PERINTAH PEMBUNGKAMAN (GAG ORDER) OLEH PENGADILAN SEBELUM PUTUSAN YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP DEMI MENJAGA KEMANDIRIAN HAKIM

24 February 2025 | Dharma Setiawan Negara
bruce

format_quote
“Gag order bukanlah pembungkaman kebebasan pers, tetapi instrumen supremasi hukum yang bertujuan untuk menyeimbangkan hak atas persidangan yang adil dengan kebebasan berekspresi. Tanpa gag order, kemandirian badan peradilan dapat terancam oleh trial by media yang berpotensi menggiring opini publik sebelum adanya putusan berkekuatan hukum tetap.”

Latar Belakang

Kemandirian badan peradilan merupakan salah satu pilar utama dalam sistem peradilan yang adil dan berkeadilan. Kemandirian ini mengacu pada kemampuan lembaga peradilan, khususnya hakim, untuk menjalankan fungsi peradilannya tanpa adanya tekanan, pengaruh, atau intervensi dari pihak eksternal, termasuk pemerintah, kelompok kepentingan, atau media. [1] Dalam upaya menjaga integritas dan objektivitas peradilan, berbagai instrumen hukum dan prosedur telah dikembangkan, salah satunya adalah penerapan gag order.

Gag order adalah perintah pengadilan yang melarang pihak-pihak tertentu, termasuk media, untuk mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan suatu perkara yang sedang berjalan. Prinsip ini diterapkan dengan tujuan untuk melindungi proses peradilan dari potensi gangguan yang dapat mempengaruhi hasil persidangan. Di era digital dan globalisasi informasi seperti saat ini, media memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik yang dapat berujung pada tekanan terhadap pengadilan/trial by media. [2] Oleh karena itu, gag order menjadi semakin relevan dalam memastikan bahwa putusan yang diambil oleh hakim benar-benar berdasarkan pada fakta yang terungkap dalam persidangan, bukan karena adanya pengaruh eksternal/media.

Namun, penerapan gag order juga menimbulkan permasalahan, terutama terkait dengan hak atas kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers dan akses publik terhadap informasi. Di satu sisi, gag order dianggap perlu untuk menjaga integritas peradilan, tetapi di sisi lain, pembatasan terhadap informasi publik dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan dan transparansi. [3] Sistem peradilan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan terkait independensi demi mewujudkan badan peradilan yang agung dan terbebas dari intervensi.

Sehingga dirumuskan masalah sebagai berikut: Pertama, apakah gag order bertentangan dengan kemerdekaan pers? Kedua, di negara-negara mana saja gag order telah diterapkan? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah gag order bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) serta untuk mengidentifikasi dan menjadikan contoh negara-negara yang menerapkan gag order, sehingga dapat mendukung upaya mewujudkan peradilan yang agung, mandiri, adil, dan bebas dari intervensi.

Pertentangan antara Gag Order dengan Kemerdekaan Pers

Berdasarkan Pasal 2 UU Pers dan dilanjutkan dalam Pasal 4 UU Pers bahwa kemerdekaan tersebut dijamin sebagai hak asasi warga negara. Hal ini menegaskan bahwa pers/ media memiliki kebebasan untuk menyebarluaskan informasi secara bebas dan merdeka. Padahal Gag order di Pengadilan memiliki peran penting dalam menjaga kemandirian badan peradilan, terutama dalam konteks pengambilan putusan yang adil, benar, dan bebas dari intervensi. [4] Gag order bertujuan untuk membatasi penyebaran informasi terkait kasus yang sedang berjalan, sehingga hakim dapat menjalankan tugasnya tanpa terpengaruh oleh opini publik atau tekanan media. Dalam hal ini, gag order berfungsi sebagai alat pelindung bagi proses peradilan untuk memastikan bahwa putusan yang diambil didasarkan pada fakta yang terungkap di persidangan. [5]

