hlm. 63–80, Sep 2022.
[6] D. Budhijanto, P. Amalia, dan N. A. Shiddiq, “Blockchain arbitration: roadmap to recognition and enforcement of arbitral award,” Cogent Soc Sci, vol. 11, no. 1, 2025.
[7] Imron. Rosyadi, Eksekusi Putusan Perdata Problematika dan Dinamika dengan Pendekatan Praktik Edisi Pertama. Jakarta: Kencana, 2025.
[8] P. HARAHAP, “Eksekutabilitas Putusan Arbitrase Oleh Lembaga Peradilan / The Executability Of arbitration Award By Judicial Institutions,” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 7, no. 1, Mar 2018.