TANTANGAN KEMANDIRIAN HAKIM: MENYIKAPI TEKANAN DARI OPINI PUBLIK DI MEDIA SOSIAL

24 February 2025 | Denny Budi Kusuma
bruce

format_quote
“Hakim wajib kukuh menyelenggarakan peradilan secara mandiri di tengah segala bentuk tekanan dari opini publik. Hakim tidak boleh memutus berdasarkan opini publik yang populer hanya demi menyenangkan mereka, karena tujuan peradilan adalah menegakkan hukum dan keadilan, bukan agar disukai publik.”

Latar Belakang

Peradilan yang merdeka, bebas, dan tidak memihak adalah salah satu pilar demokrasi, untuk itu konstitusi telah menjamin kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[1] Bertumpu pada konstitusi tersebut, maka asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman menentukan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan, yang dimaksud dengan “kemandirian peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.[2]

Salah satu tantangan dalam menjaga kemandirian peradilan saat ini adalah fenomena “no viral no justice” yang terjadi dalam ruang digital, khususnya di media sosial. Sayangnya, opini publik atas perkara yang sedang berjalan tidak sedikit hanya didasarkan pada narasi provokatif media online yang sering kali bias bahkan cenderung subjektif demi followers dan traffic yang bermuara pada dimensi ekonomi, bukan opini yang berpijak pada apa yang terbukti di persidangan dan pengetahuan hukum yang memadai. Keadaan memburuk ketika opini publik itu diikuti dengan tuntutan agar hakim memutus sesuai kehendak mereka, penyebarluasan hoax, ujaran kebencian, cyberbullying, bahkan mengumpulkan data pribadi hakim untuk disebarluaskan guna merusak reputasinya.

Di samping belum ada aturan tegas bagi para pengembang platform digital untuk mengawasi dan membatasi aktivitas penggunanya yang melanggar etika dan hukum, tidak adanya regulasi tentang penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) serta jaminan keamanan bagi hakim dan keluarganya, semakin memperbesar tekanan dari opini publik pada hakim sebagai tokoh utama dalam proses peradilan. Realita ini menjadi tanggung jawab para pemangku kepentingan untuk menyatukan visi guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana amanat konstitusi. Tentu itu membutuhkan waktu tidak sedikit, mengingat dalam beberapa hal Mahkamah Agung masih terikat oleh cabang kekuasaan lain.

Membangun Ketahanan Pribadi

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memberikan definisi aturan perilaku bersikap mandiri yaitu mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun, dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.[3]

Kemandirian sebagai asas pokok peradilan mengharuskan hakim berada dalam posisi memutus perkara berdasarkan peristiwa dan fakta hukum yang berasal dari alat-alat bukti di persidangan, kemudian diolah dengan nalar, naluri, dan nuraninya, sehingga putusan akan selalu dapat dipertanggungjawabkan. Hakim wajib kukuh menyelenggarakan peradilan secara mandiri di tengah segala bentuk tekanan dari opini publik. Hakim tidak boleh memutus berdasarkan opini publik yang populer hanya demi menyenangkan mereka sebagai upaya mendapatkan reputasi yang baik. Hal ini tentu saja mengingat kita bahwa tujuan penyelenggaraan peradilan adalah menegakkan hukum dan keadilan, bukan agar disukai publik.

Hakim memiliki wewenang sangat besar yang tidak dimiliki oleh pejabat lain. Publik pasti tidak menghendaki kewenangan itu dipegang oleh orang-orang dengan integritas, pengetahuan, dan moral yang diragukan, tidak hanya dalam menjalankan tugas profesinya namun juga dalam hubungan kemasyarakatan, oleh karena itu setiap hakim memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilakunya, sehingga hakim harus mampu memahami, memaknai, dan menerapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam kehidupannya sehari-hari.

