Latar Belakang
Kode Etik profesi menjadi standar penting untuk memastikan integritas dan independensi Hakim tersebut dalam memutus perkara [1]. Di Indonesia terkait kode etik hakim diatur dalam pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa hakim wajib untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim yang telah diatur. Berdasarkan amanat ketentuan diatas, maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim oleh Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI yang diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.
Dalam poin 8 dalam penerapan tentang berdisiplin tinggi butir 8.1 yang menyebutkan bahwa hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara dan selanjutnya pada poin 10 dalam penerapan tentang bersikap professional butir 10.4. menyebutkan bahwa hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa.
Namun dalam penerapannya, sebagaimana adagium hukum klasik “errare humanum est turpe in errore perseverare” yang berarti membuat kekeliruan adalah hal yang manusiawi, namun tidaklah baik untuk tetap mempertahankannya [2], maka hakim yang notabene juga merupakan manusia ini tentunya sangat berpotensi untuk membuat kekeliruan. Tekanan waktu penyelesaian perkara, kurangnya jumlah hakim di pengadilan dan beban perkara yang tinggi sering kali membuat hakim membuat kekeliruan, baik kekeliruan diakibatkan karena sengaja maupun ketidaksengajaan.
Berdasarkan permaslahan tersebut, maka pembahasan di dalam artikel ini adalah mengkaji pemaknaan kekeliruan teknis yudisial yang dilakukan oleh hakim, bagaimana menentukan penilaian kesalahan teknis yudisial yang didalamnya terdapat muatan kognitif dan bagaimana solusi ideal dalam penganan kekeliruan teknis yudisial yang terkandung muatan kognitif.
Pemaknaan Kekeliruan Teknis Yudisial Yang Dilakukan Oleh Hakim
Kesalahan teknis yudisial yang sering dilakukan oleh hakim dalam penerapanya adalah seperti kesalahan dalam menerapkan hukum, salah ketik (typical error), kekeliruan dalam memahami fakta-fakta kasus, atau kesalahan prosedural karena kealpaan. Meskipun secara obyektif tetap terjadi kesalahan namun tidak selalu mencerminkan niat buruk, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah sanksi hukuman disiplin perlu diterapkan.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan Hak Uji Materil Mahkamah Agung Nomor : 36 P/HUM/2011 tentang pengujian Keputusan Bersama tentang KEPPH menyebutkan bahwa rumusan pada butir 8.1 dan 10.4 adalah tidak memuat sebuah cakupan tentang perilaku (behaviour) tetapi soal pengetahuan atau pemahaman yang masuk ke wilayah kognitif yang dilakukan oleh hakim. Atas pertimbangan diatas sehingga butir tersebut dinyatakan tidak sah, tidak berlaku untuk umum dan diperintahkan untuk dicabut. Atas putusan tersebut, ada kajian kognitif yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan kode etik. Dapat diartikan sebelum memberikan sanksi hukuman disiplin kode etik, terlebih dahulu harus ditelaah muatan kognitif dalam kekeliruan tersebut. Penulis dalam hal ini akan mengkaji muatan kognitif dalam kekeliruan teknis yudisial yang dilakukan oleh hakim.
Aspek kognitif adalah suatu proses untuk berpikir, yaitu kemampuan seseorang untuk menghubungkan, menilai, menganalisa dan mempertimbangkan suatu hal, kejadian atau peristiwa[3] Kognisi merupakan salah satu aspek perkembangan individu yang meliputi kemampuan dan aktivitas mental yang dihubungkan dalam proses penerimaan, pemrosesan dan penggunaan informasi dalam bentuk berpikir, pemecahan masalah, dan adaptasi bagi Individu.[4] Dalam konteks tugas dan wewenang Hakim, ini berkaitan dengan tingkat kemampuan hakim dalam kecermatan dan ketelitian, berpikir kritis dalam menangani perkara dan pilihan hukum dalam membuat putusan.
Dalam hal ini tingkat kemampuan hakim tentunya beragam dan bervariasi juga dihadapkan pada situasi dan kondisi hakim tersebut semisal beban perkara dan kompleksitas perkara yang dihadapi. Oleh karena itu, jika kekeliruan teknis yudisial terdapat muatan kognitif tidak tepat dan tidak efektif untuk memberikan sanksi hukuman disiplin. Badan Pengawasan dan Komisi Yudisial selaku badan yang bertugas mengawasi perilaku hakim juga perlu memahami kondisi tersebut.
Parameter Penilaian Kekeliruan Teknis Yudisial Dalam Ranah Perilaku Yang Perlu Diberikan Sanksi
Selanjutnya kemudian muncul pertanyaan bagaimana cara menilai dan menentukan kekeliruan teknis yudisial hakim terkandung muatan kognitif didalamnya. Hal tersebut diperlukan agar dapat menjadi dasar penentuan dijatuhkan sanksi atau tidak untuk hakim tersebut. Untuk menentukan hal tersebut, perlu untuk mempertimbangkan beberapa parameter dibawah ini.
Parameter pertama adalah berdasarkan niat kesengajaan dan sifat kekeliruan. Dalam hal ini penting bagi Badan Pengawasan dan Komisi Yudisial mendeteksi adanya unsur niat kesengajaan atau tidak dalam hal kekeliruan hakim. Dalam kekeliruan teknis yudisial karena tidak disengaja semisal kekeliruan pengetikan (typographical errors) masuk dalam wilayah kognitif. Namun dalam hal jika dapat dibuktikan adanya niat yang disengaja untuk berbuat salah karena hakim sebelumnya telah bersepakat kepada salah satu pihak untuk menerima suap maka hal tersebut tidak terkandung muatan kognitif sehingga perilaku tersebut dapat disanksi.
