Latar Belakang
Budaya organisasi merupakan suatu gambaran tentang nilai, prinsip, dan etika yang diterapkan dan dijunjung tinggi oleh para anggota organisasi. Dalam konteks peradilan, budaya organisasi berhubungan dengan performa kinerja badan peradilan, sehingga budaya peradilan memiliki peran penting dalam meningkatkan kepercayaan publik dan mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa. Budaya badan peradilan yang sehat akan dapat terbentuk apabila Sumber Daya Manusia (SDM) badan peradilan yang terdiri atas hakim dan aparatur peradilan memiliki komitmen yang kuat dalam menegakkan nilai-nilai organisasi dan kode etik profesi.
Dalam pelaksanaan tugas yudisial, hakim dan kepaniteraan memiliki peran sentral untuk memberikan pelayanan keadilan secara prima kepada masyarakat. Hakim, dalam menjalankan tugas profesionalnya terikat dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), demikian pula tugas-tugas kepaniteraan harus dijalankan berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Panitera dan Juru Sita. Kode etik tersebut merupakan landasan penting dalam memberikan layanan hukum yang berkeadilan kepada masyarakat. Semakin tinggi tingkat kepatuhan terhadap kode etik aparatur maka kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan dapat terjaga dan ditingkatkan.
Badan Pengawasan Mahkamah Agung merilis data rekapitulasi hukuman disiplin yang dilakukan oleh hakim dan aparatur pengadilan pada website resmi Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Dari data yang tersedia periode bulan Januari-Desember 2023, dan Januari-Oktober 2024 jabatan dengan hukuman disiplin paling tinggi adalah hakim sebanyak 230 orang, urutan selanjutnya adalah jabatan kepaniteraan sebanyak 134 orang yang terdiri atas Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, Jurusita, serta Jurusita Pengganti [1]. Berdasarkan klasifikasi jenis pelanggaran tahun 2022, jenis pelanggaran terbanyak adalah jenis pelanggaran terhadap kode etik, yakni hakim sejumlah 126 pelanggaran, dan jabatan kepaniteraan sebanyak 55 pelanggaran [2].
Tidak sedikitnya jumlah hakim dan aparatur yang berperilaku melanggar kode etik tersebut tentunya telah mencederai kemuliaan profesi hakim, menodai kewibawaan, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan. Oleh karenanya Mahkamah Agung RI perlu menempatkan fungsi manajemen SDM untuk meningkatkan kepatuhan terhadap nilai-nilai badan peradilan dan kode etik aparatur sebagai salah satu fokus strategis yang harus dikelola secara maksimal.
Sebagaimana pesan Muhammad Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung 2012-2020: “Membangun sistem peradilan tidak hanya cukup dengan bekal sarana dan prasarana, aturan, serta tata kerja sebagai “raga peradilan.” Demi membangunnya secara penuh, perlu pula digelorakan “jiwa dari peradilan” itu sendiri, yaitu dengan mematri semangat pengabdian, rasa memiliki, serta kesatuan cita mencapai tujuan bersama: mewujudkan peradilan Indonesia yang agung” [3]. Sejalan dengan hal tersebut maka gagasan untuk membentuk budaya peradilan yang sehat atas dasar nilai-nilai organisasi dan etika profesi menjadi penting untuk dilaksanakan.
Penguatan Budaya Organisasi
Pimpinan Mahkamah Agung RI telah merumuskan Visi dan Misi Badan Peradilan. Atas dasar Visi dan Misi yang telah dirumuskan tersebut selanjutnya dikembangkan tujuh nilai utama badan peradilan sebagai dasar berperilaku seluruh warga badan peradilan. Nilai-nilai inilah yang nantinya akan membentuk budaya peradilan. Tujuh nilai-nilai utama badan peradilan adalah “kemandirian kekuasaan kehakiman, integritas dan kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, keterbukaan, ketidakberpihakan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum”[4].
