Latar Belakang
Konstitusi menggariskan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,[1] yang bermakna nilai-nilai keilahian merasuk dalam sendi kehidupan bernegara, termasuk pula dalam penataan pemerintahan. Pengaturan mengenai kekuasaan yudikatif pun tidak terlepas dari anasir-anasir keilahian, merujuk pada Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".[2]
Irah-irah tersebut senantiasa menghiasi putusan seorang hakim, yang berarti hakim dalam menetapkan putusannya wajib mempertimbangkan rasa keadilan yang disandarkan pada nilai luhur terilhami oleh keesaan Allah. Namun faktanya, Peristiwa yang dilakukan oknum hakim silih berganti terjadi, dari kasus suap oleh Hakim Konstitusi Akil Mochtar, hingga Hakim Itong Isnaeni Hidayat di Surabaya. Peristiwa tersebut menunjukkan perilaku yang sangat jauh dari nilai-nilai ketuhanan.
Penulis merasa perlu menguraikan kembali tentang kemuliaan kedudukan hakim dari perspektif religius. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi prinsip dasar dan etika yang harus dimiliki oleh hakim dari sudut pandang Islam, dengan harapan bahwa hakim-hakim Indonesia khususnya yang beragama Islam dapat meresapi kembali, bahwa profesi hakim tidak hanya tanggung jawab yang negara berikan, namun lebih utama merupakan perintah Allah, yang termuat dalam Al Qur’an Surat an-Nisa’ Ayat 58, “dan Sesungguhnya Allah (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil...”.[3] bahkan ganjarannya termuat dalam Hadis Rasulullah, "Sesungguhnya, orang-orang yang adil nanti akan ditempatkan di atas mimbar terbuat dari nur berada di sisi Allah...".[4]
Merujuk tuntunan tersebut, nampak bahwa Islam memberikan kedudukan istimewa terhadap jabatan hakim, oleh karenanya sudah menjadi keniscayaan bahwa memilih profesi hakim, bukanlah menjadi sarana untuk mencari keuntungan materi, namun merupakan profesi mulia yakni menjalankan perintah Allah untuk menegakkan keadilan.
Prinsip Dasar dan Etika Hakim
Saat seseorang terpilih menduduki jabatan sebagai hakim, maka niatnya harus didasari untuk memenuhi perintah Allah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana Hadis Rasulullah, “bahwasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu pun kepada Allah dan Rasul-Nya…”[5].
Setiap hakim harus menyadari, Ia wajib menjaga keteguhan niatnya semata untuk ibadah kepada Allah, dengan ganjaran akan mendapatkan pahala. Sementara apabila dalam menjalankan tugasnya Ia berlaku khianat, maka Allah akan meninggalkannya, sebagaimana Hadis Rasulullah, "sesungguhnya, Allah bersama hakim selagi dia tidak menyimpang. Apabila dia menyimpang, Allah berlepas tangan atas dirinya dan (dia) akan dikawani setan.”[4]
Hakim yang memegang kejujuran adalah hakim yang niatnya semata karena Allah, Ia akan mempertahankan keadilan, menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, olehnya Allah akan memberikan perlindungan-Nya. Sebaliknya jika seorang hakim berpura-pura jujur dan mengutamakan kepentingan diri sendiri atau orang lain, maka Ia tidak akan mendapatkan apa-apa melainkan Allah akan meninggalkannya, dan membuka rahasia tentang dustanya tersebut.
Nabi Muhammad bersabda, "Hakim ada tiga macam, yang dua akan masuk neraka dan yang satu masuk surga. Seorang hakim yang menetapkan perkara dengan putusan yang tidak benar dan dia mengetahuinya maka dia akan tinggal di neraka; seorang hakim yang tidak mempunyai pengetahuan lalu dia melanggar hak-hak orang lain maka dia akan tinggal di neraka; dan seorang hakim yang menetapkan hukum dengan benar maka dia akan tinggal di surga."[4].
