Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi[1] yang tentunya hakim sebagai aktor utama dalam proses peradilan memiliki karakteristik yang karena penyertaannya dapat mengakhiri sengketa/ perkara atau memerintahkan instansi penegak hukum lainnya untuk memasukkan seseorang ke penjara bahkan menentukan penghilangan hidup seseorang pelaku tindak pidana [2]. Sehingga dengan peran sentral tersebut dibutuhkan kesadaran yang tinggi oleh seorang Hakim terhadap tanggung jawab baik kepada Manusia maupun pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dalam setiap Putusannya memuat kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.
Jabatan Hakim tentu tidak bisa dipisahkan dari tugas dan tanggung jawabnya dan Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan asas penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagai pedoman dasar dari hakim di dalam menyelesaikan suatu perkara tetapi masalahnya tidak ditemukannya aturan lebih lanjut yang mengatur mengenai asas peradilan ini paling tidak sebagai pedoman teknis di dalam memaknai kalimat itu sehingga yang kita temukan dalam praktiknya sebagian hakim dalam menuangkan kalimat tersebut di dalam putusannya yang tidak lebih sebagai syarat formal di dalam mengakhiri sengketa tanpa memaknai kalimat tersebut dalam tugas dan tanggung jawabnya termasuk dalam kehidupan sehari hari oleh karena itu tidaklah mengherankan adanya penyimpangan dalam tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari padahal hakim adalah satu satunya jabatan yang menyebut Tuhan dalam setiap produk hukum yang dikeluarkan.
Disamping jabatan hakim, adanya peran sentral dari seorang panitera dalam jabatan kepaniteraan sebagai supporting unit dalam membantu hakim mewujudkan tanggung jawabnya dalam mengemban tugas yang juga tidak kalah pentingnya diperhadapkan oleh situasi dimana dirinya akan mendapat godaan untuk mencatat suatu berita acara atau proses administrasi perkara yang bisa menguntungkan salah satu pihak demi untuk kepentingan pribadi sehingga dibutuhkan integritas tinggi dan pemahaman akan tugas dan tanggung jawab seorang Panitera.
Tujuan Penulisan ini adalah untuk lebih memaknai hakikat jabatan hakim dan panitera yang sebenarnya lebih mengarah pada aspek teologis sehingga apabila hal ini tidak diindahkan kemungkinannya akan melahirkan suatu mindset penyelesaian tugas dan tanggung jawab hanyalah didasarkan pada aspek formalitas tetapi belum menyentuh pada aspek nilai baik pada aspek pekerjaan maupun kehidupan seorang hakim dan panitera sehingga berdasarkan hal tersebut akan timbul suatu permasalahan yakni: (1). Bagaimana memaknai Hakikat Jabatan Hakim dalam hubungannya dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”?; dan (2) Bagaimana Peran Panitera dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman?.
Memaknai Hakikat Jabatan Hakim dalam Hubungannnya dengan Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”
Hakim sebagai personifikasi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka demi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan kemudian lebih jauh dengan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” kemudian dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang tersebut , hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan [3], oleh karena itu hakim dalam menjalankan tugasnya telah dijamin oleh negara dalam konteks kebebasan dalam mengadili suatu perkara tanpa campur tangan pihak luar sehingga Independensi Peradilan dapat terwujud.
Menurut Oemar Seno Adji sebagaimana dikutip oleh Ahmad Kamil dalam bukunya Filsafat Kebebasan Hakim menyatakan bahwa “Independensi Kekuasaan Kehakiman dapat dilihat dari 2 (dua) sudut yakni Independensi fungsional yakni Independensi yang berhubungan dengan tugas Hakim dan Independensi konstitusional yakni Independensi yang berhubungan dengan kedudukan kelembagaan yang bebas dari pengaruh pihak lain” [4]. Lebih lanjut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” dan apabila dikaitkan dengan independensi tersebut bahwa hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang dibebankan oleh negara selain adanya pertanggungjawaban terhadap para pihak ataupun masyarakat luas juga sebagai simbol pertanggungjawaban kelembagaan terhadap negara dengan tetap menjaga kemandirian demi menegakkan hukum dan keadilan.
Kemudian lebih lanjut mengenai jabatan hakim dihubungkan dalam konteks filsafat yakni pada cabang epistemologi sebagai cabang yang menyelidiki asal, metode maupun sahnya ilmu pengetahuan [5]. Diuraikan bahwa lahirnya jabatan hakim pada dasarnya jabatan yang selalu dilekatkan dengan kalimat orang yang dianggap adil atau mampu untuk menyelesaikan sengketa/perkara sehingga penguasaan hukum seorang hakim dalam menyelesaikan perkara adalah suatu keniscayaan lebih lanjut Burger seorang Mantan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat sebagaimana dikutip oleh Safri Abdullah dalam bukunya Silent Court, menyatakan bahwa “sidang pengadilan adalah panggung milik umum yang dimainkan oleh para aktor hukum” sehingga dibutuhkan visi yang jelas oleh seorang hakim dalam menjalankan judicial activism dalam menyelesaikan suatu perkara.[6].
