Latar Belakang
Peradilan merupakan salah satu pilar utama dalam sistem hukum yang memiliki fungsi esensial dalam menegakkan keadilan di tengah Masyarakat [1]. Hakim, sebagai bagian sentral dalam proses peradilan, diwajibkan untuk menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim selanjutnya disebut KEPPH yang diejawantahkan dalam sepuluh aturan perilaku dasar guna menjaga integritas, kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan [2]. Seiring perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), penting untuk menelaah bagaimana kode etik hakim dapat beradaptasi dengan hadirnya AI dalam mendukung atau bahkan memengaruhi proses pengambilan putusan [3].
Penggunaan AI dalam peradilan menawarkan peluang besar untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan konsistensi putusan [4]. Teknologi ini mampu menganalisis data secara cepat, memberikan rekomendasi berbasis algoritma, serta memprediksi hasil perkara dengan tingkat presisi yang tinggi [5]. Namun, di sisi lain, penerapan AI menimbulkan risiko yang tidak dapat dipungkiri, seperti potensi bias algoritmik, transparansi yang terbatas dalam proses pengambilan putusan, dan ancaman terhadap independensi hakim [6]. Hal ini memunculkan pertanyaan terkait bagaimana kode etik hakim dapat melindungi integritas profesi di tengah intervensi teknologi.
Kode etik hakim dirancang untuk menjamin bahwa putusan yang diambil didasarkan pada penilaian objektif, tidak terpengaruh oleh faktor eksternal, dan berorientasi pada keadilan substantif. Ketika AI digunakan sebagai alat bantu dalam peradilan, terdapat potensi bahwa hakim akan bergantung pada rekomendasi teknologi tersebut, yang pada akhirnya dapat memengaruhi independensi pengambilan putusan. Selain itu, isu akuntabilitas juga menjadi perhatian serius yang mana apakah hakim tetap dapat bertanggung jawab penuh atas putusan yang dihasilkan apabila rekomendasi tersebut didasarkan pada analisis AI? Adapun aturan yang jelas diperlukan untuk memastikan teknologi ini digunakan dengan tetap sejalan dengan prinsip KEPPH.
Lebih lanjut, perbandingan di negara lain menunjukkan bahwa AI tidak sepenuhnya bebas dari kelemahan. Kasus diskriminasi algoritmik, seperti yang terjadi pada sistem COMPAS di Amerika Serikat, menjadi bukti nyata bahwa penggunaan AI dalam peradilan dapat memperkuat bias yang telah ada, sehingga mengancam keadilan [7]. Adapun konteks Indonesia, tantangan serupa berpotensi muncul jika penggunaan AI tidak disertai dengan pengawasan ketat, standar teknis yang jelas, serta penguatan kapasitas hakim untuk memahami batasan dan manfaat teknologi tersebut. Integrasi AI dalam peradilan harus dipersiapkan dengan matang, agar tidak mencederai kepercayaan publik terhadap sistem hukum peradilan. Sehingga, dengan pendekatan yang tepat, AI dapat menjadi alat yang mendukung keadilan, bukan sebaliknya, sehingga mampu memperkuat sistem peradilan yang transparan, akuntabel, dan berintegritas di era digital.
Risiko dan Peluang Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Penegakan Kode Etik Hakim Pada Peradilan
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam sistem peradilan menghadirkan tantangan dan peluang yang signifikan, terutama dalam kaitannya dengan penegakan kode etik hakim sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Salah satu potensi risiko utama adalah pengaruh algoritma AI terhadap integritas dan independensi hakim. Algoritma AI, meskipun berbasis data, tidak sepenuhnya bebas dari bias, karena sering kali mencerminkan bias yang terdapat dalam data olahannya. Jika algoritma ini digunakan untuk memberikan saran atau rekomendasi putusan, hakim dapat terpengaruh oleh hasil analisis yang tidak sepenuhnya objektif, sehingga berpotensi melanggar prinsip berintegritas tinggi sebagaimana diamanatkan dalam Prinsip 5 KEPPH.
