
Latar Belakang
Eksekusi merupakan tahap final dan krusial dalam proses peradilan. Kualitas suatu sistem hukum seringkali diukur dari kemampuan negara untuk memastikan bahwa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) benar-benar dilaksanakan. Prinsip ini dijamin dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, khususnya Pasal 195 HIR juncto Pasal 206 RBg, yang memberikan kepastian pelaksanaan putusan pengadilan. Tanpa eksekusi yang efektif, proses peradilan menjadi sia-sia, dan keadilan yang dijanjikan hanyalah menjadi formalitas semata.
Kepastian hukum mengenai eksekusi menghadapi tantangan ketika pihak yang kalah dan diwajibkan membayar atau melakukan sesuatu adalah negara (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah). Negara bertindak sebagai subjek hukum yang unik karena terdapat prinsip kekebalan aset negara (state asset immunity) yang melindungi aset publik, khususnya Barang Milik Negara/Daerah (“BMN/BMD”) sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU 1/2004”).
Kompleksitas isu hukum mengenai eksekusi terhadap aset BMN/BMD memerlukan penelitian lebih lanjut, di mana penelitian ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) permasalahan pokok: Pertama, bagaimana kedudukan hukum kekebalan aset BMN/BMD dalam konteks hukum eksekusi perdata? Kedua, bagaimana prospek pembaruan hukum eksekusi perdata terhadap aset BMN/BMD? Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan menganalisis secara elaboratif mengenai kedudukan hukum kekebalan aset BMN/BMD dalam konteks hukum eksekusi perdata, serta menganalisis prospek pembaruan hukum eksekusi perdata terhadap aset BMN/BMD.
Mengurai Kedudukan Hukum Kekebalan Aset BMN/BMD dalam Konteks Hukum Eksekusi Perdata
BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, sedangkan BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.[1] Secara eksplisit, Pasal 50 UU 1/2004 dengan tegas melarang penyitaan harta kekayaan milik negara atau daerah oleh pihak mana pun, termasuk pengadilan, baik dalam bentuk sita jaminan maupun sita eksekusi.
Larangan penyitaan ini bersifat absolut atau mutlak, dan tidak dibuka kemungkinan untuk menyita meskipun berdasarkan izin Mahkamah Agung. Dengan demikian, berdasarkan alasan apa pun, dilarang melakukan penyitaan terhadap aset BMN/BMD.[2]
Dilihat dari sudut pandang kemanfaatan (doelmatigheid), inti dari larangan penyitaan terhadap aset BMN/BMD sebagaimana dalam UU 1/2004 adalah untuk menjaga kepentingan umum.[3] Tujuannya adalah memastikan bahwa jika negara menghadapi tuntutan ganti rugi dari pihak lain, aset negara yang digunakan untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik tidak dapat disita. Hal ini dilakukan agar kelangsungan pelayanan kepada masyarakat luas tidak terganggu dan secara implisit menegaskan bahwa kepentingan publik lebih diutamakan.