Selanjutnya pada cabang Filsafat lainnya yakni ontologi, yang membahas mengenai keberadaan sesuatu [7], dan dihubungkan dengan pembahasan mengenai jabatan hakim tentunya tidaklah bisa dilepaskan dari aturan yang melandasi keberadaan jabatan hakim sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi tugas dan tanggung jawab harus tunduk pada sistem hukum yang dianut di Indonesia.
Kemudian pada cabang Filsafat lainnya yakni axiology yang dalam bahasa filsafat dimaknai nilai objektifnya realitas [8]. Jujun S. Suriasumantri menyebutnya nilai kegunaan ilmu [9]. Selanjutnya dalam hal yang konkret dihubungkan dengan keberadaan jabatan hakim dimana aspek nilai di dalam mengadili suatu perkara haruslah memiliki nilai transendental pada setiap putusan yang tidak terbatas pada ruang dan waktu oleh karena setiap putusan wajib memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” sehingga keberadaan irah-irah tersebut tidak hanya sekedar bersifat formalitas ataupun memiliki nilai pertanggungjawaban kepada para pihak dan/atau masyarakat umum maupun kepada negara tetapi lebih dari itu pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga juga bernilai teologis [10].
Penulis memandang bahwa dari ketiga aspek filosofis tersebut, aspek axiology atau aspek nilai inilah yang belum dimaknai secara total atau sepenuhnya oleh hakim walaupun setiap menyelesaikan perkara kalimat tersebut wajib ada dan hal ini terbukti dengan masih adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan kehidupan sehari-hari padahal hakim adalah jabatan yang sepatutnya dekat dengan Tuhan sehingga perlunya suatu pengaturan/pedoman lebih lanjut untuk menjabarkan prinsip Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa yang secara garis besar memberi pedoman para hakim dalam menjiwai prinsip tersebut yang lebih mengarah pada nilai teologis sehingga melahirkan putusan yang dapat memberi pencerahan yang dapat menembus ruang dan waktu.
Peran Panitera dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman
Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara dibantu oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan Panitera” kemudian yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas panitera adalah pembuatan berita acara sidang yang tentunya menjadi dasar bagi hakim dalam membuat putusan sehingga dengan demikian peran panitera dalam membantu hakim memiliki peran sentral atas terselenggaranya persidangan termasuk menyiapkan dan bertanggung jawab atas administrasi persidangan yang dalam konteks Epistemologi membantu hakim dalam mengadili Perkara, sedangkan dalam aspek ontologi keberadaannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan untuk aspek axiology tugas dan tanggung jawabnya sebagai titik awal dalam proses mengadili perkara karena berita acara yang dibuat oleh panitera adalah sebagai acuan hakim dalam membuat putusan sehingga memiliki nilai yang sangat menentukan dalam mengadili suatu perkara oleh karena itu dibutuhkan profesionalisme seorang panitera dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Penutup
Dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, jabatan hakim memiliki peran strategis dalam menegakkan hukum dan keadilan sehingga produk hukum yang dibuat tidak hanya dimaknai memiliki nilai pertanggungjawaban kepada para pihak dan/atau masyarakat umum maupun kepada negara tetapi lebih dari itu pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga perlunya penjabaran dalam Peraturan lebih lanjut tentang prinsip Demi Keadilan Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa yang bernilai teologis kemudian dalam pelaksanaannya Hakim dibantu oleh Panitera sehingga kedua jabatan tersebut dibutuhkan profesionalisme dan integritas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya
Referensi
[1] S. J. M. Konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 2003.
[2] L. Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Teori, Praktik, Teknik membuat dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya, 2009.
[3] Undang-Undang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Indonesia, 2009
[4] M. H. Dr. H. Ahmad Kamil, S.H., Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
[5] M. H. Prof Dr.Sufirman Rahman, S.H, M.H dan Dr. Nurul Qamar, S.H., Etika Profesi Hukum. Makassar: Refleksi, 2014.
[6] S. Abdullah, Silent Court. Yogyakarta: WR, 2018.
[7] L. O.Kattsoff, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
[8] M. B. A. Shadr, Falsafatuna. Bandung: Mizan, 1999.
[9] J. S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009.
[10] K. Yudisial, Potret Profesionalisme Hakim dalam Putusan. Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2008.