Selain itu, ketergantungan yang berlebihan pada teknologi AI dapat melemahkan peran manusia dalam proses pengambilan putusan hukum. Asas Kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam peradilan, merupakan elemen yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. KEPPH Prinsip 3 menekankan pentingnya hakim menjalankan tugasnya dengan penuh kebijaksanaan, yang sering kali memerlukan pendekatan yang tidak bisa digantikan oleh AI. Proyeksi ke depannya dalam pengadilan yang sangat bergantung pada AI berpotensi menciptakan putusan yang mekanistik dan kurang mencerminkan keadilan substantif.
Adapun di sisi lain, AI juga menawarkan peluang besar dalam mendukung penegakan kode etik hakim. Salah satu manfaat utama adalah kemampuan AI untuk mendeteksi potensi pelanggaran kode etik melalui analisis data yang terintegrasi. AI dapat digunakan untuk memantau pola putusan hakim guna mengidentifikasi bias sistematis. Misalnya, jika terdapat pola putusan yang menunjukkan keberpihakan tertentu yang tidak berdasar pada pembuktian, hal ini dapat menjadi indikator awal adanya pelanggaran terhadap Prinsip 1 KEPPH berperilaku adil, yang mengatur kewajiban hakim untuk berlaku adil tanpa diskriminasi.
Integrasi AI dalam peradilan harus disertai dengan pengaturan yang jelas untuk memitigasi risiko dan memaksimalkan manfaatnya. Regulasi yang mengatur penggunaan AI harus selaras dengan prinsip-prinsip KEPPH, memastikan bahwa teknologi ini digunakan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti hakim. Selain itu, pelatihan kepada hakim mengenai penggunaan AI dan pemahaman terhadap batasan teknologi ini menjadi krusial untuk menjaga independensi dan akuntabilitas dalam pengambilan putusan. Dengan pendekatan yang tepat, AI dapat menjadi sarana yang efektif untuk memperkuat pelaksanaan kode etik hakim, meningkatkan efisiensi, dan memperkukuh kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Pengaruh Kecerdasan Buatan Terhadap Transparansi Dan Akuntabilitas Peradilan
Penerapan AI dalam sistem peradilan memiliki potensi besar untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan perkara hukum. Dengan kemampuan untuk memproses dan menganalisis data hukum secara cepat dan akurat, AI dapat membantu mengidentifikasi pola-pola dalam putusan pengadilan serta mendukung pengambilan putusan yang lebih konsisten. Konsistensi ini penting untuk memenuhi prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam KEPPH, khususnya Prinsip 1 yang mewajibkan hakim untuk memberikan putusan yang adil dan tidak diskriminatif. Dengan putusan yang adil dan sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem, kepercayaan publik terhadap transparansi peradilan dapat meningkat secara baik [8].
Selain itu, kemampuan AI untuk menganalisis data secara mendalam memungkinkan pengawasan yang lebih baik terhadap potensi korupsi atau manipulasi dalam proses pengambilan putusan hukum. Melalui pemantauan terhadap pola-pola perilaku hakim, AI dapat mengidentifikasi anomali atau kecenderungan yang mencurigakan. Hal ini sejalan dengan Prinsip 2 KEPPH yaitu Berperilaku Jujur, yang mengatur bahwa hakim harus bertindak dengan jujur dan menjauhkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang [9]. Dengan demikian, AI dapat berfungsi sebagai alat bantu yang efektif dalam meningkatkan akuntabilitas hakim sekaligus menjaga integritas lembaga peradilan.
Namun, agar hal tersebut dapat terwujud, implementasi AI dalam peradilan harus disertai dengan pengawasan ketat dan regulasi yang memadai [10]. Tanpa pengawasan, terdapat risiko bahwa AI dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Misalnya, jika data yang digunakan untuk melatih algoritma AI mengandung bias atau dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, putusan yang dihasilkan AI bisa melanggar prinsip bersikap profesional sebagaimana diatur dalam Prinsip 10 KEPPH [8]. Oleh karena itu, penerapan AI dalam peradilan harus dilakukan dengan tetap mematuhi KEPPH yang telah ditetapkan.
