
Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan informasi pada era modern telah mendorong munculnya berbagai inovasi investasi sebagai bentuk penanaman modal untuk memperoleh keuntungan di masa depan. Berbeda dari tabungan yang bersifat konservatif, investasi memiliki orientasi jangka panjang dengan risiko dan potensi imbal hasil yang lebih tinggi, sebagaimana terdapat pada saham, obligasi, reksa dana, emas, dan properti.
Seiring kemajuan teknologi digital, muncul bentuk investasi baru berupa cryptocurrency atau mata uang virtual. Berdasarkan berbagai literatur hukum ekonomi digital, cryptocurrency adalah mata uang digital berbasis kriptografi yang beroperasi secara desentralisasi melalui teknologi blockchain, tanpa otoritas pusat. Dalam hukum Indonesia, aset kripto dikategorikan sebagai komoditas digital tidak berwujud yang menggunakan teknologi kriptografi dan jaringan peer-to-peer sebagai media pencatatan serta sarana transaksi. Secara sederhana, cryptocurrency merupakan alat tukar digital tidak berwujud yang beroperasi secara mandiri tanpa pengawasan bank sentral maupun lembaga keuangan resmi.
Transformasi digital telah mengubah transaksi keuangan dari uang fisik menjadi mata uang kripto berbasis teknologi kriptografi. Bitcoin menjadi pelopor yang menarik perhatian global, termasuk di Indonesia. Meski penggunaannya bersifat bebas dan menjadi tanggung jawab individu, aset kripto tetap diawasi otoritas keuangan. Berdasarkan Surat Menko Perekonomian No. S-302/M.EKON/09/2018, aset kripto dilarang sebagai alat pembayaran tetapi diperbolehkan sebagai instrumen investasi dan komoditas berjangka.
Dalam perkembangannya, aset digital berbasis kripto sering dinilai lemah secara yuridis, terutama terkait kepastian hukum eksekusi putusan perdata saat terjadi sengketa kepemilikan. Hal ini disebabkan belum adanya mekanisme hukum dan otoritas yang berwenang menyita atau memindahkan aset kripto tanpa akses ke private key, serta sifatnya yang tidak berwujud dan tanpa domisili hukum pasti, sehingga menyulitkan pelaksanaan eksekusi.
Kedudukan Aset Digital Kripto Menurut KUHPerdata
Dalam perspektif hukum perdata Indonesia, khususnya KUHPerdata, aset kripto belum diatur secara eksplisit sebagai benda atau kekayaan. Namun, melalui penerapan asas-asas umum hukum benda, kedudukannya dapat dianalisis berdasarkan Pasal 499 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa benda mencakup segala sesuatu yang dapat dikuasai dan memiliki nilai ekonomi. Dalam konteks ini, aset kripto memenuhi kriteria tersebut karena dapat dimiliki, dialihkan, diperdagangkan, dan memiliki nilai tukar yang diakui secara luas.
Lebih lanjut, KUHPerdata membedakan benda menjadi dua macam, yaitu benda berwujud (materieel) dan benda tidak berwujud (immaterieel). Aset kripto secara fisik tidak dapat disentuh atau dilihat, melainkan hanya ada dalam bentuk data digital yang tersimpan dalam sistem blockhain. Oleh karena itu, aset kripto dapat dikualifikasikan sebagai benda tidak berwujud (immaterieel).
Secara normatif, KUHPerdata belum mengenal konsep benda digital karena masih berlandaskan pada paradigma hukum Eropa abad ke-19 yang menitikberatkan pada benda berwujud dan hak kebendaan konvensional. Oleh sebab itu, pengakuan terhadap aset kripto bersifat hasil penafsiran progresif melalui asas analogi hukum dan kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). Dengan demikian, aset kripto dapat dipandang sebagai benda tidak berwujud bernilai ekonomi yang dapat menjadi objek hak milik maupun perikatan perdata.
Pengaturan Aset Kripto di luar KUHPerdata
Meskipun KUHPerdata belum mengatur secara eksplisit mengenai aset kripto, keberadaannya telah diakui melalui peraturan sektoral, di mana aset kripto diklasifikasikan sebagai komoditi digital yang dapat diperdagangkan di bawah pengawasan Bappebti, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019, No. 8 Tahun 2021, dan No. 13 Tahun 2022. Secara konseptual, aset kripto memiliki nilai ekonomi dan dapat dialihkan secara digital, sehingga berpotensi menjadi objek jaminan, meskipun belum diakui secara formal dalam sistem hukum jaminan nasional dan masih terbatas pada perjanjian keperdataan tanpa kekuatan eksekutorial sebagaimana fidusia atau hipotek.
