Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai implikasinya, negara berkewajiban memastikan keberadaan lembaga peradilan yang independen untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam usaha penyelenggaraan peradilan yang independen, hakim adalah tokoh utama yang memiliki peran sangat krusial karena putusan hakim, yang menjadi produk utama lembaga peradilan, mencerminkan upaya penegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, integritas hakim menjadi syarat fundamental dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Namun, di tengah perkembangan era modern, profesi hakim sebagai profesi terhormat menghadapi berbagai tantangan kompleks yang berpotensi mengancam integritas serta profesionalitasnya.[1]
Tantangan yang dapat mengancam integritas dan independensi hakim di era modern adalah ancaman korupsi dan intervensi politik. Intervensi politik yang tidak jarang akan dapat mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan, sehingga mengancam kemandirian institusi kehakiman dalam menegakkan tugas-tugas peradilan. Demikian juga dengan korupsi berupa suap dan gratifikasi juga menjadi ancaman serius terhadap integritas hakim. Tiga orang hakim PN Surabaya yang ditetapkan oleh Kejaksaan sebagai tersangka suap atas vonis bebas Ronald Tannur[2]menambah daftar panjang korupsi dunia peradilan.
Selain itu ada pemberitaan tahun 2023, 4 orang hakim diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) karena terbukti melanggar kode etik sepanjang Januari-September 2023. Bahkan menurut catatan MKH, ada 41 orang hakim diusulkan dikenakan sanksi, dengan berbagai pelanggaran kode etik dan perilaku tercela, yaitu memanipulasi fakta dalam persidangan atau dokumen putusan, bertindak tidak profesional, menerima gratifikasi, menelantarkan keluarga, atau berjumpa dengan pihak yang sedang berperkara, membocorkan informasi rahasia pada pihak yang tidak terkait, serta melindungi sesama hakim yang terbukti berselingkuh.[3]
Melihat situasi tersebut, keberadaan kode etik profesi hakim menjadi sangat signifikan sebagai mekanisme pengendalian dalam pelaksanaan tugas mereka. Profesi hakim memiliki posisi yang istimewa karena melibatkan perlindungan kepentingan umum serta hak-hak individu pencari keadilan. Oleh sebab itu, penegakan kode etik selain bergantung pada aturan hukum semata, juga harus merujuk pada pedoman yang lebih luas, seperti etika, nilai-nilai moral, dan prinsip-prinsip keagamaan.Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan menganalisis tantangan dan upaya implementasi kode etik hakim.
Tantangan dan Implementasi Kode Etik Hakim
Profesi hakim dianggap sebagai profesi luhur (officium nobile), karena hakim bertugas menjalankan kekuasaan kehakiman dan berkewajiban untuk menegakkan hukum serta keadilan[4]. Frans Hendra Winata menyatakan, “profesi luhur adalah pengejawantahan dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kewajaran, kejujuran, kesadaran untuk menghormati integritas dan kehormatan profesi dan nilai pelayanan publik”[5].
Panduan untuk menjaga kehormatan profesi dan hubungan sosial di luar tugas kedinasan bagi hakim diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), yang diterapkan melalui 10 prinsip aturan prilaku.
Masing-masing prinsip tersebut menentukan larangan dan kewajiban hakim. Dengan KEPPH berfungsi sebagai pedoman bagi moral dan perilaku hakim, dengan tujuan membentuk personil hakim yang berintegritas tinggi dan berakhlak luhur. Hal ini diharapkan dapat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen serta sistem peradilan yang bersih dan berwibawa, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi terkait Kekuasaan Kehakiman.
Berbagai jenis pelanggaran KEPPH yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa pelanggaran tersebut sangat mencolok, terutama mengingat status profesi hakim sebagai profesi luhur. Hal ini menjadi perhatian serius yang membutuhkan penanganan demi keberhasilan penegakan hukum di Indonesia.
Menurut L. M. Friedman, keberhasilan dan/atau kegagalan penegakan hukum ditentukan oleh 3 elemen sistem hukum: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum[6]. Struktur hukum adalah kerangka permanen dari sistem hukum yang menjaga agar proses hukum tetap berada dalam batas-batas yang telah ditentukan. Elemen ini menentukan dapat atau tidaknya hukum dilaksanakan dengan baik[7].
Soerjono Soekanto mengingatkan bahwa penegak hukum harus memiliki kesadaran diri saat menjalankan tugasnya di masyarakat, yang dapat dilakukan dengan bersikap rasional, yakni mampu membedakan antara benar atau salah, serta bersikap etis dengan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab[8]. Namun, banyak hakim yang justru terlibat dalam pelanggaran KEPPH karena mudah dipengaruhi oleh kelompok kepentingan atau opini publik, sehingga menyimpang dari profesionalitas panggilannya. Dalam konteks ini, prinsip integritas hakim yang tercermin dalam etika profesinya menjadi kehilangan maknanya.
Kasus-kasus pelanggaran KEPPH yang telah disebutkan sebelumnya tidak hanya mencemari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam Pedoman Perilaku Hakim. Dengan demikian, etika profesi berperan penting dalam penegakan hukum. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa kelemahan mentalitas aparat penegak hukum akan menurunkan efektifitas penegakan hukum dalam menjalankan tugasnya. Etika profesi atau kode etik memiliki peranan vital sebagai landasan etik dengan fungsi pengawasan bagi para penegak hukum. Dengan adanya moralitas dan etika yang kuat, para penegak hukum dapat menjalankan fungsi penegakkan hukum secara lebih efektif.