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (UU HAM) yang berbunyi “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Maka, trial by the media termasuk salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Selanjutnya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU HAM yang mengatur bahwa para pihak yang berperkara di pengadilan berhak mendapatkan perlakuan hukum yang adil dengan terbebas dari upaya media menggiring opini masyarakat, sebelum adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kebebasan berekspresi yang tidak terkendali akan mengganggu hak asasi manusia lainnya dalam hal ini hak untuk mendapatkan persidangan yang objektif dan adil/ fair trial bukan trial by the media sebagaimana bunyi Pasal 5 ayat (2) UU HAM “setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari Pengadilan yang objektif dan tidak berpihak”. Lebih jelas diatur dalam Pasal 17 UU HAM “setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif.” Maka, pengadilan dapat mengeluarkan gag order sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam UU Pers juga telah diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 dimana kemerdekaan pers tetap menjunjung tinggi supremasi hukum.

Gag order sebagai simbol supremasi hukum yang berfungsi untuk mengharmonisasikan kebutuhan akan persidangan yang adil dengan tidak melanggar kebebasan berekspresi, beberapa prinsip dapat diterapkan: Pertama, uji kebutuhan (necessity test), dimana gag order hanya dikeluarkan jika pengadilan dapat membuktikan bahwa tanpa pembatasan, persidangan tidak dapat berlangsung dengan adil; [6] Kedua, pembatasan yang minim (minimal restriction), dimana pembatasan harus spesifik pada informasi yang dapat merugikan proses peradilan, bukan menyeluruh; [7] Ketiga, sifat sementara (temporary nature), dimana gag order harus bersifat sementara dan dihapuskan begitu telah dijatuhkan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap/ in kracht van gewijsde; [8] atau Keempat, pengawasan dan transparansi, dimana alasan penerapan gag order harus dirinci secara terbuka untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh pengadilan. [9]

Resiko tidak adanya gag order yaitu hilangnya kemandirian badan peradilan dalam menjatuhkan putusan yang didasarkan pada fakta yang terungkap dalam persidangan. Kedua, resiko bagi Terdakwa yang seringkali diperlakukan bersalah oleh publik karena pemberitaan media, dimana bertentangan dengan prinsip presumption of innocence. Serta resiko kesenjangan informasi, dimana media menggunakan bahasa hiperbola, sehingga menyebabkan pemahaman yang salah/fallacy.

Negara-Negara yang Menerapkan Gag Order

Di Amerika Serikat (AS) yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan supremasi hukum, gag order digunakan untuk melindungi integritas pengadilan dan mencegah penyebaran informasi yang dapat merugikan pihak yang berperkara. Misalnya, dalam kasus “Donald Trump” terkait upaya membalikkan hasil pemilu 2020, pengadilan mengeluarkan gag order parsial untuk membatasi komentarnya terhadap penuntut dan saksi. [10] Contoh lainnya yaitu Sheppard v. Maxwell (1966, AS): Mahkamah Agung AS menemukan bahwa liputan media mempengaruhi hakim dan juri, sehingga mencederai hak asasi terdakwa atas persidangan yang adil. [11]

Di India telah menerapkan gag order dalam kasus yang melibatkan isu sensitif seperti pelanggaran privasi individu untuk melindungi hak terdakwa atas putusan yang adil. [12] Aturan ini sering kali dikritik karena dianggap membatasi kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Konstitusi India, sehingga pengadilan wajib menunjukkan alasan yang kuat untuk setiap gag order. Begitu juga di Inggris, Australia, dan Kanada dimana gag order berfungsi untuk mencegah trial by media sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Hakim wajib memberikan alasan tertulis untuk setiap gag order.

Di Indonesia, gag order masih asing dan belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, perintah ini sejalan dengan UU HAM, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang melakukan persidangan secara tertutup dan anonimsasi putusan, UU ITE yang melarang penyebaran informasi tertentu yang dapat merugikan pihak lain, juga kode etik jurnalistik yang melarang mengungkap identitas korban atau pelaku tertentu yang belum terbukti bersalah.

