HAKIM DAN KEADILAN: PARADOKS DALAM PENERAPAN PUTUSAN YANG BERORIENTASI PADA KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA

24 February 2025 | William Edward Sibarani
William Edward Sibarani

format_quote
'Keadilan bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum bukan sekadar soal hukuman, tetapi bagaimana hakim mampu mengembalikan mereka ke jalur yang benar tanpa mengorbankan masa depan mereka.'

Latar Belakang

Peranan hakim dalam sistem peradilan pidana khususnya pada perkara yang melibatkan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (untuk selanjutnya disebut ABH) sangatlah penting. Dalam hal ini, perlakuan hakim terhadap ABH sudah seharusnya berbeda dalam menangani Terdakwa yang sudah dewasa. Selain itu, penanganan perkara yang melibatkan ABH juga harus diiringi dengan penjatuhan hukuman yang lebih humanis melalui pendekatan restoratif. Kewenangan hakim dalam menempatkan keadilan pada perkara yang melibatkan ABH tidak hanya terbatas pada itikad untuk menghukum saja tetapi bertujuan kepada kepentingan terbaik untuk anak. Artinya, hakim memiliki keleluasaan yang lebih kompleks dalam menerapkan pemidanaan yang sifatnya restoratif pada perkara anak.

Prinsip keadilan restoratif yang kini berkembang di dunia saat ini mengedepankan kepada proses pemberian kesempatan untuk mencari jalan keluar terbaik baik kepada pelaku, korban maupun masyarakat secara keseluruhan dengan melakukan upaya pemulihan seperti keadaan semula [1]. Melalui pendekatan ini, hakim berperan aktif dalam menjatuhkan pidana yang sifatnya pemulihan, bukan lagi penghukuman melalui lembaga pemasyarakatan. Maka dari itu, hakim dalam jabatannya sebagai sang pengadil tidak hanya dituntut untuk menjatuhkan putusan berdasarkan kepastian hukum semata melainkan berdasarkan keadilan restoratif yang dapat dipertanggungjawabkan melalui profesionalisme yang dijunjung.

Dalam kaitannya dengan penjatuhan hukuman di Indonesia, data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa saat ini total penghuni Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak adalah sebanyak 274.065 (dua ratus tujuh puluh empat ribu enam puluh lima) orang. Jumlah ini berbanding terbalik dengan kapasitas yang disediakan oleh pemerintah yaitu sebanyak 145.340 (seratus empat puluh lima ribu tiga ratus empat puluh) orang [2]. Tak jarang bahkan penerapan keadilan retributif melalui pemenjaraan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan narapidana pada berbagai lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Kondisi demikian harus disikapi dengan perubahan pola pikir dari aparat penegak hukum bahwa pemidanaan melalui pemenjaraan bukanlah solusi utama dalam mengurangi permasalahan inkapasitas pada lembaga pemasyarakatan di Indonesia, khususnya terhadap perkara yang melibatkan ABH.

Hakikat Jabatan Hakim dalam Menangani Perkara Anak

Dalam kaitannya terhadap perkara yang melibatkan ABH, penerapan keadilan restoratif juga harus diimbangi dengan kompetensi aparat penegak hukum. Menyikapi disparitas jumlah tahanan dan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang cukup memprihatinkan, penjatuhan pidana penjara terhadap ABH semestinya menjadi jalan terakhir dan berorientasi terhadap kesejahteraan dan masa depan anak. Maka dari itu penting bagi hakim dalam memahami makna keadilan dan profesionalisme dalam menangani perkara yang melibatkan ABH.