Budaya organisasi didefinisikan sebagai suatu pola asumsi dasar bersama yang dipahami oleh anggota organisasi dan telah dapat bekerja secara baik untuk memecahkan masalah yang ada di dalam internal organisasi maupun masalah yang berasal dari eksternal organisasi. Oleh karena itu budaya organisasi harus diajarkan kepada seluruh anggota organisasi termasuk anggota baru sebagai suatu cara yang benar dalam mempersepsikan, berpikir, dan merasakan masalah yang dihadapi oleh organisasi [5]. Tujuh nilai utama badan peradilan tersebut bersama dengan kode etik aparat peradilan menjadi pedoman berperilaku bagi warga badan peradilan yang berperan membentuk budaya organisasi peradilan.
Schein menyebutkan terdapat 3 (tiga) tingkatan budaya organisasi, yakni: artefak-artefak (artifacts), keyakinan dan nilai yang diikuti (espoused beliefs and values), dan keyakinan mendasar (underlying assumption). Artifacts merupakan tingkatan pertama dari budaya organisasi yang terdiri dari berbagai fenomena yang terlihat, terdengar, dan dapat dirasakan. Termasuk ke dalam Artifacts adalah arsitektur dari lingkungan fisik, bahasa, produk teknologi, cara berpakaian, berperilaku, tampilan emosional yang menggambarkan tentang budaya dalam sebuah organisasi. Tingkatan kedua adalah espoused beliefs and values, pada tingkatan ini anggota organisasi telah memahami bagaimana menyikapi suatu masalah berdasarkan nilai-nilai organisasi sehingga anggota organisasi mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Pada tingkatan budaya organisasi tertinggi, yakni underlying assumption, seluruh anggota organisasi telah menerima secara penuh nilai-nilai organisasi dan nilai-nilai dasar dari organisasi tersebut telah dapat memandu perilaku seluruh anggota organisasi untuk bertindak sesuai tujuan organisasi [5].
Kepemimpinan memegang peran utama dalam mewujudkan kepatuhan hakim dan aparatur terhadap nilai-nilai badan peradilan dan kode etik aparat peradilan. Pimpinan Mahkamah Agung, Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding, dan Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama merupakan figur yang harus memiliki kemampuan untuk menjalankan serta mencapai target dan tujuan organisasi badan peradilan. Sejalan dengan itu peran pemimpin tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan budaya peradilan di Mahkamah Agung RI.
Peran kepemimpinan dalam membentuk suatu budaya organisasi sebagai motivasi bekerja pada anggota organisasi adalah sangat penting. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan memiliki peran besar dalam menyampaikan tujuan organisasi, yang menjadi faktor utama dalam menggalakkan motivasi dalam bekerja. Dengan demikian, kepemimpinan dapat dikatakan memiliki peran penting dalam memastikan budaya organisasi dapat dipahami dan diterima oleh seluruh anggotanya demi tercapainya tujuan organisasi [6].
Mahkamah Agung RI telah menjalankan program unggulan untuk melakukan internalisasi nilai-nilai badan peradilan dan kode etik aparat peradilan demi terbentuknya budaya peradilan yang sehat. Hal tersebut terlihat dengan telah adanya artefak-artefak (artifacts) di seluruh pengadilan di Indonesia berupa media internalisasi cetak berupa poster, banner, pin, maupun media non cetak seperti video dan foto di kanal-kanal media sosial dan website resmi pengadilan. Telah pula dilaksanakan kegiatan pengucapan tujuh nilai-nilai utama badan peradilan secara rutin yang diikuti oleh hakim dan aparatur peradilan. Selain itu, Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial juga telah melaksanakan program pendidikan dan pelatihan KEPPH.
Berkaitan dengan peran pimpinan sebagai atasan langsung, telah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 mengatur tentang pengawasan dan pembinaan atasan langsung di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. PERMA ini memberikan pedoman bagi pimpinan dalam melaksanakan pengawasan serta pembinaan hakim dan aparatur peradilan. PERMA ini dinilai efektif dalam melakukan penindakan yang bersifat represif kepada hakim dan aparatur yang melanggar kode etik, namun pembinaan pimpinan dalam hal internalisasi kode etik aparat peradilan dan nilai-nilai badan peradilan sebagai sarana preventif dinilai belum dilaksanakan secara optimal.
