RELEVANSI PROFESIONALISME HAKIM DAN KEADILAN PROSEDURAL TIDAK SEMPURNA DALAM PERKARA PIDANA

24 February 2025 | Apri Yanti
bruce

format_quote
“Meskipun persidangan pidana diletakkan dalam kerangka keadilan prosedural yang tidak sempurna, kepatuhan terhadap hukum acara tetap menjadi keharusan untuk membangun kepercayaan publik.”

Latar Belakang

Hakim yang adil dan jujur merupakan tonggak agar masyarakat dapat merasakan keadilan. Artinya, hukum perlu berada di tangan hakim yang bijak. Namun, jika hukum berada di tangan hakim yang sewenang-wenang, hukum bisa menghasilkan malapetaka [1]. Dari pandangan ini menunjukkan bahwa hakim memiliki peran besar dalam menentukan apakah hukum memiliki legitimasi di masyarakat atau tidak. Oleh karena itu, hakim dalam hal ini harus memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memimpin persidangan dan merumuskan pertimbangan hukumnya di dalam putusan.

Dalam suatu perkara pidana, ada dua hal yang harus dipahami oleh hakim, yaitu keadilan substantif (substantive justice) dan keadilan prosedural (procedural justice). Dalam pemidanaan, misalnya, keadilan substantif digambarkan sebagai hukuman yang dianggap pantas bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana [2]. Konsep keadilan substantif penting dalam hukum karena berhubungan dengan bagaimana hukum benar-benar adil bagi seseorang. Keadilan substantif sering dibandingkan dengan keadilan prosedural, yang lebih fokus pada aturan dan mekanime. Dalam beberapa pandangan aturan yang terlalu kaku kadang tidak bisa memenuhi keadilan substantif [3]. Dalam persidangan pidana, John Rawls mengasosiasikannya dengan keadilan prosedural tidak sempurna (imperfect procedural justice). Rawls berpendapat bahwa tujuan persidangan pidana adalah terdakwa dinyatakan bersalah jika terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana yang didakwakan dan membebaskannya jika sebaliknya. Meskipun hukum acara pidana dirancang untuk mencari kebenaran, namun hal ini tidak menjamin hakim dapat menghasilkan suatu putusan yang benar [4].

Apabila keadilan prosedural tidak selalu menjamin kebenaran, permasalahannya adalah apa urgensi hakim untuk memiliki pemahaman yang mumpuni mengenai keadilan prosedural? Apakah keadilan substantif yang paling penting dimiliki oleh hakim? Dari uraian singkat ini, penting untuk mengkaji dua konsep keadilan ini dalam persidangan pidana dan putusan hakim.

Konsepsi Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural

Menurut Rawls, keadilan substantif bergantung pada prinsip-prinsip dasar yang membentuk sistem [4]. Keadilan substantif berarti aturan-aturan yang ada harus mencerminkan keadilan, dan bukan hanya diterapkan begitu saja. Jika aturan tidak adil atau tidak relevan dengan kenyataan di masyarakat, maka aturan ini acap kali dilanggar [5]. Dalam konteks ini, keadilan substantif bukan sekadar soal menerapkan aturan secara kaku, tetapi lebih pada memastikan bahwa aturan tersebut diterapkan sesuai dengan kondisi dan realitas masyarakat. Dalam konteks ini hakim harus mampu melihat lebih jauh dari sekadar pada kepastian hukum, memastikan bahwa putusan hakim tersebut didasarkan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.

Dalam persidangan pidana, harapan dari putusan hakim adalah mencapai kebenaran (veritas), dimana hakim menyatakan terdakwa bersalah jika memang terbukti bersalah, dan membebaskannya jika tidak. Inilah esensi dari keadilan substantif yang diinginkan hasil dari persidangan pidana. Untuk mencapai hasil ini diperlukan suatu prosedur yang disebut sebagai “hukum acara pidana,” dan hal ini sering kali dikaitkan dengan keadilan prosedural. Rawls membagi keadilan prosedural dalam tiga bentuk: Pertama, keadilan prosedural sempurna (perfect procedural justice) terjadi ketika ada kriteria yang jelas tentang hasil yang adil, dan prosedur yang dijalankan pasti akan menghasilkan hasil tersebut, misalnya dalam membagi kue dimana satu orang membagi, dan yang lain memilih bagiannya terlebih dahulu. Keadilan prosedural tidak sempurna (imperfect procedural justice), seperti dalam persidangan pidana, terjadi ketika ada kriteria hasil yang benar (misalnya, terdakwa dinyatakan bersalah hanya jika benar-benar melakukan tindak pidana atau pun sebaliknya), namun prosedur ini tidak selalu menjamin hasil yang benar. Sementara itu, keadilan prosedural murni (pure procedural justice) tidak memiliki kriteria independen untuk hasil yang adil; yang penting adalah prosedur dijalankan dengan benar, seperti dalam taruhan, dimana apa pun hasilnya dianggap adil jika prosesnya benar [4]. Dari pandangan Rawls, ini menunjukkan bahwa persidangan pidana masuk dalam lingkup “keadilan prosedural tidak sempurna.”