Hakim yang terbelenggu oleh opini publik menunjukkan dirinya belum tuntas dalam menerapkan perilaku bersikap mandiri. Prinsip dan keyakinan hakim atas kebenaran harus senantiasa dipegang teguh dalam mengadili perkara, agar integritas, pengetahuan, dan moral yang telah sungguh-sungguh diperjuangkan tidak menjadi percuma. Hakim melalui pertimbangan yang jelas dan cukup berlandaskan ketentuan hukum yang berlaku sepatutnya berorientasi dan berusaha untuk menjangkau legal justice, moral justice, dan social justice dalam putusannya.

Negara telah memberikan sarana eksaminasi atas suatu putusan bagi pencari keadilan yang tidak menerima/menolak putusan dengan cara mengajukan upaya hukum guna menguji putusan hakim. Mahkamah Agung juga telah memberikan kemudahan akses bagi publik untuk melakukan pengaduan mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku oleh hakim melalui Whistleblowing System. Upaya hukum dan pengaduan itu hendaklah disikapi hakim sebagai alat legitimasi integritas, pengetahuan, dan moral dirinya. Hakim yang senantiasa menerapkan prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam mengadili perkara maupun kehidupan bermasyarakat, dengan sendirinya akan melekat kredibilitas serta harkat dan martabat pada dirinya melalui mekanisme upaya hukum dan pengaduan itu.

Tekanan dari opini publik di media sosial kepada hakim sesungguhnya bersifat temporer atau hanya sementara waktu, berbagai isu lain dalam ruang digital akan terus muncul menjadi topik pembicaraan publik. Di lain sisi, seluruh perkara yang diadili menuntut tanggung jawab yang sama tingginya dari setiap hakim, selain itu, hakim juga butuh memberi perhatian pada tugas-tugas non-yudisial seperti pengawasan bidang, akreditasi, dan pembangunan zona integritas, maka hakim tidak perlu menghabiskan seluruh energinya untuk memikirkan satu perkara hanya karena tekanan dari opini publik, hingga akhirnya mengorbankan urusan-urusan penting lainnya.

Salah satu pendekatan solid bagi hakim dalam membangun ketahanan pribadi menghadapi tekanan dari opini publik agar tidak mengancam kemandiriannya adalah religi. Patut untuk direnungkan kembali pesan begawan hukum Bismar Siregar bagi para hakim, bahwa tidak ada yang perlu ditakuti. Apa pun reaksi orang, tidak boleh mempengaruhi hati dan pikiran hakim. Hakim tidak boleh terombang-ambing. Setiap putusan, pertama-tama harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan hati nurani, bukan kepada manusia. Penting bagi hakim untuk menyadari bahwa ia berada langsung di bawah naungan Tuhan Yang Maha Esa, atas nama-Nya setiap putusan diucapkan.[4]

Hakim sebagai manusia beragama memiliki konsekuensi logis untuk patuh melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Ajaran agama apapun niscaya menuntun hakim untuk mengadili perkara dengan bersumber pada kebenaran, bukan tunduk pada sesama manusia, sebagai halnya opini publik di media sosial. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada putusan harus ditanamkan sebagai asas pokok bagi hakim bahwa kewajiban menegakkan hukum dan keadilan yang diembannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hakim mesti menginsyafi setiap peristiwa yang menimpa dirinya sebagai cobaan dari Tuhan untuk menguji keteguhan iman, sebab itu hakim patut selalu tabah dalam menghadapinya. Pendekatan religi akan membawa ketenteraman hati dan pikiran hakim dalam mengambil keputusan karena percaya Tuhan akan senantiasa melindungi dan membimbing dirinya. Pertolongan Tuhan akan datang dengan cara dan waktu yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya.

