Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 12 KUHP, pidana penjara waktu tertentu merentang dari yang paling singkat satu hari hingga paling lama dua puluh tahun. Besarnya diskresi ini menyebabkan kesenjangan yang sering kali disesalkan pada putusan pengadilan, yaitu variasi signifikan di antara para hakim dalam mengambil keputusan atas kejahatan yang sangat mirip dan/atau yang dilakukan oleh pelaku serupa [1]. Meskipun demikian, perbedaan penjatuhan hukuman atau disparitas pemidanaan sebenarnya adalah hal wajar karena hampir tidak ada kasus yang memang benar-benar sama. Disparitas pemidanaan menjadi permasalahan ketika rentang perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara serupa sedemikian besar, sehingga menimbulkan ketidakadilan serta kecurigaan bagi masyarakat [2].
Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), terdapat sepuluh poin rumusan yang wajib ditaati hakim saat menjalankan tugas profesi maupun ketika menjalin hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Seluruh prinsip ini sebenarnya telah memberikan kerangka kerja serta kewajiban etis untuk menekan terjadinya disparitas. Meskipun demikian, rumusan kode etik yang bersifat normatif dan abstrak tidak serta merta dapat langsung menjadi jawaban praktis. Supaya dapat berjalan efektif, penerapan kode etik harus sinergis dengan peraturan yang lebih konkret. Studi ini akan menunjukkan bagaimana implementasi KEPPH dikontekstualisasikan dengan undang-undang hukum acara berserta regulasi Mahkamah Agung terkait. Hasilnya menunjukkan bahwa integrasi antara kode etik dan instrumen hukum yang komplementer dapat menjadi solusi untuk meretas isu disparitas pemidanaan di Indonesia.
Disparitas Pemidanaan
Disparitas (disparity) merupakan ketidaksamaan (inequality); perbedaan secara kuantitas atau kualitas antara dua hal atau lebih [3]. Dalam konteks hukum pidana, disparitas adalah penjatuhan saksi yang tidak sama terhadap kejahatan yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offencess of comparable seriousness), tanpa dasar pembenaran yang jelas [4]. Padahal idealnya, perkara dengan karakteristik dan fakta hukum yang identik seharusnya dijatuhi putusan serupa, atau setidak-tidaknya tak jauh berbeda. Eadem est ratio, eadem est lex; artinya (jika) alasannya sama, maka hukumannya sama.
Luasnya ruang diskresi memang memungkinkan hakim mempertimbangkan berbagai aspek ketika menangani sebuah perkara, namun di saat yang sama juga membuka peluang terjadinya variasi signifikan dalam putusan pemidanaan. Tantangan sebenarnya adalah disparitas yang tidak bertanggung jawab (unwarranted disparity), yakni variasi penjatuhan pidana pada kasus-kasus serupa tanpa adanya alasan yang dapat dijustifikasi. Di tahun 2017, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia meneliti indeksasi 555 putusan perkara tindak pidana korupsi dari berbagai wilayah pengadilan negeri. Hasilnya, ditemukan inkonsistensi penjatuhan pidana (straftoemeting) pada 66 persen kelompok putusan tanpa adanya alasan atau pertimbangan hukum yang jelas [5]. Situasi serupa juga terjadi pada sampel 3.169 putusan perkara narkotika sepanjang tahun 2016 - 2020. Menurut studi Indonesia Judicial Research Society, statistik disparitas pidana penjara dalam perkara Peredaran Gelap Narkotika (Pasal 111-116 UU tentang Narkotika) adalah sejumlah 65,8 persen, sedangkan pada Penyalahguna Narkotika (Pasal 127 UU tentang Narkotika) mencapai angka 62,9 persen [6].
Implementasi Kode Etik
Secara umum, kode etik dapat didefinisikan sebagai norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Di lingkungan peradilan, standar etika profesi hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pada beleid ini, terdapat sepuluh aturan berperilaku sebagai berikut: 1) Berperilaku Adil, 2) Berperilaku Jujur, 3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, 4) Bersikap Mandiri, 5) Berintegritas Tinggi, 6) Bertanggung Jawab, 7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, 8) Berdisiplin Tinggi, 9) Berperilaku Rendah Hati, serta 10) Bersikap Profesional. Melalui pendekatan yang tepat, implementasi rumusan KEPPH dapat menjadi solusi atas isu disparitas putusan.
Pertama, poin Berperilaku Adil menyatakan hakim wajib memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum. Prinsip “tidak semata-mata untuk menghukum” ini koheren dengan asas pemulihan keadaan serta kepentingan korban pada Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam menerapkan prosedur tersebut, penting bagi hakim supaya mencantumkan kesepakatan perdamaian antara terdakwa dan korban di pertimbangannya, beserta keadaan yang memberatkan dan yang meringankan sesuai ketentuan Pasal 197 KUHAP. Dengan demikian, hakim akan terhindar dari prasangka tertentu ketika terjadi disparitas pemidanaan, terutama jika jenis maupun durasi hukuman yang dijatuhkan ternyata lebih ringan [7]. Variasi pemidanaan dengan dasar pertimbangan jelas seperti ini disebut sebagai disparitas yang bertanggungjawab (warranted disparity).
