PERILAKU JUJUR HAKIM MENGHASILKAN PUTUSAN YANG ADIL

26 February 2025 | Hendrik Dengah
bruce

format_quote
'Hakim dalam memutus perkara diwajibkan untuk mengutamakan keadilan, dan keadilan itu hanya dapat diadakan jika hakim jujur dalam proses pemeriksaan perkara.'

Latar Belakang

Hakim adalah wakil Tuhan di dunia, sebagaimana peribahasa klasik yang telah didengar dari generasi ke generasi dan sampai saat ini masih nyaring gemanya. Begitu besar kewenangan hakim pada saat menjalankan tugasnya yaitu memeriksa, mengadili dan memutus perkara, baik dalam perkara pidana maupun perdata. Dengan kekuasaan yang melekat kepada hakim, ia dapat mempertimbangkan untuk menentukan apa saja yang dapat dijadikan dasar hukum untuk memutus dalam perkara pidana, dengan pidana paling singkat atau paling lama bahkan penjara seumur hidup atau hukuman mati sebagai pilihan pemidanaan yang tepat untuk dijatuhkan kepada terdakwa, begitu juga dalam perkara perdata bagaimana hakim menilai semua bukti-bukti yang diajukan para pihak dalam persidangan. Putusan Hakim adalah suatu putusan yang mutlak mengandung kebenaran yang ditemukan dalam persidangan yaitu berupa keterangan para saksi dan atau alat bukti sebagaimana yang diatur dalam hukum acara, dengan tujuan memberikan keadilan kepada pihak yang berhak atas keadilan itu. Para pihak harus tunduk terhadap putusan tersebut, ketika putusan a quo telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam konteks inilah peribahasa yang menempatkan hakim sebagai wakil Tuhan, yaitu pada saat memutus suatu perkara.

KUHAP Pasal 1 Angka 8 berbunyi “Hakim adalah pejabat negara yang diberikan oleh undang-undang untuk mengadili”. Pada saat memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, hal yang paling utama yang harus melekat pada sanubari seorang hakim adalah jujur dan/atau tidak berpihak, itulah harapan para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan sebagai langkah akhir dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan, yang menjanjikan suatu kepastian hukum, sehingga suatu putusan pengadilan memberikan manfaat yang universal, yaitu manfaat bagi pencari keadilan maupun memberikan rasa keadilan kepada masyarakat umum, serta meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap sang pengadil dan lembaga peradilan.

Permasalahan

Pemeriksaan suatu perkara, hakim akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi-saksi dalam rangka menggali informasi, hakim harus memiliki kesabaran dan kemampuan yang mumpuni untuk mendengar keseluruhan keterangan, cermat dalam membaca, cerdas menganalisa fakta persidangan kemudian disimpulkan menjadi fakta hukum. Hakim wajib didampingi oleh seorang panitera yang bertugas untuk mencatat keseluruhan yang terungkap dalam proses persidangan sebagaimana diatur dalam hukum acara.

Pemeriksaan perkara dalam persidangan terkait dengan mendengar “apa yang dilihat dan didengar atau apa yang dialami oleh saksi, pendapat ahli atau pengakuan terdakwa” serta pemeriksaan barang bukti, kesemuanya adalah komponen utama dalam pembuktian, apa yang terungkap dalam persidangan menjadi fakta persidangan kemudian diolah menjadi fakta hukum. Jika hanya mengandalkan kemampuan mendengar, mengingat dan menulis kembali fakta persidangan oleh hakim dan/atau panitera pengganti dengan apa yang dimilikinya baik lebihnya maupun kekurangannya, besar kemungkinan akan ada ketidaksesuaian antara fakta persidangan dengan apa yang ditulis kembali dalam berita acara sidang. Fakta persidangan adalah bahan utama untuk dijadikan fakta hukum sebagai penentu putusan yang berisikan keadilan. Dalam KUHAP Pasal 183 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Pembuktikan berdasarkan pasal 183 KUHAP dikenal dengan pembuktian Negatif Wettelijks Theorie. Wetterlijks memiliki pengertian berdasarkan Undang-Undang, Negatif artinya “walaupun telah ada alat bukti sesuai dengan undang-undang, hakim belum bisa menjatuhkan hukuman, sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa”. Keyakinan hakim akan terbentuk dengan membaca dan merekonstruksi keseluruhan fakta persidangan menjadi fakta hukum yang disuguhkan oleh panitera dalam bentuk berita acara sidang.

Berita Acara Sidang adalah Akta Otentik, karena dibuat oleh pejabat yang memiliki kewenangan, dibuatnya berdasarkan sumpah jabatan, dan ditandatangani oleh panitera pengganti dan Ketua Majelis Hakim. Autentifikasi Berita Acara Sidang dari aspek hukum adalah tulisan yang berisikan keterangan resmi dan sah, legalitas melekat pada berita acara sidang demi kepastian hukum. Dasar hukum pembuatan berita acara sidang pada KUHAP Pasal 200 ayat (1) “Panitera membuat berita acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan dan membuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu. Ayat (2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan lainnya. Ayat (3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua sidang wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan. Ayat (4)Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut”.

Fakta empiris dalam beberapa perkara didapati isi berita acara sidang tidak sesuai dengan fakta persidangan, sehingga merugikan salah satu pihak. Hal ini memunculkan pertanyaan “Apa yang harus dilakukan agar ketidaksesuaian itu tidak terjadi karena kelalaian atau kesengajaan?, hipotesanya:

Jika ketidaksesuaian terjadi karena kelalaian panitera pengganti, maka Ketua Majelis dapat mengoreksi, karena sebelum

menandatangani

berita acara sidang ketua majelis wajib membacanya.