Kolaborasi dan Partisipasi Publik

Mahkamah Agung dengan segala sumber dayanya dapat membantu hakim menghadapi tekanan dari opini publik di media sosial dalam upaya menjaga kemandirian peradilan. Pada era demokrasi saat ini, tentu Mahkamah Agung tidak didorong untuk membungkam publik, karena kritik, saran, dan pengaduan publik akan selalu dibutuhkan sebagai instrumen perbaikan institusi peradilan. Peran Mahkamah Agung itu dapat dilakukan dengan membuka ruang kolaborasi dan partisipasi publik.

Kolaborasi dan partisipasi publik yang dapat dilakukan Mahkamah Agung adalah dengan melibatkan akademisi, praktisi, jurnalis, influencer, hingga generasi muda untuk melakukan penguatan pemahaman publik tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Publik akan memperoleh pemahaman yang lebih baik melalui edukasi dengan bahasa yang praktis dan mudah dipahami, serta disebarluaskan secara masif. Penting bagi publik untuk memahami dan memisahkan antara etika dan perilaku hakim yang boleh dinilai benar salahnya dengan pertimbangan yuridis dan substansi putusan yang tidak boleh, kecuali terdapat kekeliruan yang disengaja. Manfaat kegiatan ini bagi hakim dapat mengurangi tekanan dari opini publik ketika maupun setelah mengadili perkara. Manfaat bagi lembaga peradilan dapat meningkatkan bekerjanya fungsi pengawasan terhadap hakim, sedangkan manfaat bagi publik dapat lebih memahami apa saja etika dan perilaku hakim baik dalam pelaksanaan tugas yudisial maupun dalam pergaulan di luar kedinasan.

Kolaborasi dan partisipasi publik lainnya yang dapat dilakukan Mahkamah Agung adalah dengan memfasilitasi forum diskusi oleh perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerhati hukum lainnya, untuk menganotasi putusan yang menarik perhatian publik di media sosial setelah berkekuatan hukum tetap dan mempublikasikan hasilnya, sehingga isu negatif yang berkembang di media sosial tidak semata-mata berujung dengan label buruk terhadap lembaga peradilan akibat tidak pernah dikaji secara komprehensif. Manfaat kegiatan ini bagi hakim dapat meneguhkan integritas, pengetahuan, dan moralnya, serta mendapatkan catatan guna meningkatkan kualitas dalam mengadili perkara. Manfaat bagi lembaga peradilan dapat meningkatkan akuntabilitas peradilan yang akan diikuti meningkatnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, sedangkan manfaat bagi publik dapat menjadi rujukan untuk meluruskan keraguan/prasangkanya terhadap hakim dan proses peradilan, sekaligus sebagai pendidikan hukum.

Tujuan kolaborasi dan partisipasi publik tersebut, pertama, untuk mendorong publik agar menyampaikan kritik, saran, dan pengaduan sesuai kaidah yang berlaku demi terciptanya ruang digital yang sehat, sehingga kemandirian peradilan dapat terwujud sekaligus lembaga peradilan mendapat masukan yang membangun. Kedua, untuk mendorong upaya dalam menjaga sekaligus menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dapat berjalan lebih optimal, sehingga kemandirian peradilan yang diperjuangkan tidak menjadi tameng bagi hakim untuk menyalahgunakan kekuasaan peradilan. Ketiga, untuk menjaga citra lembaga peradilan agar tidak tergerus oleh akumulasi label buruk yang disematkan publik secara terus-menerus di media sosial.

Penutup

Hakim sebagai tokoh utama dalam proses peradilan dan Mahkamah Agung sebagai institusi peradilan dapat secara kolektif menyikapi tekanan dari opini publik di media sosial sesuai perannya masing-masing supaya tidak mempengaruhi kemandirian peradilan dan menggerus citra lembaga peradilan.

Referensi

[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 ayat (1).

[2] Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 3 ayat (1).

[3] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

[4] Antonius Sudirman, “Hakim dan Putusan Hakim (Suatu Studi Perilaku Hukum Hakim Bismar Siregar),” Universitas Diponegoro, Semarang, 1999.