Kedua, poin Berdisiplin Tinggi mewajibkan hakim untuk melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan prinsip ini, hakim wajib memahami beragam regulasi yang diterbitkan Mahkamah Agung demi terciptanya konsistensi putusan. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu, dinyatakan bahwa hakim mengacu pada tabel yang disusun oleh ketua pengadilan negeri untuk menghindari munculnya keanekaragaman (disparitas) pemidanaan denda tilang. Selain itu, SEMA Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pembinaan Personil Hakim menginstruksikan supaya ketua pengadilan tingkat banding hendaknya mencegah terjadinya disparitas putusan. Khusus di perkara tindak pidana korupsi, Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat berbagai indikator demi mencegah perbedaan rentang pemidanaan. Seluruh peraturan ini selanjutnya dapat menjadi alat bantu (tools) bagi hakim untuk menentukan sanksi secara lebih objektif dan proporsional.
Ketiga, intrajudge disparity merupakan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan pemidanaan dari faktor internal. Spohn mendefinisikan tipe ini sebagai timbulnya disparitas ketika individu hakim membuat putusan yang inkonsisten. Dengan kata lain, seorang hakim menjatuhkan hukuman berbeda kepada pelaku dengan tingkat kesalahan yang sama, meskipun kejahatan mereka sebenarnya mirip [8]. Misalnya di suatu kasus tindak pidana ringan, seorang hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama satu bulan. Namun pada perkara lain dengan fakta dan karakteristik yang identik, individu yang sama justru menjatuhkan penjara selama tiga bulan. Bagi sebagian hakim, praktik ini dilakukan secara sadar dan sengaja supaya putusan mereka “tak dapat ditebak”.
Meskipun bertujuan untuk menghindari putusan diterka oleh pihak eksternal, akan tetapi perlu diingat bahwa ada kepentingan terdakwa yang dikorbankan agar membuat proteksi tersebut bekerja. Mencoloknya selisih masa pemidanaan (strafmaat) pasti akan menimbulkan pertanyaan terhadap transparansi sistem peradilan, terutama jika alasan perbedaan beserta justifikasinya tidak dicantumkan dalam pertimbangan. Ketika hakim diharapkan untuk memutus secara objektif berdasarkan fakta persidangan, justru ada sebagian lainnya yang sengaja menciptakan disparitas pemidanaan, demi alasan mencegah pola putusannya mudah terprediksi. Fenomena demikian merupakan gejala keangkuhan yudisial yang justru kontradiktif dengan salah satu misi utama Mahkamah Agung, yakni meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan. Alih-alih mewujudkan akuntabilitas, disparitas yang disengaja semacam ini justru lebih mengarah pada sikap diskriminatif serta pengabaian terhadap asas imparsialitas.
Demi mengatasi intrajudge disparity, hakim perlu menerapkan poin kode etik Berperilaku Rendah Hati. Dengan menginternalisasi nilai ini, hakim seharusnya menyadari bahwa pengambilan keputusan seharusnya berpegangan kepada prinsip keadilan dan objektivitas, bukannya ego pribadi atau interpretasi subjektif yang mengada-ada. Pada akhirnya, hakim akan terdorong menciptakan putusan yang lebih konsisten dan akuntabel untuk mengurangi probabilitas terjadinya disparitas.
Penutup
Implementasi prinsip-prinsip KEEPH dapat menjadi solusi dalam menanggulangi disparitas pemidanaan. Berperilaku Adil memastikan hakim supaya mencantumkan pertimbangan yang memadai ketika menerapkan mekanisme keadilan restoratif; Berdisiplin Tinggi mewajibkan hakim mengaplikasikan regulasi-regulasi Mahkamah Agung untuk mencegah perbedaan rentang penghukuman; sedangkan Berperilaku Rendah Hati mencegah intrajudge disparity yang disebabkan subjektivitas individu maupun preferensi personal. Meskipun demikian, penerapan KEEPH tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus bersinergi dengan regulasi hukum lain yang lebih konkret dan spesifik.
Di samping perkara korupsi, Mahkamah Agung juga diharapkan dapat menerbitkan pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) untuk klasifikasi kejahatan lain. Sebagai salah satu kejahatan paling merusak generasi bangsa, urgensi pedoman pemidanaan perkara narkotika menjadi sangat dibutuhkan. Menurut Laporan Tahunan 2023 Mahkamah Agung, narkotika juga merupakan kejahatan dengan beban tertinggi yang ditangani oleh pengadilan negeri, yakni sejumlah 44.830 berkas [9]. Melalui kriteria pemidanaan yang terukur beserta penegakan nilai kode etik secara profesional, Mahkamah Agung diharapkan mampu meretas isu disparitas dalam penjatuhan pidana, sekaligus mewujudkan misi peningkatan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Referensi
[1] S. L. Sporer, “Reducing Disparity in Judicial Sentencing: A Social-Psychological Approach,” 1980.
[2] A. Tama S. Langkun, Bahrain, Mouna Wassef, Tri Wahyu, “Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Korupsi,” Jakarta, 2014.
[3] B. A. Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edit. Minnesota: West, 2009.
[4] Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, “Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan,” Balitbang Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010.
[5] M. N. Siagian, N. Oktaviani, dan A. A. Saputro, Buku Saku Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020.
[6] M. Nathanael et al., Penelitian Disparitas Pemidanaan dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia. Jakarta: Indonesia Judicial Research Society dengan dukungan dari Open Society Foundations, 2022.
[7] R. Hardhika, Mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Hukum Acara Pidana di Pengadilan Negeri. Yogyakarta: Deepublish, 2024.
[8] C. Spohn, How do Judges Decide?, Second Edi. California: SAGE Publications, Inc., 2009.
[9] Mahkamah Agung RI, “Laporan Tahunan 2023 Mahkamah Agung,” Jakarta, 2024.