Hadis tersebut menyiratkan hakim harus memiliki pengetahuan yang luas, sehingga dalam menjalankan tugasnya, hakim dapat memutuskan perkara dengan berlandaskan hukum. Bahkan jika suatu persoalan tidak ditemukan dalam sumber hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas, maka hakim diwajibkan untuk berijtihad, yakni menggali potensi untuk menemukan solusi terbaik dalam memutus perkara. Ijtihad hanya mampu dilakukan oleh hakim yang berpengetahuan luas, dan Allah menjanjikan jika ijtihad tersebut benar maka Ia akan mendapatkan pahala surga.
Hakim harus bersikap adil dan memperlakukan sama kepada pihak yang bersengketa, baik dalam fasilitas tempat duduk, cara memandang, berbicara, dan bersikap. Hakim tidak boleh mengajari salah satunya, menertawakannya, dan mengajaknya bercanda, termasuk tidak boleh menerimanya sebagai tamu.
Rasulullah bersabda, “barangsiapa yang diuji untuk menangani sengketa di antara dua muslim maka dia hendalah bersikap sama kepada keduanya dalam memberikan fasilitas duduk, memberikan isyarat dan melihat. Dia tidak boleh meninggikan suara kepada salah satunya melebihi ketika dia berbicara dengan yang lain.”. [4]
Hakim harus menghindarkan diri dari sifat pemarah dan wajib bersikap penyabar dan berpikiran dingin, karena terkadang pihak yang dikalahkan, akan melakukan kritik terhadap keputusan yang telah dibuat. Umar mengingatkan kepada al-Ash’ari, “jauhilah dirimu dari marah, kacau pikiran, tidak senang perasaan, menyakiti orang berperkara…”[6]
Kemarahan merupakan faktor efektif untuk mempengaruhi pikiran manusia. Sehingga jika seorang dalam keadaan marah, Ia akan kehilangan kemampuan membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, serta adil dan tidak adil. Nabi Muhammad bersabda, “Ketika seorang marah, Ia dikuasai oleh setan”.[6] Sehingga hakim dituntut untuk menjadi seorang penyabar dan berkepala dingin dalam menghadapi berbagai persoalan.
Islam secara tegas melarang praktik suap, surat Al-Baqarah ayat 188, menyebutkan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil...”[7] lebih lanjut ditegaskan dalam Hadis Rasulullah, “Allah melaknat siapapun memberi dan menerima suap.”[6]
Praktik suap oleh hakim merupakan perbuatan yang sangat tercela dan merupakan perbuatan zalim, karena Ia condong tidak akan berlaku adil dalam membuat keputusan. Rasulullah bersabda, ”Hakim ketika menerima suap berarti Ia telah bertindak kufur”. Hadis lain menerangkan, “Suap yang diterima oleh orang yang mengadili suatu perkara, maka akan menjadi halangan antara dia dan surga”.[6]
Seorang hakim wajib menghindarkan dirinya dari praktik suap, karena jika sudah terjerumus, maka keadilan tidak dapat lagi ditegakkan, orang tertindas tidak akan tertolong, kekacauan akan terjadi sehingga merusak sendi-sendi bernegara.
Hakim dilarang menerima hadiah, kecuali dari saudaranya yang masih mahram atau yang sudah terbiasa memberinya hadiah sebelum menjadi hakim. Haram bagi hakim menerima hadiah dari seorang yang sedang berperkara, sebab termasuk suap dan akan menghilangkan sikap objektifnya. Rasulullah bersabda, “hadiah yang diterima oleh para pekerja pemerintahan adalah khianat.”, Hadis lain menerangkan, “Barangsiapa yang telah aku beri pekerjaan dan telah ditetapkan gajinya, maka apa yang Ia ambil melebihi dari yang itu termasuk pengkhianatan.”[4].