Jika ketidaksesuaian terjadi karena kesengajaan, maka harus ada perangkat kontrol yang dibuat untuk mencegah agar tidak ada peluang bagi oknum hakim dan/atau

panitera

melakukan kesengajaan.

Pembahasan

Isi berita acara sidang yang tidak sesuai dengan fakta persidangan, patut diduga terjadi karena persekongkolan yang dilakukan secara sadar oleh panitera dan hakim untuk berpihak kepada salah satu pihak yang dikehendaki, dengan tujuan tertentu?. Padahal tujuan dari suatu peradilan adalah penegakan hukum. “Gustav Radbruch mengemukakan teori tujuan hukum terdiri dari Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan dan baginya ketiga unsur ini bersifat relatif yaitu bisa berubah-ubah untuk menonjolkan unsur mana yang lebih utama”. Dari teori itu dapat dipastikan jika ketiga unsur tersebut telah terpenuhi maka tujuan hukum telah tercapai. Namun realitasnya dalam perkara tertentu terjadi pertentangan antara ketiga unsur tersebut.

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ayat (1) “Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Ayat (2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”. Terkait dengan frasa “menegakkan hukum” pada ayat (1) menurut penulis memiliki arti, dalam proses pemeriksaan harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan jika dikaitkan dengan berita acara sidang, maka isi berita acara sidang harus memasukan keseluruhan fakta persidangan, tidak boleh dengan sengaja memasukan yang bukan fakta persidangan. Demikian pula dengan frasa “mengutamakan keadilan” pada ayat (2) penulis merumuskan bahwa hakim dalam memutus perkara diwajibkan untuk mengutamakan keadilan, dan keadilan itu hanya dapat diadakan jika hakim “JUJUR” dalam proses pemeriksaan perkara, yang salah satu fokus menjadi pusat perhatian adalah memeriksa dan mengoreksi berita acara sidang yang dibuat oleh panitera pengganti, agar ketidaksesuain karena kelalaian ataupun kesengajaan tidak terjadi. Namun kemampuan manusia tetap saja ada batasnya yang terjadi akibat dari berbagai faktor, sehingga tidak menutup kemungkinan walaupun telah berlaku “JUJUR’ masih saja terjadi kealpaan, untuk itu diperlukan perangkat pembantu sebagai alat bantu formal yang dibuat berlandaskan hukum, sehingga digunakan sebagai aturan mengikat untuk membantu hakim dan panitera dalam menjaga hakikat jabatannya yaitu bekerja dengan baik dan berlaku jujur untuk menghasilkan suatu putusan yang berdasarkan hukum dan memberikan keadilan, kepastian hukum serta putusan yang bermanfaat.

Berita Acara Sidang adalah Akta Otentik, isinya tidak bisa dianulir oleh pihak yang berperkara dalam hal ini terdakwa/penasehat hukumnya, penggugat/tergugat, kuasa hukumnya. Walaupun catatan fakta persidangan juga mereka miliki, jika isinya berbeda dengan berita acara sidang, maka yang berkekuatan hukum adalah berita acara sidang. Autentifikasi berita acara sidang dapat menghambat proses penegakan hukum dan keadilan, jika isinya sengaja dibuat untuk menyimpangi fakta hukum, karena hakim berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara dengan tujuan tertentu.

Penutup

Untuk memperoleh keadilan tidak cukup menggantungkan harapan dari pencari keadilan kepada hakim dan panitera dengan beranggapan mereka akan berlaku jujur dalam menjalankan tugasnya, tetapi harus ada perangkat kontrol formil, yang memaksa hakim dan panitera untuk membuat berita acara sidang sesuai dengan fakta persidangan, sekaligus mencegah hakim dan/atau panitera bermufakat jahat dengan pihak yang akan diuntungkan karena dijanjikan sesuatu. Cara mencegah agar isi berita acara sidang sesuai dengan fakta persidangan maka:

Pengadilan menyiapkan perangkat elektronik yang berfungsi untuk

merekam

keterangan-keterangan yang terungkap dalam persidangan dan diubah menjadi teks yang adalah risalah sidang kemudian disalin ke dalam berita acara sidang.

Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa dan Penasihat Hukum Terdakwa, atau para pihak dalam perkara perdata adalah subjek yang harus diberikan hak untuk membaca, mencermati, mengoreksi dan menandatangani berita acara sidang bersama-sama dengan Hakim Ketua Majelis dan Panitera Pengganti.

Kedua perangkat kontrol tersebut di atas diformalkan sebagai syarat autentifikasi berita acara sidang, dengan cara itu secara langsung memaksa hakim dan panitera yang tidak jujur untuk berperilaku jujur. Putusan yang adil dapat menjaga wibawa peradilan serta mengembalikan dan atau meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Referensi

Buku

[1] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Graha

Indonesia, Jakarta, 1985.

[2] M. Karjadi dan R. Soesilo, KUHAP Penjelasan Resmi dan Komentar,

Politeia, Bogor 1997.

[3] Munir Fuadi, Teori Hukum Pembuktian : Pidana dan Perdata, Citra

Aditya, Bandung, 2006.

[4] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan

Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Perundang-undangan

[6] Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[7] Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.