Substansi hukum merujuk pada seluruh materi hukum yang menjadi acuan bagi setiap individu dan institusi pemerintahan dalam sistem hukum[9]. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, Jika ditelusuri isi UU Kekuasaan Kehakiman, maupun Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No.02/PB/MA/IX/2012 – No.02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan pada 27 September 2012. Idealnya, aturan hukum telah mencakup prinsip dan tatanan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya. Namun, permasalahannya terletak pada apakah setiap hakim tetap berkomitmen untuk menjadikan aturan-aturan tersebut sebagai pedoman atau tidak. Pelanggaran KEPPH pada hakikatnya tidak hanya disebabkan oleh masalah hukum itu sendiri, tetapi lebih pada aspek budaya hukum.
Budaya hukum mencakup berbagai sikap dan nilai yang berhubungan dengan hukum serta sistem hukum, yang mempengaruhi tingkah laku dalam konteks hukum. Faktor kebudayaan menekankan pada sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat. Budaya kompromis pada masyarakat Indonesia menurunkan tingkat kepatuhan terhadap hukum. Budaya ini dapat ditelusuri sejak masa kerajaan hingga sekarang, meskipun bentuk dan penyebutannya telah berubah. Di zaman modern, hal ini tercermin dalam praktik suap yang terus ada, karena adanya pihak yang senantiasa melakukan praktik suap. Pihak yang menjual adalah penegak hukum yang mengambil keuntungan pribadi dan tidak menjalankan aturan sesuai ketentuan, sedangkan pembeli adalah pihak yang bersedia membayar agar tujuannya tercapai dengan mengabaikan hukum. Praktik ini mencerminkan kelemahan budaya dalam penegakan hukum. Jika budaya seperti ini tidak diatasi, maka penegakan hukum tidak akan mencapai hasil maksimal[10].
Penutup
Hakim adalah profesi yang luhur dan mulia, yang menuntut pengamalan nilai-nilai moral dari setiap orang yang mengembannya. Meskipun sudah ada KEPPH sebagai pedoman dalam menjalankan profesi hakim, pelanggaran KEPPH masih sering terjadi. Hal ini, dapat menjadi tantangan kompleks yang membahayakan integritas dan martabat profesi mereka. Masalah ini menjadi perhatian serius yang memerlukan penanganan untuk keberhasilan penegakan hukum di Indonesia.
Keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh 3 elemen sistem hukum: struktur, substansi dan budaya hukum. Pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh sebagian hakim tidak selamanya dikarenakan masalah struktur atau substansi hukumnya, namun ada kalanya terjadi pada budaya hukum itu sendiri, yang mempengaruhi baik-buruknya tindakan-tindakan berkaitan dengan hukum.
Daftar Pustaka
[1] C. Mawardi and A. A. Al Akhdloriy, “Tantangan Modern Dalam Menjaga Integritas Hakim: Mengatasi Ancaman Terhadap Keluhuran Martabat Profesional,” Jatijajar Law Review, vol. 3, no. 1, p. 15, Apr. 2024, doi: 10.26753/jlr.v3i1.1323.
[2] T. Ajeng, “Kejagung tetapkan tiga hakim PN Surabaya tersangka suap, vonis bebas Ronald Tannur karena uang?,” Kompas.TV. [Online]. Available: https://www.kompas.tv/nasional/551461/kejaksaan-agung-periksa-3-hakim-pn-surabaya-dalam-kasus-suap-vonis-bebas-ronald-tannur
[3] S . Wiryono and N. Setuningsih, “KY usulkan sanksi berat untuk 4 hakim yang terbukti berselingkuh,” Kompas.com. [Online]. Available: https://nasional.kompas.com/read/2023/11/03/19394421/ky-usulkan-sanksi-berat-untuk-4-hakim-yang-terbukti-berselingkuh
[4] P. Y. Ernowo, “Profesi hakim, mulia dan terhormat,” InfoPublik. [Online]. Available: https://www.infopublik.id/kategori/nasional-politik-hukum/742231/profesi-hakim-mulia-dan-terhormat
[5] F. H. Winata, “Dewan kehormatan advokat dan kewenangannya,” Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Medan Area. [Online]. Available: https://mh.uma.ac.id/dewan-kehormatan-advokat-dan-kewenangannya/
[6] Achmad Ali, Keterpurukan hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya), 1st ed., vol. 1. Bogor: Ghalia, 2005.
[7] A. Anas, “Komponen sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman,” Own Talk. [Online]. Available: https://owntalk.co.id/2020/11/23/komponen-sistem-hukum-menurut-lawrence-m-friedman/
[8] Ismansyah, “Permasalahan Hukum Dalam Pengembangan Ilmu Hukum Di Indonesia (Pentingnya Reformasi Hukum Terkait Dengan Permasalahan Hukum),” vol. 9, no. 1, p. 2, 2010, [Online]. Available: https://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1418/1228
[9] A. Hakim and B. Barkatullah, “Budaya Hukum Masyarakat Dalam Perspektif Sistem Hukum,” pp. 1–18, 2013.
[10] A. Riyanto, “Penegakan hukum, masalahnya apa?,” Binus University Business Law. [Online]. Available: https://business-law.binus.ac.id/2018/12/26/penegakan-hukum-masalahnya-apa/