
Pendahuluan
Interaksi sosial selalu memunculkan konflik kepentingan privat antar subjek hukum, baik individu dengan individu, individu dengan entitas korporasi, maupun antar korporasi. Namun, upaya penyelesaian sengketa dan penegakan hukum perdata yang dilakukan saat ini seringkali berlarut-larut dan tidak efisien. Hal ini disebabkan oleh rumit dan panjangnya proses litigasi di pengadilan, sehingga prinsip keadilan yang seharusnya cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sulit untuk dicapai. [1, p. 38]
Dalam perkara perdata, tujuan utama para pihak adalah mendapatkan penyelesaian tuntas melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan memastikan putusan tersebut dilaksanakan. Jika diperlukan, pelaksanaan ini dapat dilakukan secara paksa (eksekusi) dengan bantuan aparat negara, demi mencapai kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan [2, p. 53]. Para pencari keadilan berharap perkara mereka diselesaikan tuntas di pengadilan. Jika penyelesaian secara damai tidak berhasil, langkah terakhir adalah mengajukan permohonan eksekusi putusan pengadilan, termasuk untuk putusan gugatan sederhana [3, p. 1]
Saat ini, proses eksekusi masih dianggap lambat. Pengadilan sering menggunakan prosedur eksekusi umum berdasarkan HIR/RBg, yang memakan waktu, birokratis, dan bertentangan dengan prinsip gugatan sederhana yang seharusnya cepat dan simpel. Selain masalah regulasi yang sudah ketinggalan zaman, sering muncul hambatan non-teknis, seperti tingginya biaya penaksiran objek oleh appraisal, ketidak jelasan prosedur permohonan pengamanan dari aparat saat lelang, dan kendala dari instansi terkait lainnya. Eksekusi putusan gugatan sederhana menghadapi masalah yang sama dengan eksekusi putusan perdata biasa. Padahal, sifat pemeriksaan gugatan sederhana berbeda (lebih cepat dan sederhana). Oleh karena itu, masuk akal jika pelaksanaan eksekusi untuk gugatan sederhana memerlukan solusi khusus, baik dari segi hukum acara maupun waktu penyelesaiannya.
Konsep Pelaksanaan Eksekusi Gugatan Sederhana
Prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan menjadi dasar peningkatan pelayanan hukum di pengadilan. Prinsip ini diwujudkan melalui gugatan sederhana dengan acara cepat, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Konsep ini telah sukses diimplementasikan secara global, dikenal sebagai Small Claims Court (SCC), baik di negara civil law (seperti Belanda dan Jepang) maupun common law (seperti Small Claims Tribunal di Singapura). SCC bertujuan menyediakan solusi cepat dan ekonomis untuk menyelesaikan sengketa dengan nilai kerugian kecil. [4, p. 57]
Akses terhadap keadilan (access to justice) sangat krusial bagi kelompok ekonomi lemah (individu/usaha kecil) yang memiliki keterbatasan struktural dalam mengakses pengadilan. Konsep ini bahkan dianggap sebagai hak asasi paling mendasar dalam sistem hukum modern. Karenanya, hukum acara yang rumit dan mahal akan secara sistemik mendiskriminasi kelompok marginal. Asas ini mencerminkan semangat legal empowerment, yakni upaya untuk memperkuat warga negara agar dapat menyelesaikan masalah hukum dengan mudah, murah, dan tanpa terhambat birokrasi.
Implementasi konsep Asas Cepat, Sederhana, Biaya Ringan dalam eksekusi Gugatan Sederhana
Meskipun putusan berasal dari gugatan sederhana, proses eksekusi di pengadilan negeri masih mengikuti prosedur eksekusi biasa sesuai Pasal 195–208 HIR. Acuannya juga merujuk pada SK Dirjen Badilum Nomor 40/DJU/SK/HM.02.3/1/2019 tentang Pedoman Eksekusi dan Pasal 31 ayat 3 PERMA Gugatan Sederhana, yang intinya menyatakan eksekusi dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata, kecuali untuk proses peringatan (aanmaning) yang sedikit berbeda (mengacu pada Pasal 31 ayat (2a) sampai (2c) Perma No. 4 Tahun 2019).