Penutup

Gag order sangat penting dalam menjaga kemandirian badan peradilan, yang bertujuan untuk melindungi proses peradilan dari trial by the media. Dengan penerapan gag order, diharapkan para hakim dapat mengambil putusan yang adil dan obyektif berdasarkan fakta yang terungkap dan hukum yang berlaku, tanpa tekanan dari pihak luar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU HAM dan prinsip presumption of innocence. Gag order juga telah diterapkan pada banyak negara seperti Amerika, India, Kanada, Australia, dan Inggris. Dengan demikian gag order tidak bertentangan dengan UU Pers, karena dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 UU Pers pun telah diatur bahwa kemerdekaan pers tetap menjunjung tinggi supremasi hukum. Oleh karena itu pentingnya dalam membentuk aturan khusus terkait gag order. Selagi menunggu aturan tersebut dibentuk, Mahkamah Agung dapat mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung tentang gag order demi mengisi kekosongan hukum.

Referensi

[1]

T. Wright, "Gag Orders, Media, and the Fair Trial: Analyzing the Balance in Democratic Societies," International Journal of Media and Law, vol. 21, no. 3, pp. 89-108, 2019.

[2]

K. Simmons, "Gag Orders and Their Effectiveness in Modern Legal Systems," Global Legal Studies, vol. 25, no. 1, pp. 33-51, 2018.

[3]

D. Fleming, "The Ethical Dimensions of Gag Orders in Judicial Proceedings," Ethics and Law Journal, vol. 13, no. 4, pp. 299-317, 2020.

[4]

C. Nemitz, "Gag Orders and Their Impact on the Judiciary," Journal of Media Law, vol. 10, no. 2, pp. 123-145, 2021.

[5]

H. White, "The Role of Gag Orders in Ensuring Fair Trials: A Comparative Study," Journal of Comparative Law, vol. 14, no. 1, pp. 56-78, 2020.

[6]

4. U. 5. (. Nebraska Press Association v. Stuart, "Supreme Justia," 1976. [Online]. Available: https://supreme.justia.com/cases/federal/us/427/539/. [Accessed 19 11 2024].

[7]

M. A. India, "Sahara India Real Estate Corp. v. SEBI," 2012. [Online]. Available: https://www.rostrumlegal.com/case-comment-sahara-india-real-estate-corporation-ltd-and-others-v-securities-and-exchange-board-of-india-and-another-manu-sc-0735-2012/. [Accessed 19 11 2024].

[8]

O. J. Principles, "Human Rights Act 1998 (UK)," 1998. [Online]. Available: https://www.legislation.gov.uk/ukpga/1998/42. [Accessed 20 11 2024].

[9]

U. D. o. H. Rights, "Universal Declaration of Human Rights," [Online]. Available: https://www.ohchr.org/en/ohchr_homepage?gad_source=1&gclid=Cj0KCQiAi_G5BhDXARIsAN5SX7oO9GcFGmNYH4HNHNlaiySxbri8bzG71Bg2EJZH-JqX-hmaBh7KM7MaAiJUEALw_wcB.

[10]

K. Bredemeier, "VOA Indonesia," 17 10 2023. [Online]. Available: https://www.voaindonesia.com/a/hakim-as-jatuhkan-perintah-pembungkaman-parsial-terhadap-trump/7314017.html. [Accessed 20 11 2024].

[11]

S. Justia, "Sheppard v. Maxwell, 384 U.S. 333," 1966. [Online]. Available: https://supreme.justia.com/cases/federal/us/384/333/. [Accessed 20 11 2024].

[12]

T. Hindu, "THG PUBLISHING PVT LTD," 17 9 2020. [Online]. Available: https://www.thehindu.com/opinion/editorial/stop-press-the-hindu-editorial-on-blanket-gag-order-against-the-media/article32623638.ece. [Accessed 20 11 2024].