Untuk meningkatkan kualitas budaya organisasi melalui kepatuhan akan nilai-nilai badan peradilan dan kode etik profesi, Mahkamah Agung RI harus melakukan terobosan-terobosan dalam melakukan internalisasi nilai-nilai badan peradilan dan kode etik aparat peradilan dengan menyelaraskan nilai-nilai badan peradilan dengan kerangka kepemimpinan yang ada di Mahkamah Agung RI. Langkah pertama yang harus diambil adalah menyusun peraturan internal yang berisi tentang kerangka budaya organisasi badan peradilan, penjabaran nilai-nilai utama badan peradilan, dan kerangka kepemimpinan serta peran pimpinan dalam memastikan terciptanya budaya badan peradilan. Hal ini berguna sebagai panduan bagi pimpinan untuk membangun budaya peradilan yang sehat secara terarah. Kedua, untuk menjalankan pembangunan budaya peradilan yang sehat diperlukan inovasi berupa program internalisasi budaya organisasi yang terstruktur dan sistematis dengan melibatkan pimpinan, hakim, dan seluruh aparatur peradilan.
Penutup
Peran pembinaan atasan langsung atas perilaku hakim dan aparatur sesuai kode etik aparat peradilan sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 8 Tahun 2016 perlu dioptimalkan. Oleh karena itu upaya mewujudkan budaya peradilan yang sehat melalui penguatan internalisasi nilai-nilai badan peradilan dan kode etik aparat peradilan sebagai salah satu upaya preventif terhadap pelanggaran etika profesi harus ditingkatkan di samping upaya represif berupa penindakan dan pemberian sanksi. Sebagai panduan bagi para pimpinan, hakim, dan aparatur peradilan serta untuk memastikan terciptanya pemahaman bersama dan keselarasan tentang budaya organisasi perlu dibuat peraturan internal yang mengatur tentang kerangka budaya badan peradilan, penjabaran nilai-nilai utama badan peradilan, dan kerangka kepemimpinan serta peran pimpinan dalam memastikan terciptanya budaya badan peradilan yang sehat. Selanjutnya diperlukan inovasi yang diwujudkan dalam program internalisasi budaya organisasi yang terstruktur dan sistematis dengan melibatkan pimpinan, hakim, dan seluruh aparatur. Upaya-upaya tersebut bertujuan agar tujuh nilai utama badan peradilan dapat diresapi dan selaras dengan nilai personal hakim dan aparatur, sehingga budaya peradilan yang sehat dapat mencapai tingkatan underlying assumption dan menjadi cara hidup insan peradilan. Pada akhirnya dengan terbangunnya budaya peradilan diharapkan tidak ada lagi pelanggaran terhadap kode etik aparat peradilan sehingga Visi dan Misi Mahkamah Agung RI dapat tercapai.
Referensi
[1] Badan Pengawasan Mahkamah Agung, “Hukuman disiplin.” Accessed: Nov. 04, 2024. [Online]. Available: https://bawas.mahkamahagung.go.id/blog/category/kumdis
[2] A. S. Sikti, “Strategi Memperkuat Integritas Lembaga Peradilan Indonesia,” Lex Laguens, vol. 1, pp. 1–34, 2023.
[3] D. Ridwan, Pendekar Peradilan, Taro Ada Taro Gau, 1st ed. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2020.
[4] Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035,” 2010, Jakarta.
[5] E. H. Schein, Organizational Culture and Leadership, 4th ed. San Fransisco: John Wiley & Sons, Inc, 2010.
[6] R. K. Sari and S. Riyanto, “How Important Leadership and Organizational Culture Build Working Motivation,” International Journal of Research and Innovation in Social Science (IJRISS), vol. IV, 2002.