Dalam praktik eksekusi gugatan sederhana di pengadilan , tidak ada penyederhanaan dalam prosedur pendaftaran, penetapan penyitaan, hingga pengajuan lelang ke KPKNL. Satu-satunya perbedaan dengan eksekusi biasa adalah jadwal aanmaning: peringatan ditetapkan 7 hari setelah pendaftaran dan dilaksanakan 7 hari setelah penetapan.
Dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang, sita eksekusi dilanjutkan dengan penjualan lelang di muka umum. Tahapan ini vital karena pemenuhan amar putusan, yang mewajibkan pihak tereksekusi membayar kepada pemohon, hanya dapat tercapai jika objek sita berhasil dijual. Oleh karena itu, proses lelang harus dilakukan dengan adil untuk memberikan kepastian hukum bagi penjual, pembeli, dan pihak yang kalah dalam putusan [5]
Panjar biaya permohonan eksekusi gugatan sederhana bervariasi antar pengadilan, berkisar antara Rp5 juta hingga Rp15 juta (disesuaikan dengan panjar eksekusi pembayaran uang pada gugatan perdata biasa yang berujung lelang), dan jumlah ini belum termasuk biaya appraisal dan pengumuman lelang [3, p. 31] Prosedur lelang dimulai dengan permohonan kepada lembaga yang berwenang, yaitu KPKNL, Balai Lelang, atau Kantor Pejabat Lelang Kelas II (sesuai Pasal 27 PMK No. 122 Tahun 2023), untuk melelang objek jaminan.
Secara teknis, setiap pelaksanaan lelang (kecuali lelang sukarela) wajib memiliki nilai limit. Penetapan nilai limit ini adalah wewenang dan tanggung jawab penjual, dan harus dicantumkan dalam pengumuman lelang (Pasal 5 PMK No. 122/2023).
Meskipun penjual yang menetapkan, nilai limit tidak boleh sembarangan. Menurut Pasal 55 PMK No. 122/2023, penetapan harus didasarkan pada salah satu dari tiga hal yakni laporan hasil penilaian oleh Penilai, laporan hasil penaksiran oleh Penaksir, atau harga perkiraan sendiri.
Pihak yang berwenang menetapkan nilai limit adalah Penilai (Penilai Pemerintah di DJKN atau Penilai Publik) dan Penaksir (pihak internal penjual atau pihak yang ditunjuk penjual yang dapat dipertanggungjawabkan).
Adapun batasan kewenangan Penilai dan Penaksir diatur lebih lanjut yakni laporan hasil penilaian (Penilai) wajib digunakan untuk lelang eksekusi objek hak tanggungan, fidusia, barang gadai, dan harta pailit, asalkan nilai limitnya paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Pasal 57). Penilaian nilai suatu barang yang wajib dilakukan oleh penilai publik atau appraisal hanya nilai barang yang mempunyai nilai limit paling sedikit adalah Rp 10.000.000.000,- ( sepuluh milyar ) atau dapat diartikan yang nilai kurang dari itu maka penilaian dapat dilakukan oleh seorang penaksir.
Alasan kenapa diperlukan penaksir internal adalah terkait dengan biaya tarif penaksiran yang dilakukan oleh seorang ( appraisal), yang rata-rata mencapai Rp5 juta hingga Rp15 juta per objek, [3, p. 31]. Alasan lainnya yakni walapum penilaian dilakukan oleh lembaga penilai Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) menghasilkan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan karena menggunakan metode yang baku akan tetapi lembaga tersebut tidak selalu tersedia di setiap daerah sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri jika membutuhkan lembaga penilaian publik.
Ditambah lagi terkait dengan alasan jangka waktu, maka . batas masa berlaku hasil penaksiran hanya 6 bulan sehimgga akan menambah biaya jika proses lelang tidak selesai dilaksanakan dalam jangka waktu tersebut.
Dalam rangka penyederhanaan proses eksekusi lelang pembayaran sejumlah uang sebagai obyek sengketa dalam gugatan sedrehana maka tidak salah apabila pihak pengadilan dapat juga melakukan penaksiran sendiri terkait dengan nilai obyek barang untuk menentukan harga limit suatu barang sebelum dilakukan pelelangan . Tentunya Penaksir Pengadilan yang ditunjuk haruslah oleh orang yang tepat dan telah mempunyai dasar dasar terkait dengan penilaian suatu barang atau dapat dikatakan telah mempunyai sertifikasi terkait penaksiran harga limit suatu barang.