Relevansi Profesionalisme Hakim dan Keadilan Prosedural Tidak Sempurna dalam Perkara Pidana

Dalam keadilan prosedural tidak sempurna, meskipun prosedur dapat berfungsi dengan baik, tidak ada jaminan bahwa hasil akhirnya akan selalu adil. Sebenarnya, hasil ini tidak hanya tergantung pada suatu proses dan bisa saja terjadi secara alami. Meskipun Rawls tidak menyatakannya sebagai sesuatu yang alami, kita dapat memahami dari pandangannya bahwa dalam masyarakat yang sepenuhnya adil, atau bahkan yang hanya sebagian adil, tetap ada hukum-hukum yang tidak adil [4]. Kendati adil atau tidaknya suatu hal bisa saja terjadi secara alamiah bukan berarti pengabaian terhadap keadilan prosedural dibenarkan.

Meskipun prosedur tidak selalu menjamin hasil yang benar, tetapi menegakkan keadilan prosedural ini bisa memberikan manfaat lain, seperti meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana. Ketika masyarakat merasa bahwa persidangan dijalankan dengan adil, mereka lebih cenderung untuk mendukung dan berpartisipasi dalam sistem tersebut, serta mendukung aparatur yang terlibat. Namun, jika orang merasa persidangan tidak adil, kondisi ini bisa menyebabkan masalah serius. Berkurangnya dukungan dari publik dapat mengurangi rasa hormat terhadap hukum, yang akhirnya membuat orang kurang patuh terhadap hukum [6]. Persidangan yang adil, misalnya, menghormati hak-hak pihak yang berperkara di persidangan, serta menerapkan prinsip-prinsip persidangan yang adil [7].

Konsepsi tentang persidangan yang adil memang tidak dijelaskan lebih lanjut di sini. Meskipun persidangan pidana masuk dalam kerangka keadilan prosedural yang tidak sempurna, hakim tetap harus mematuhi hukum acara yang berlaku. Ketika hakim menjalankan hukum acara dengan baik, masyarakat akan lebih percaya bahwa pengadilan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Kepercayaan ini sangat penting, karena putusan hakim yang dihasilkan akan memiliki legitimasi dan diakui oleh semua pihak. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum acara tidak hanya mematuhi hukum acara, tetapi juga membangun fondasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Kemampuan seorang hakim dalam memahami dan menerapkan hukum acara bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan implementasi dari etika profesi hakim yang menuntut “bersikap profesional.” Prinsip ini tertuang dalam dua regulasi yakni “Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan Peraturan Bersama Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 mengenai Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Peraturan Bersama Tahun 2012).” Dari ketentuan kode etik ini maka hakim ditekankan untuk memahami dan menerapkan “keadilan tidak sempurna dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.”

Penutup

Keadilan substantif dan keadilan prosedural memiliki fungsi fundamental dalam suatu perkara pidana. Dalam keadilan substantif hakim harus memastikan bahwa aturan tidak hanya diterapkan secara kaku, tetapi juga mencerminkan keadilan yang relevan dengan kondisi masyarakat. Meskipun persidangan pidana diletakkan dalam kerangka keadilan prosedural yang tidak sempurna, kepatuhan terhadap hukum acara tetap menjadi keharusan untuk membangun kepercayaan publik. Kepercayaan ini penting karena berpengaruh pada legitimasi putusan hakim, dimana masyarakat akan lebih mendukung dan berpartisipasi dalam persidangan ketika merasa bahwa hak-hak mereka dihormati dan persidangan dijalankan dengan adil. Oleh karena itu, penegakan keadilan prosedural tidak hanya penting untuk kepatuhan hukum, tetapi juga untuk memastikan institusi peradilan mendapat kepercayaan publik, dan sebagai implementasi kode etik hakim untuk “bersikap profesional.”

Referensi

[1] A. Suadi, “The Theory of Biological Justice in Legal Philosophy and its Application in Judges’ Decisions,” J. Huk. dan Peradil., vol. 9, no. 3, 2021, doi: 10.25216/jhp.9.3.2020.449-464.

[2] L. Chan, K. Horner, dan C. Levesque, “Process as Suffering: How U.S. Immigration Court Process and Culture Prevent Substantive Justice,” SSRN Electron. J., 2023, doi: 10.2139/ssrn.4317101.

[3] S. D. Suhariyanto, Didik and Ishwara, Ade Sathya Sanathana and Kirana, “Enforcement of the Code of Ethics for 2024 Election Organizers in Indonesia: A Substantive Justice Perspective,” J. IUS Kaji. Huk. dan Keadilan, vol. 12, no. 2, hal. 357–371, 2024.

[4] J. Rawls, A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1971.

[5] S. W. A. Dekker dan H. Breakey, “‘Just culture:’ Improving safety by achieving substantive, procedural and restorative justice,” Saf. Sci., vol. 85, 2016, doi: 10.1016/j.ssci.2016.01.018.

[6] T. L. Meares, “Everything Old Is New Again: Fundamental Fairness and the Legitimacy of Criminal Justice,” Ohio State J. Crim. Law, vol. 3, 2005.

[7] J. Hafetz et al., “Fairness, legitimacy, and selection decisions in international criminal law,” 2017.