Mahkamah Konstitusi pun memberikan argumentasi hukum yang senada dengan menyatakan bahwa aset BMN/BMD memang perlu diperlakukan secara khusus dan berbeda dari aset badan hukum swasta, sebab aset BMN/BMD memiliki fungsi vital yang mendukung penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat luas.[4]
Hukum acara perdata yang saat ini berlaku tidak mengatur mekanisme paksa lain yang dapat ditempuh apabila termohon eksekusi yang merupakan pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mau melaksanakan perintah eksekusi.[5] Meskipun Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri mengatur bahwa ketua pengadilan negeri dapat mengeluarkan penetapan eksekusi yang membebankan pemenuhan isi putusan kepada termohon eksekusi untuk memasukkannya pada penganggaran Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) pada instansi pemerintah, BUMN/BUMD dalam APBN atau APBD tahun anggaran berjalan atau tahun anggaran berikutnya [6], namun dalam pedoman a quo tidak mengatur kapan pemenuhan pembayaran itu harus dimasukkan dalam APBN/APBD tahun anggaran berjalan dan kapan harus dimasukkan dalam APBN/APBD tahun berikutnya, termasuk tidak diaturnya sanksi bagi instansi terkait apabila tidak mematuhi penetapan eksekusi yang telah dikeluarkan tersebut.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu prospek pembaruan hukum eksekusi perdata, khususnya eksekusi terkait aset BMN/BMD, dan strategi hukum yang efektif [7] untuk memastikan bahwa putusan perdata yang dikeluarkan oleh pengadilan berupa penghukuman (condemnatoir) terhadap negara tidak berubah menjadi "macan ompong" karena terbentur oleh regulasi yang memberikan kekebalan mutlak terhadap aset BMN/BMD. Reformasi ini esensial untuk menjaga kredibilitas lembaga peradilan dan menjamin hak-hak warga negara yang telah teruji dan diakui dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), tanpa mengorbankan kepentingan umum (public interest).
Prospek Pembaruan Hukum Eksekusi Perdata terhadap Aset BMN/BMD
Amandemen terhadap ketentuan Pasal 50 UU 1/2004 merupakan langkah legislatif yang paling fundamental untuk memperbarui regulasi dan menyelesaikan persoalan ini. Amandemen harus mengakomodir pengecualian yang bersifat ketat berdasarkan prinsip jure gestionis yaitu memandang bahwa imunitas yang dimiliki oleh negara bersifat terbatas (restriktif) hanya untuk tindakan yang bersifat publik atau kedaulatan (jure imperii), tetapi tidak berlaku untuk tindakan yang bersifat komersial atau privat (jure gestionis) yang berimplikasi bahwa negara harus tunduk pada hukum keperdataan yang berlaku.[8]
Perlu dipertimbangkan rumusan hukum baru yang pada pokoknya menyatakan bahwa aset BMN/BMD tidak dapat disita oleh pengadilan, kecuali aset tersebut terbukti digunakan atau dimaksudkan bagi tujuan komersial (jure gestionis) dan secara spesifik diidentifikasi bukan sebagai aset publik esensial yang diperlukan untuk menjalankan fungsi kedaulatan negara (jure imperii).
Reformasi ini memerlukan klasifikasi aset BMN/BMD yang jelas dan objektif. Fokus eksekusi harus ditujukan pada BMN/BMD yang dikategorikan sebagai aset "idle" (tidak aktif), non-fungsional, atau BMN/BMD yang disewakan/dimanfaatkan secara murni komersial. Jika eksekusi aset komersial diizinkan, proses pelelangan harus diamanatkan melalui lembaga resmi negara, yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). [9] Hal ini penting untuk memastikan akuntabilitas (karena KPKNL berada di bawah DJKN/Kemenkeu) dan menjaga tata kelola aset publik, serta menjembatani prosedur eksekusi perdata dengan fungsi manajemen aset publik.
Selain melalui amandemen terhadap ketentuan Pasal 50 UU 1/2004, alternatif lainnya yang dapat dilakukan dalam proses pembaruan hukum eksekusi perdata terhadap BMN/BMD adalah memperbarui hukum acara perdata melalui Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (“RUU HAP”), di mana RUU HAP harus memasukkan bab khusus yang mengatur tata cara sita dan eksekusi ketika termohon eksekusi adalah negara atau badan publik. Pengaturan ini harus mencakup prosedur aanmaning yang diperkuat dan penegasan wewenang pengadilan.
Prosedur Aanmaning yang tegas harus memastikan bahwa proses teguran tidak hanya ditujukan kepada kepala instansi yang kalah berperkara (Pengguna Barang), tetapi notifikasi wajib juga disampaikan kepada Pengelola Barang (Menteri Keuangan atau Sekretaris Daerah). Hal ini penting untuk memastikan bahwa otoritas yang memegang kendali atas aset dan anggaran menyadari kewajiban eksekusi tersebut, sehingga alokasi anggaran dapat disiapkan secara jelas, objektif, dan profesional.