Sebagai contoh, dalam hal polisi dan jaksa memiliki diskresi untuk melakukan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dengan dasar keadilan restoratif, maka hakim juga memiliki kewenangan untuk meniadakan atau memutuskan pemidanaan dengan pertimbangan telah tercapainya keadilan restoratif [3]. Sebelum menjatuhkan putusan dalam perkara yang melibatkan ABH, hakim terlebih dahulu harus memperhatikan kondisi sosial ABH maupun orang tua/wali. Apakah ABH tersebut mendapatkan pembinaan/pendidikan yang optimal apabila dijatuhi pidana penjara? Atau apakah orang tua/wali dari ABH tersebut mampu memberikan pembinaan yang optimal ketika ABH tidak dijatuhi pidana penjara? Faktor-faktor non-yuridis tersebut harus diperhatikan oleh hakim agar dalam menjatuhkan pemidanaan yang sifatnya restoratif terhadap anak menjadi lebih komprehensif dan berkeadilan.

Pada hakikatnya, hakim diberikan kebebasan dalam memeriksa, mengadili dan memutus setiap tindak pidana dengan tidak melanggar ketentuan hukum acara, batas-batas ketertiban, kepatutan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Pandangan demikian juga telah diakomodir melalui konsep pemaafan hakim dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang berlaku di Indonesia pada tahun 2026 nanti. Dalam praktik, penjatuhan hukuman oleh hakim sering membenturkan kepastian hukum dengan keadilan hukum [4]. Maka dari itu, dengan diakuinya ketentuan pemaafan hakim secara formalistis, menuntut agar hakim dapat mempertimbangkan setiap faktor dalam diri ABH untuk dapat meringankan hukumannya. Peranan hakim dalam bertindak tidak hanya sebagai corong undang-undang, melainkan berperan aktif dalam memberikan keadilan kepada ABH menjadi mutlak dilakukan.

Tantangan dalam Penjatuhan Pidana Restoratif terhadap Anak

Dalam praktiknya, banyak hakim telah menerapkan pemidanaan restoratif terhadap ABH melalui penjatuhan pidana peringatan, pidana dengan syarat, pidana penjara yang lamanya disamakan dengan masa tahanan atau pembebasan maupun pelepasan dari tuntutan hukum. Sekalipun demikian, masih banyak hal yang perlu disoroti dalam penanganan perkara yang melibatkan ABH baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan hingga persidangan. Sebagai contoh, dalam tingkat penyidikan sering ditemukan bahwa pihak kepolisian melakukan penahanan tanpa memperhatikan urgensi dilakukannya penahanan tersebut. Dalam hal ini, penahanan terhadap ABH dipandang sebagai suatu kewajiban, bukan lagi melihat pada kebutuhan dilakukannya penahanan. Menyikapi persoalan ini, ketua pengadilan dalam jabatannya sebagai hakim dengan memperhatikan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas dapat meminimalisir dilakukannya penahanan terhadap ABH. Maksudnya adalah, respons restoratif terhadap permohonan penahanan dengan pengabaian terhadap kewajiban melakukan reparasi terhadap ABH harus diminimalisir [5].

Selain itu, dalam beberapa kasus penanganan perkara anak, ABH ditempatkan bersama dengan tahanan dewasa mulai dari penyidikan sampai penuntutan. Dalam kondisi tersebut tidak sedikit juga ABH justru mendapatkan perlakuan intimidatif, kekerasan fisik maupun kekerasan seksual oleh penghuni tahanan dewasa [6]. Peranan hakim dalam mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak seharusnya tidak terbatas pada ruang sidang saja. Terhadap hal-hal demikian, sudah semestinya hakim dapat melakukan intervensi secara ex-officio untuk memastikan agar terhadap setiap ABH yang ditahan, tetap harus mendapatkan hak-haknya sebagai anak tanpa terkecuali.

Tidak hanya terkait hal tersebut, dalam tahap penuntutan juga sering ditemukan bahwa jaksa penuntut umum cenderung menuntut ABH untuk dijatuhi pidana penjara tanpa mengupayakan tercapainya diversi maupun alternatif penyelesaian perkara lainnya yang bersifat restoratif. Dalam proses persidangan, ditemukan juga fakta bahwa Badan Pemasyarakatan belum melaksanakan fungsinya secara optimal dalam melaksanakan asesmen terhadap ABH. Keterbatasan sumber daya manusia serta kompetensi petugas menjadi beberapa alasan mengapa asesmen yang dilaksanakan terhadap ABH menjadi sekedar formalitas dan tidak komprehensif. Padahal asesmen tersebut menjadi acuan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yang berorientasi restoratif kepada ABH. Pendampingan terhadap ABH juga penting dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya pembatasan dan perampasan hak anak yang berpengaruh pada perkembangan anak [7].