Namun, penggunaan AI juga menimbulkan tantangan terkait akuntabilitas ke depannya apabila putusan yang dihasilkan dengan bantuan AI, sehingga penting untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas putusan tersebut. Dalam konteks ini, Prinsip 4 KEPPH yang menekankan prinsip independensi hakim tetap relevan. Hakim harus tetap menjadi otoritas tertinggi dalam memutuskan perkara dan bertanggung jawab sepenuhnya atas putusannya, meskipun teknologi AI digunakan sebagai alat bantu [8].
Penting bagi sistem peradilan untuk menjaga keseimbangan antara penerapan teknologi AI yang seharusnya tidak menggantikan peran hakim sebagai pengambil putusan, tetapi berfungsi sebagai alat yang mendukung integritas dan efisiensi. Dengan regulasi yang ketat, pengawasan yang berbasis KEPPH, AI dapat memberikan manfaat maksimal bagi sistem peradilan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar sebagaimana yang diamanatkan dalam KEPPH.
Penutup
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam peradilan menawarkan peluang besar untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi, namun juga membawa risiko yang memengaruhi integritas, independensi, dan objektivitas hakim sebagaimana diatur dalam KEPPH. Agar manfaat AI dapat dimaksimalkan tanpa mengorbankan prinsip keadilan, diperlukan regulasi yang jelas, pengawasan ketat, dan pelatihan bagi hakim untuk memahami batasan serta potensi teknologi ini. AI harus tetap menjadi alat bantu yang mendukung penegakan hukum dan kode etik, dengan hakim sebagai otoritas utama dalam pengambilan putusan, sehingga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat terus dipertahankan.
Referensi
[1] I. Putra, “PENGUATAN INTEGRITAS PERADILAN MELALUI PENERAPAN SISTEM KAMAR DI PERADILAN UMUM,” vol. 1, no. 2, pp. 244–268, 2023, doi: https://judexlaguens.ikahi.or.id/index.php/JL/article/view/21/9.
[2] G. Said, “Adapting Legal Systems to the Development of Artificial Intelligence: Solving the Global Problem of AI in Judicial Processes,” Irshad, vol. 1, no. 4, pp. 1–17, 2023, doi: https://doi.org/10.59022/ijcl.49.
[3] Canadian Judicial Councel, “ETHICAL PRINCIPLES FOR JUDGES,” pp. 1–44, 2023.
[4] K. Javed and J. Li, “Artificial intelligence in judicial adjudication: Semantic biasness classification and identification in legal judgement (SBCILJ),” Heliyon, vol. 10, no. 9, p. e30184, May 2024, doi: 10.1016/j.heliyon.2024.e30184.
[5] J. Hill, “The Future of Technology,” Law Matics, California, United States of America, pp. 1–5, Dec. 2023.
[6] V. Taniady and S. T. Siahaan, “Artificial Intelligence and the Constitutional Court: A Newpath of Making Independent Decisions?,” JKPH, vol. 3, no. 2, p. 157, Sep. 2023, doi: 10.19184/jkph.v3i2.41726.
[7] C. Engel, L. Linhardt, and M. Schubert, “Code is law: how COMPAS affects the way the judiciary handles the risk of recidivism,” Artif Intell Law, Feb. 2024, doi: 10.1007/s10506-024-09389-8.
[8] PUTUSAN BERSAMA, KETUA MAHKAMAH AGUNG RI DAN, and KETUA KOMISI YUDISIAL RI, KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM. 2009.
[9] H. Hendrawati, “ASPEK PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM DALAM MEWUJUDKAN KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG BERMARTABAT DAN BERINTEGRITAS,” vol. 12, no. 1, 2016.
[10] O. Balynska, O. Barabash, D. Zabzaliuk, R. Shehavtsov, and N. Stetsyuk, “Introduction of Artificial Intelligence in the Justice System: International experience,” Rev. Dir. Est. e Telecomunicacoes, vol. 15, no. 1, pp. 58–69, Apr. 2023, doi: 10.26512/lstr.v15i1.43439.