Di samping itu, RUU HAP harus memperkuat implementasi mekanisme uang paksa (dwangsom) terhadap termohon eksekusi (pemerintah pusat dan/atau daerah). Dwangsom berfungsi sebagai hukuman tambahan yang memberikan insentif finansial kepada negara atau badan publik untuk segera mematuhi putusan. Pengaturan ini juga harus merinci mekanisme pembayaran dwangsom dari anggaran operasional entitas yang bersalah, dengan pengawasan oleh auditor publik (BPK/BPKP).
Penutup
Status quo kekebalan absolut aset BMN/BMD yang dijamin oleh Pasal 50 UU 1/2004 merupakan kontradiksi hukum yang secara tidak langsung menghalangi pelaksanaan (eksekusi) putusan pengadilan dalam perkara perdata dan melemahkan otoritas kekuasaan kehakiman di Indonesia. Diperlukan adanya suatu prospek pembaruan hukum eksekusi perdata, khususnya mengenai eksekusi aset BMN/BMD, melalui reformasi hukum yang memisahkan secara tegas klasifikasi aset kedaulatan (jure imperii) dan klasifikasi aset komersial (jure gestionis) ke dalam substansi dan semangat Pasal 50 UU 1/2004 serta RUU HAP untuk menjaga kredibilitas lembaga peradilan dan menciptakan keadilan bagi warga negara, tanpa mengorbankan kepentingan publik (public interest).
Referensi
[1] Lihat Pasal 1 angka 10 dan angka 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
[2] Sofyan Arifin, “Eksekusi Barang Milik Negara terhadap Putusan yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde),” Jurnal Hukum Pertanian (Biro Hukum Kementerian Pertanian), vol. 4, no. 1, pp. 48-56, 2023.
[3] Dimas Cahya Kusuma, “Implikasi Yuridis Penyitaan Aset Lembaga Pengelola Investasi: Telaah atas Konflik Norma dalam UU Cipta Kerja dan UU Perbendaharaan Negara,” Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam, vol. 3, no. 1, pp. 27–48, 2025, doi: 10.14421/mvrw6q18.
[4] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 25/PUU-VII/2009,” pp. 1–38, 2009.
[5] N. A. Hendrawan and P. P. R. Marditia, “Mekanisme Pelaksanaan Ganti Rugi atas Anggaran Pendapatan Belanja Negara sebagai Penemuan Hukum atas Problematika Non Executable Penyitaan atas Aset Milik Negara,” Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, vol. 5, no. 01, pp. 40–58, 2020, doi: 10.25170/paradigma.v5i01.1831.
[6] Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri,” 2019.
[7] Cici Fathona and Fauziah Lubis, “Analisis Strategi Hukum dalam Mempercepat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Hakim Perdata,” Judge Jurnal Hukum, vol. 5, no. 02, pp. 64–73, 2024, [Online]. Available: https://journal.cattleyadf.org/index.php/Judge/article/view/569.
[8] D. A. Pratama, “Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil Terhadap Negara Pada Holding Badan Usaha Milik Negara,” Dharmasisya Jurnal Program Magister Hukum FHUI, vol. 2, no. 2, pp. 1061–1068, 2022, [Online]. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol2/iss2/40.
[9] M. Rifki Firzatullah, B. Ilmar Irawan, H. Akmal Rohmatino, R. Jajuly, and F. Munawar, “Analisis Problematika Lelang Sebagai Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Perkara Perdata,” Jurnal Multidiscip. Inq. Sci. Technol. Educ. Res., vol. 1, no. 4, pp. 2489–2505, 2024, [Online]. Available: https://doi.org/10.32672/mister.v1i4.2294.