Parameter kedua adalah berdasarkan pola pelanggaran jika seorang hakim menunjukkan pola kekeliruan yang sama berulang kali dan juga sudah ditegur maka hal tersebut dapat menjadi indikasi pelanggaran perilaku. Seorang hakim harus berusaha memperbaiki kekeliruan yang dibuatnya. Jika hakim sudah diingatkan namun tetap berulang, perilaku tersebut layak mendapatkan sanksi karena tidak terdapat muatan kognitif didalamnya.
Parameter ketiga adalah berdasarkan penyebab kekeliruan. Kekeliruan teknis yudisial
yang mengandung muatan kognitif disebabkan oleh antara lain kurangnya pelatihan atau kompetensi, kompleksitas hukum yang sulit dipahami, kekeliruan administratif, tekanan kerja atau kurangnya waktu dalam pembuatan putusan. Penyebab- penyebab tersebut juga perlu didalami oleh tim pemeriksa.
Solusi Dalam Penanganan Kekeliruan Teknis Yudisial Yang Dilakukan Oleh Hakim.
Untuk memberikan solusi penanganan kekeliruan teknis yudisial yang bermuatan kognitif, sesuai yang telah dijelaskan diatas tidak perlu untuk dilakukan pemberian sanksi hukuman disiplin oleh Badan Pengawasan maupun Komisi Yudisial. Namun harus tetap ada penanganan yang tepat agar dapat memberikan pelayanan hukum yang ideal kepada masyarakat, maka perlu ada beberapa hal yang dapat dijadikan solusi oleh berbagai pihak untuk mengatasi hal tersebut.
Masyarakat atau dalam hal ini para pihak yang dirugikan oleh kekeliruan teknis yudisial yang dilakukan hakim dalam wilayah kognitif dapat melakukan upaya hukum yang telah ditentukan Undang- undang. Hal ini ditegaskan didalam pertimbangan majelis hakim putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 005/PUU-1V/2006, disebutkan apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan terhadap putusan hakim maka pengawasan yang dapat dilakukan dengan cara melakukan penilaian ataupun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara yang berlaku. Untuk mekanisme peninjauan kembali dilakukan apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sesuai pada pasal 263 ayat (2) dalam huruf c KUHAP.
Mahkamah Agung selaku badan yang menaungi hakim di seluruh Indonesia mempunyai fungsi pembinaan yang juga bertanggung jawab terhadap kekeliruan teknis yudisial. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah memberikan pelatihan untuk mengurangi kekeliruan, penguatan integritas Hakim secara berkelanjutan, menciptakan sistem atau teknologi yang mendukung hakim dalam bekerja lebih efektif.
Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan diharapkan memiliki prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam melakukan pengawasan kepada hakim agar efektif mendeteksi, menganalisis, dan mengatasi kekeliruan teknis yudisial yang masuk dalam ranah perilaku yang menyimpang. Sehingga agar mewujudkan hal tersebut dapat dilakukan dengan cara yaitu pembentukan tim ahli multidisiplin menyertakan psikolog kognitif, membuat daftar indikator untuk mengidentifikasi kekeliruan kognitif, pemilahan kekeliruan kognitif menjadi kategori tertentu (minor, sedang, berat) untuk menentukan tindakan yang sesuai dan pelatihan bagi hakim untuk mengenali bias kognitif dalam pengambilan keputusan.
Solusi bagi hakim untuk menangani kekeliruan kognitif dapat melibatkan pendekatan pribadi, profesional, dan institusional seperti peningkatan kesadaran dan pemahaman diri, aktif mengikuti progam pendidikan dan pelatihan, aktif dalam diskusi dengan rekan hakim, memberikan waktu yang cukup agar tidak tergesa-gesa yang dapat memicu kekeliruan- kekeliruan kognitif.
Penutup
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kekeliruan teknis yudisial yang dilakukan oleh Hakim dimungkinkan memiliki muatan kognitif sehingga perlu beberapa cara untuk mendeteksi hal tersebut. Jika ditemukan muatan kognitif dalam kekeliruan teknis yudisial kemudian diberikan sanksi hukuman disiplin kepada hakim adalah pendekatan yang tidak tepat dan tidak adil bagi hakim tersebut. Penting bagi semua pihak yaitu Masyarakat, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan hakim tersebut untuk memahami perihal muatan kognitif dalam kekeliruan teknis yuduisial dan juga melakukan upaya- upaya penanganan yang efektif dan sesuai aturan yang berlaku.
Daftar pustaka
[1] Y. P. Ginting et al., “Analisis Kritis Tentang Etika Profesi Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia,” J. Pengabdi. West Sci., vol. 2, no. 07, pp. 558–570, 2023.
[2] G. Anand and Xavier Nugraha, “Exit Plan Terhadap Clerical Eror Pada Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap: Sebuah Upaya Preventif Terwujudnya Putusan Non-Executable,” Media Iuris, vol. 5, no. 2, pp. 207–230, 2022.
[3] I. R. W. Wardani, M. I. Putri Zuani, and N. Kholis, “Teori Belajar Perkembangan Kognitiv Lev Vygotsky dan Implikasinya dalam Pembelajaran,” DIMAR J. Pendidik. Islam, vol. 4, no. 2, pp. 332–346, 2023.
[4] Ujang Khiyarusoleh, “Konsep Dasar Perkembangan Kognitif Pada Anak Menurut Jean Piaget,” J. Dialekt., vol. 5, no. 1, pp. 1–10, 2016.