Siapa Penaksir Internal Pengadilan yang paling sesuai dan tepat untuk melakukan penaksiran nilai limit barang ?
Undang-undang memisahkan tugas antara Ketua Pengadilan dengan Panitera atau Juru Sita dalam pelaksanaan eksekusi. Ketua Pengadilan berfungsi sebagai pejabat yang memberi perintah dan memimpin tindakan eksekusi, sementara Panitera atau Juru Sita bertanggung jawab sebagai pelaksana atau yang menjalankan eksekusi di Pengadilan [6, p. 21] Untuk menjaga proses lelang eksekusi khusunya terkait dengan penilaian nilai limit barang secara Profesional maka untuk menjaga imparsialitas dan netralitas , sebaiknya penaksir internal tidak berkaitan secara langsung dengan tugas dari pelaksanaan eksekusi itu sendiri dalam hal ini adalah panitera maupun jurusita.
Bidang kesekretariatan pengadilan tentunya punya pengetahuan terkait dengan harga suatu barang karena sesuai dengan tupoksinya mereka yang sering berhubungan dengan pengadaan maupun pelelangan barang dan jasa dikantor pengadilan dan tidak berkaitan secara langsung dalam tupoksi sebagai pelaksana eksekusi , Dalam Naskah Urgensi Raperma tentag Eksekusi Gugatan Sederhana diusulkan bahwa penaksir pengadilan adalah petugas pengadilan yang telah bersertifikat atau telah mengikuti pelatihn penaksiran dan jika belum ada bisa dilaksanakan oleh Sekretaris Pengadilan [3, p. 115]
Penutup
Pelaksanaan eksekusi untuk gugatan sederhana saat ini masih menggunakan prosedur eksekusi perdata biasa, yang bertentangan dengan prinsip dasar gugatan sederhana yang menekankan kecepatan, kesederhanaan, dan biaya ringan. Akibatnya, proses eksekusi menjadi lambat, memakan banyak waktu dan biaya, serta menciptakan ketidakpastian hukum bagi pihak yang memenangkan perkara. Selain masalah ketiadaan regulasi khusus, eksekusi gugatan sederhana juga terhambat oleh kendala teknis dan koordinatif, seperti tingginya biaya penaksiran (appraisal) dan kurangnya koordinasi yang efektif dengan instansi terkait dalam tahapan penyitaan dan lelang.
Dalam rangka menyelesaikan kendala dalam pelaksanaan eksekusi gugatan sederhana khususnya eksekusi lelang terhadap barang maka peran penaksir internal pengadilan yang bersertifikat tentunya dapat menjadi solusi terbaik guna mengurangi tingginya biaya appraisal yang kemungkinan tidak sepadan dengan nilai obyek gugatan sederhana itu sendiri.
Referensi
[1] Agus Hartawan Firmasnyah. Nurjanah Septyanun. Yulias Erwin, "Mekanisme Pelaksanaan Putusan Hakim Dalam Gugatan Sederhana (Small Claim Court)," Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol 12 No. 01, vol. 1, pp. 2660-6625, 2024.
[2] Sholihin Halafah,Imran Hami, Hamza Baharuddin,Ilham Abbas, "Efektivitas Eksekusi Putusan Perkara Perdata Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap di Pengadilan Negeri Sunggumina," Journal of Lex Generalis, vol. 1, pp. 148-168, 2020.
[3] Slamet Turhamun, Nurul Huda . Ernida Basri, Djoni Witanto , Ari Gunawan , Fikrie Habibie, Naskah Urgensi Raperma tentang Eksekusi Gugatan Sederhana, Jakarta: Litera, 2025.
[4] Anita Afriana, An An Chandrawulan, "Menakar Penyelesaian Gugatan Sederhani Di Indonesia," Jurnal Bina Mulia Hukum, vol. 4, p. 54071, 2019.
[5] D. L. Sonata, "Permasalahan Pelaksanaan Lelang Eksekusi Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata dalam Praktik," Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, vol. 6, 2012.
[6] Y. Harahap, Ruang Lingkup Permaalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2019.