Beragam permasalahan di atas jelas kontraproduktif dengan semangat mewujudkan keadilan yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak, dimana seharusnya pengadilan sebagai garda terdepan mengambil peranan dalam meminimalisir pemenjaraan terhadap ABH. Perbedaan pandangan terhadap “keadilan” juga menjadi perdebatan yang alot diantara para jurist. Disatu sisi hakim dalam jabatannya diharapkan dapat memberikan keadilan sebesar-besarnya terhadap masyarakat yang terdampak akibat terjadinya suatu tindak pidana. Namun disisi lain, keadilan tidak dapat dielakkan karena bagaimanapun juga kepentingan ABH menjadi prioritas utama dengan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini tidak hakim tidak hanya dituntut untuk bersikap profesional terhadap setiap perkara yang ditanganinya, melainkan hakim juga harus berani mengambil langkah-langkah strategis demi mewujudkan keadilan restoratif.

Penutup

Dilema bagi hakim dalam mewujudkan keadilan dalam penanganan perkara anak dapat diminimalisir dengan pemahaman yang sama mengenai nilai keadilan itu sendiri. Hakim harus memiliki kepekaan bahwa berperilaku adil tidak selalu dapat diwujudkan dengan memberikan efek jera terhadap ABH melalui pemenjaraan. Bersikap adil dan profesional juga dapat dilakukan dengan menjatuhkan putusan yang sifatnya progresif. Hakim telah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menjatuhkan pidana peringatan dan pidana dengan syarat terhadap ABH sebagai langkah-langkah progresif meminimalisir perenggutan kemerdekaan terhadap ABH dalam penjara. Dalam hal ini hakim wajib memberikan kesempatan kepada ABH untuk kembali ke dalam masyarakat memperbaiki diri dan masa depannya.

Tidak hanya bersifat reaktif terhadap tuntutan hukum, sudah semestinya hakim melalui diskresi yang dimilikinya dapat mewujudkan keadilan melalui penjatuhan putusan-putusan yang lebih berkeadilan terhadap ABH. Hakim memiliki peran strategis dalam meminimalisir setiap upaya perampasan kemerdekaan terhadap ABH dimana hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif yang melekat terhadap anak. Sebagai puncak kulminasi dari profesi hakim, suatu putusan harus didasarkan tidak hanya pada nilai-nilai yang melekat secara tertulis saja melainkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Referensi

[1] J. Braithwaite, “The Fundamentals of Restorative Justice,” in A Kind of Mending, Australia: ANU Press, 2010, pp. 35–44.

[2] “Laporan Jumlah Penghuni Khusus Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan”, diakses pada https://www.sdppublik.ditjenpas.go.id, pada 28 November 2024, pukul 20.03.

[3] B. Suhariyanto, L. Mulyadi, and Muh. R. Hakim, Kajian Restorative Justice: Dari Perspektif Filosofis, Normatif, Praktik dan Persepsi Hakim, 1st ed. Jakarta: Penerbit Kencana, 2021.

[4] A. A. Saputro, “KONSEPSI RECHTERLIJK PARDON ATAU PEMAAFAN HAKIM DALAM RANCANGAN KUHP,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, vol. 28, no. 1, p. 61, Feb. 2016, doi: 10.22146/jmh.15867.

[5] T. Ward and R. Langlands, “Repairing the rupture: Restorative justice and the rehabilitation of offenders,” Aggress Violent Behav, vol. 14, no. 3, pp. 205–214, May 2009, doi: 10.1016/j.avb.2009.03.001.

[6] A. M. Sirait, Perlindungan Anak Berkonflik dengan Hukum. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2024.

[7] LBH Jakarta, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum. Jakarta: LBH Jakarta, 2012.