
Latar Belakang
Indonesia telah mengakui kripto sebagai aset keuangan digital melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Digital (Peraturan OJK Nomor 27 Tahun 2024). Sebelum peraturan tersebut diterbitkan, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah terlebih dahulu mengatur mengenai kripto dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka (Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021), yang menyebutkan bahwa aset kripto merupakan komoditas digital yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Pengaturan aset kripto di Indonesia mengalami pergeseran paradigma tidak hanya sebagai komoditas di bursa berjangka melainkan sebagai aset keuangan digital yang menjadi bagian dari sektor jasa keuangan.
Aset kripto memiliki karateristik yang berbeda, yang berpengaruh pada mekanisme eksekusinya. Prinsip dasar eksekusi menuntut objek dapat dikuasi dan dialihkan secara paksa, namun kripto bergantung pada privat key, aset tidak terhubung langsung dengan pemilik (anonimitas), dan tidak berpusat pada otoritas tertentu, membuat negara tidak memiliki titik akses untuk menyita atau melelangnya demi pelunasan utang.
Aset Kripto bernilai ekonomi namun tidak ada kerangkan mengenai kedudukan sebagai jaminan dan mekanisme eksekusinya. Penelitian ini bertujuan menjawab tiga permasalahan pokok: pertama, bagaimana kedudukan hukum aset kripto di indonesia? kedua, apakah aset kripto bisa dijadikan objek jaminan di indonesia? ketiga, bagaimana model pelaksanaan eksekusi aset digital seperti kripto?
Kedudukan Hukum Aset Kripto di Indonesia
Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 mengakui aset kripto sebagai komoditas digital yang dapat diperdagangkan di pasar fisik melalui bursa berjangka.[1] Fokus pengaturan Bappebti tersebut hanya sebatas mengenai bursa berjangka, pedagang fisik aset kripto, mekanisme perdagangan fisik aset kripto, dan persyaratan pedagang fisik. Kripto dianggap sebagai komoditas digital, yang berarti bahwa kedudukannya hanya sebagai objek perdagangan dalam bursa berjangka, bukan sebagai alat pembayaran maupun instrumen keuangan.
Penguatan pengaturan mengenai transaksi keuangan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2024 mengubah beberapa hal penting. Perubahan tersebut mencakup kedudukan hukum kripto yang kini diakui sebagai aset keuangan digital dengan potensi menjadi instrumen investasi dan keuangan. Selain itu, regulator yang sebelumnya berada di bawah Bappeti kini beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan. Fokus pengawasan yang dahulu menitikberatkan pada transaksi fisik di pasar berjangka meliputi transparansi dan keamanan bursa, sekarang bergeser pada aktivitas keuangan digital.
Aset Kripto sebagai Objek Jaminan di Indonesia
Jaminan merupakan perjanjian yang bersifat accsesoir yang mengikuti perjanjian pokoknya. Keadaan yang memungkinkan aset kripto dijadikan jaminan antara lain terdapat dalam pinjaman (loan), pembiayaan perusahaan (corporate financing), dan investasi. Monetary Authority of Singapore mengeluarkan beberapa ketentuan mengenai aset kripto sebagai alat investasi melalui Payment Services Act 2019 dan Securities and Futures Act (SFA).[2] Indonesia belum memiliki peraturan spesifik mengenai penggunaan aset kripto sebagai jaminan.
Aset kripto memliki karakteristik benda sebagaimana dalam Pasal 499 KUHPerdata, yaitu dapat dimiliki. Aset kripto juga dapat dipindahkan secara bebas, sehingga termasuk dalam kategori benda bergerak sebagaimana Pasal 509 KUHPerdata. Adapun penyimpanannya dilakukan melalui media digital seperti dompet elektronik (digital wallet), oleh karena itu diklasifikasikan menjadi benda yang tidak berwujud sebagaimana Pasal 503 KUHPerdata, sehingga aset kripto merupakan benda bergerak tidak berwujud.[3] Untuk dapat dijadikan objek jaminan suatu barang harus memenuhi syarat, yaitu, dapat dinilai dengan uang, dapat dipindahtangankan, mempunyai bukti kepemilikan yang sah, tidak sedang disengketakan, dan dapat ditentukan secara jelas. Meskipun aset kripto sudah memenuhi sebagian syarat tersebut, yaitu sudah diakui sebagai aset yang dapat dinilai dengan uang, dan dapat dipindahtangankan, tetapi aset kripto belum ditempatkan sebagai objek hukum jaminan.
Dengan demikian, aset kripto dapat dijadikan sebagai objek jaminan apabila secara yuridis dan operasional memenuhi kriteria yakni terdapat bukti kepemilikan yang sah, dan tidak sedang disengketakan. Pasal 8 ayat (1) huruf d Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2024 mensyaratkan aset kripto harus dapat ditelusuri data kepemilikannya, namun ketentuan ini membutuhkan pengaturan teknis lebih lanjut. Bukti kepemilikan tersebut merupakan langkah awal untuk mengetahui apabila aset kripto sedang dalam sengketa.