Bank Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2011 dan PBI No. 18/40/PBI/2016 menegaskan bahwa aset kripto bukan alat pembayaran yang sah, melainkan instrumen investasi dan komoditas digital. Pasca UU No. 4 Tahun 2023 (UU P2SK), pengawasannya berpotensi beralih dari Bappebti ke OJK. Dengan demikian, aset kripto diakui secara hukum sebagai komoditas digital yang dapat diperdagangkan, namun tidak memiliki fungsi moneter.
Tantangan Yuridis dalam Pelaksanaan Eksekusi Aset Kripto di Indonesia
Perkembangan teknologi digital menghadirkan bentuk kekayaan baru berupa aset kripto, yang secara ekonomi memiliki nilai dan dapat diperjualbelikan. Namun, dalam praktik hukum perdata, pelaksanaan eksekusi terhadap aset kripto masih menghadapi berbagai tantangan konseptual, normatif, dan teknis.
Ketiadaan Pengaturan Normatif dalam Hukum Positif: Hingga kini, KUHPerdata maupun peraturan hukum jaminan belum secara tegas mengatur mekanisme penyitaan dan eksekusi aset digital, termasuk kripto. Kekosongan norma ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan putusan perdata yang telah inkracht, karena pengadilan dan jurusita belum memiliki kewenangan eksplisit untuk menyita atau memindahkan kepemilikan aset kripto pihak yang kalah perkara.
Karakteristik Aset Kripto yang Tidak Berwujud: Berbeda dari benda berwujud seperti tanah atau kendaraan, aset kripto bersifat tidak berwujud (intangible) dan hanya ada dalam sistem digital berbasis blockchain, sehingga menyulitkan identifikasi, pelacakan, dan penyitaan karena tidak memiliki bentuk fisik maupun domisili hukum yang pasti. Selain itu, akses terhadap aset kripto sepenuhnya bergantung pada private key yang hanya diketahui pemiliknya; tanpa kunci tersebut, otoritas atau pengadilan tidak memiliki kemampuan untuk mengakses atau memindahkan aset dimaksud.
Ketiadaan Lembaga Eksekutor yang Berwenang: Dalam sistem hukum Indonesia, eksekusi putusan perdata merupakan kewenangan pengadilan negeri atau lembaga yang secara tegas ditunjuk oleh undang-undang. Namun, hingga kini belum terdapat otoritas yang memiliki kewenangan khusus untuk mengeksekusi aset kripto, seperti melakukan penyitaan wallet digital atau memindahkan aset tersebut ke rekening penampungan negara. Adapun Bappebti hanya berperan dalam pengawasan perdagangan aset kripto, bukan dalam pelaksanaan eksekusi hukum perdata.
Kesulitan Pembuktian dan Verifikasi Kepemilikan: Sifat anonim dan terdesentralisasi dari aset kripto menjadikan aparat penegak hukum kesulitan untuk membuktikan kepemilikan yang sah tanpa adanya kerja sama dari pemiliknya. Dalam sistem blockchain, identitas pengguna hanya ditampilkan melalui alamat publik (public address) yang tidak terhubung langsung dengan identitas pribadi, sehingga pembuktian hukum terhadap pihak yang berhak atas aset yang disengketakan menjadi kompleks dan tidak sederhana.
Ketiadaan Mekanisme Eksekusi Standar: Hingga kini, belum terdapat standar prosedur eksekusi terhadap aset digital dalam praktik peradilan Indonesia. Jika pada aset konvensional pengadilan dapat melakukan penjualan melalui lelang negara, maka pada aset kripto belum tersedia mekanisme hukum dan teknis yang jelas terkait lelang, penilaian nilai (valuasi), maupun proses transfer yang sah secara hukum.
Aspek Yurisdiksi dan Internasionalisasi Transaksi: Aset kripto memiliki karakter lintas negara karena tersimpan dalam jaringan global, sehingga menimbulkan tantangan yurisdiksi hukum. Aset yang disengketakan dapat berada pada platform atau exchange di luar negeri, yang membuat putusan pengadilan Indonesia sulit dieksekusi tanpa adanya mekanisme kerja sama internasional atau pengaturan lintas yurisdiksi yang memadai.