Hakim harus menjalani hidup sederhana dan menjauhi gaya hidup bermewahan. Apabila hakim bergaya hidup bermewah-mewah, Ia akan cenderung berupaya untuk memenuhi segala keinginannya. Sehingga Ia akan berusaha mencari keuntungan tambahan di luar gajinya, yang berujung menjadikan Ia pribadi yang tamak.
Ketika Ali mewawancarai seorang calon hakim. Ali bertanya, “apa yang menjadikan hakim itu menjadi lebih baik?”, Ia menjawab, “dengan keimanan”, ditanyakan lagi, “dan dengan apa keimanan itu bisa dinodai?”, Ia menjawab, “dengan ketamakan”. Ali pun menyampaikan kepadanya, "Kamu layak menjadi seorang hakim". Hakim harus menjauhkan diri dari ketamakan agar terhindar dari pengkhianatan dalam menegakkan keadilan.[6]
Dalam menjalankan tugasnya, Hakim harus memiliki psikologis yang bersih tidak boleh dalam keadaan gelisah, pusing, atau tertekan. Sebagaimana Hadis Rasulullah, “Jauhkanlah kondisi gelisah dan pusing saat menghakimi”, lebih lanjut dalam Hadis lain, “Seorang Hakim hendaknya tidak menetapkan hukuman ketika sedang marah”. Umar yang menyampaikan kepada al-Asy’ari, “Janganlah engkau marah, pusing, sedih, menyakiti orang lain, benci kepada mereka ketika menyelesaikan sengketa…”.[4]
Anjuran di atas haruslah menjadi pedoman bagi seorang hakim. Selain itu negara juga harus memberikan jaminan hidup yang layak kepada hakim-hakimnya, termasuk memberikan gaji yang pantas agar dapat mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Hal tersebut bertujuan agar Hakim dapat mencurahkan segala tenaga dan perhatian dalam melaksanakan tugasnya.
Hakim harus berhati-hati dalam bermuamalah seperti memilah undangan, apabila undangan tersebut bersifat umum, dan Ia tidak sedang menghadapi persoalan di persidangan, maka sunah bagi seorang hakim untuk hadir. Namun jika undangannya bersifat khusus, seorang Hakim tidak boleh hadir karena dapat menimbulkan kecurigaan, kecuali jika sebelum menjadi Hakim yang bersangkutan sudah sering mengundangnya dan yang lebih penting tidak sedang bersengketa di persidangan.
Hakim diperbolehkan menghadiri upacara pelepasan jenazah dan menjenguk orang yang sakit, karena hal tersebut merupakan hak seorang muslim yang harus dilaksanakan oleh muslim lainnya, Hadis Rasulullah, “hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mendoakan orang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit, mengiringkan jenazah, apabila ia meminta nasihat kepadamu, makan berilah Ia nasihat.”[4]
Dalam berbisnis Hakim tidak boleh mengelola bisnisnya sendiri. Hal tersebut bertujuan agar pihak lain tidak memanfaatkannya untuk berkolusi dengan Hakim.
Penutup
Diharapkan para hakim memegang teguh dan menerapkan prinsip etika tersebut di atas, untuk mewujudkan hakim yang ideal, yang tidak hanya diidamkan oleh pencari keadilan, namun juga dicintai oleh Allah.
Pemerintah seharusnya menyadari kewajibannya untuk mendukung peradilan di Indonesia, terutama memberikan fasilitas penunjang, transportasi, gaji, dan juga jaminan keamanan yang memadai. Hal tersebut merupakan faktor penunjang yang dapat memberikan jaminan kepada hakim untuk menjalankan tugasnya sesuai prinsip dan etika.
Referensi
[1] Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3] D. A. bin M. bin A. bin I. Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2001.
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 8. Jihad, Pengadilan dan Mekanisme Mengambil Keputusan, Pemerintahan Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani, 2011.
[5] Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi, Riyadhus Shalihin Imam An-Nawawi. Jakarta: Shahih, 2016.
[6] M. H. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
[7] D. A. bin M. bin A. bin I. Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2005.