Solusi
Untuk mengatasi hambatan normatif dan teknis dalam eksekusi aset kripto, diperlukan langkah konkret mencakup aspek regulatif, kelembagaan, dan teknis.
Pertama, dibutuhkan dasar hukum yang secara tegas mengakui aset kripto sebagai objek eksekusi perdata, baik melalui revisi KUHPerdata, regulasi khusus, maupun Peraturan Mahkamah Agung. Kedua, perlu dibentuk lembaga berwenang di bawah Mahkamah Agung yang memiliki kapasitas teknis dalam eksekusi aset digital. Ketiga, pengadilan perlu memiliki mekanisme penyitaan dan lelang aset kripto, termasuk pembentukan wallet negara dan sistem penilaian nilai aset. Keempat, penerapan kewajiban Know Your Customer (KYC) oleh penyedia exchange perlu diperkuat untuk mendukung pembuktian kepemilikan. Kelima, perlu dibentuk kerja sama internasional melalui Mutual Legal Assistance (MLA) perlu dikembangkan agar eksekusi aset kripto lintas negara dapat dilaksanakan secara efektif.
Penutup
Aset kripto sebagai hasil perkembangan teknologi digital menghadirkan paradigma baru dalam hukum perdata Indonesia, namun masih terkendala aspek normatif dan kelembagaan akibat ketiadaan dasar hukum yang jelas serta sifatnya yang tidak berwujud dan terdesentralisasi. Untuk mewujudkan kepastian hukum dan efektivitas eksekusi perdata, diperlukan pembaruan hukum yang mengakui aset digital sebagai objek hukum beserta mekanisme penyitaan dan pengawasannya. Dengan demikian, sistem hukum Indonesia dapat beradaptasi secara responsif terhadap dinamika ekonomi digital global tanpa mengabaikan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Referensi
[1] M. Y. M. Alexander Sugiarto., Blockhain 7 Cryptocurrency Dalam Perspektif Hukum di Indonesia dan Dunia, Jakarta: Perkumpulan Kajian Hukum Terdesentralisasi, Indonesian Legal Study for Crypto Asset and Blockhain, 2020.
[2] R. Siregar, Kedudukan Cryptocurrency sebagai Objek Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Rechts Vinding, 9(3), 2020, pp. 9(3), .
[3] B. R. W. M. S. &. J. D. B. Nyimasmukti, "An Essential Elements in Virtual Land Buying Transactions as Digital Asets in Metaverse Based On Indonesian Positive Law," Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal, Vol. 3, No. 1, 2023.
[4] L. A. &. T. D. D. Y. Putri, Kepastian Hukum Jaminan Fidusia atas Cryptocurrency Sebagai Aset Digital Tidak Berwujud dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Media Hukum Indonesia, 2(4), 437-444, https://doi.org/10.5281/zenodo.14208715, 2024.
[5] A. N. Dirk Zetzsche, "Crypto Custody: An Empirical Assessment," Journal of Financial Regulation, vol. Vol. 11, no. 1, https://doi.org/10.1093/jfr/fjaf004, pp. 73-97, 2025.
[6] B. D. H. &. M. H. Sebyar, "Implikasi Hukum Perpindahan Pengawasan Aset Kripto dari Bappebti ke OJK terhadap Pelaku Industri dan Investor," Hakim : Jurnal Ilmu Hukum dan Sosial, Vol. 2 No. 4, no. https://doi.org/10.51903/hakim.v2i4.2206, 2024.
[7] Y. Siregar, "Legal Review of the Application of Conventional Inheritance Law Provisions to Cryptocurrency Assets," Fox Justi : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15 No. 02, no. https://ejournal.seaninstitute.or.id/index.php/Justi/article/view/6755, 2025.
[8] S. M. H. H. T. L. Sri Mulyani, "Legal Construction of Crypto Assets as Objects of Fiduciary Collateral," Law Reform, Vol. 19 No. 1, no. https://doi.org/10.14710/lr.v19i1.52697, pp. pp. 25-39, 2023.
[9] M. A. M. &. A. I. Elvany, "Confiscation of Assets Laundered through Cryptocurrency Transactions in Indonesia: A Regulatory Framework," Contemporary Issues in Criminal Law, Vol. 1, no. https://doi.org/10.20885/CICL.vol1.iss1.art3, pp. 37-62, 2024.