Penyitaan aset kripto apabila dijadikan sebagai objek jaminan dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa lembaga yang saling terintegrasi untuk melakukan pembekuan dalam hal tidak terpenuhinya perjanjian pokok, sehingga dapat dilakukan eksekusi atas jaminan yang disita.
Tantangan Masa Depan Eksekusi Aset Kripto
Eksekusi aset kripto memiliki hambatan yang disebabkan dari sifat teknologi blockchain. Tantangan dalam eksekusi aset kripto dapat meliputi beberapa aspek diantaranya, Pertama bukti kepemilikan aset kripto (anonimitas). Kedua Desentralisasi dimana tidak adanya entitas tunggal yang dapat diperintahkan untuk membekukan, menahan, mengalihkan aset sebagaimana rekening bank, Ketiga akses tanpa intermediary yang disimpan dalam non-custodial wallet hanya dapat dikendalikan melalui private key tidak dapat direplikasi, diganti, atau dipulihkan secara paksa, setiap eksekusi yang bergantung pada kesediaan debitur menyerahkan kunci tersebut.[4]
Aset kripto yang disita dapat dieksekusi apabila ada regulasi yang jelas mengenai penempatan aset kripto sebagai jaminan dan mekanisme eksekusinya (legal substance), ada lembaga yang terintegrasi untuk melaksanakan pembekuan maupun pengelolaan aset kripto yang dijaminkan (legal structure), dan kesadaran hukum masyarakat mengenai aset kripto yang dijaminkan (legal culture).
Dari aspek legal substance, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2024 memberikan pembaruan pengaturan aset kripto. Dengan demikian, telah terdapat kerangka hukum yang mengatur pengawasan dan perlindungan dalam transaksi digital, termasuk aset kripto. Namun, peraturan tersebut belum secara spesifik mengatur kedudukan aset kripto sebagai jaminan maupun tata cara eksekusinya. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2024 membuka peluang lahirnya ketentuan turunan sebagai peraturan pelaksana yang secara khusus mengatur mengenai penggunaan aset kripto sebagai jaminan, khususnya terkait tata cara eksekusinya.
Dari aspek legal structure, pengaturan mengenai eksekusi aset kripto belum terbentuk karena belum ada lembaga yang secara khusus dapat diperintahkan oleh pengadilan untuk melakukan pembekuan, pengalihan, atau pengelolaan aset kripto yang dijaminkan.
Model Pelaksanaan Eksekusi Aset Kripto
Mengatasi hambatan eksekusi aset kripto harus berfokus pada penguatan kendali melalui lembaga Otoritas Jasa Keuangan, karena pelaksanaan eksekusi perlu diarahkan keluar dari mekanisme internal blockchain. Kreditur perlu mensyaratkan agar aset disimpan pada kustodian aset digital yang berada di bawah pengawasan OJK. Perjanjian juga dapat dioptimalkan dengan memasukan klausula bahwa pemegang privat key tidak hanya debitur tetapi juga kustodian aset digital, sehingga eksekusi dapat dilakukan tanpa bergantung debitur.[5] Selain itu, exchange yang berizin berperan sebagai titik intervensi tambahan karena memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan perintah pembekuan dan membatasi transaksi. Kombinasi antara pengaturan teknis dan mekanisme hukum tersebut dapat memperkecil hambatan anonimitas, desentralisasi, dan privat key, sehingga eksekusi aset kripto dapat dilakukan secara lebih efektif dan terukur.
Tahapan prosedur eksekusi atas aset kripto dapat dilakukan dengan mengajukan surat permohonan penyitaan ke pengadilan dengan melampirkan putusan pengadilan yang berisi amar condemnatoir serta bukti kepemilikan aset digital.[6] Setelah itu dilakukan identifikasi atas aset digital pada kustodian aset digital untuk memastikan jenis, jumlah, dan dompet penyimpanan aset tersebut. Terhadap aset kripto yang telah diidentifikasi, pengadilan kemudian memerintahkan pembekuan agar aset tersebut untuk sementara tidak dapat dialihkan. Seluruh proses identifikasi hingga pembekuan harus dicatat dalam berita acara. Setelah pembekuan dilakukan, pengadilan meminta laporan inventarisasi berupa jenis aset, nilai pasar, dan saldo aktual. Tahap berikutnya adalah penjualan terhadap aset kripto tersebut. Mengingat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menentukan rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah,[7] maka aset kripto wajib dijual terlebih dahulu sebelum hasilnya dikonversi ke dalam rupiah. Dana hasil penjualan kemudian disetorkan ke pengadilan untuk selanjutnya disalurkan kepada kreditur sesuai amar putusan. Seluruh rangkaian proses tersebut diakhiri dengan penyusunan Berita Acara Eksekusi sebagai dasar administrasi penyelesaian perkara.
Penutup
Aset kripto bernilai ekonomi memiliki potensi sebagai objek jaminan yang dapat dieksekusi. Karateristik aset kripto sebagai objek jaminan berbeda dengan objek jaminan konvensional lainnya. Tantangan eksekusi aset kripto meliputi anonimitas, desentralisasi, dan privat key. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan fokus pada wewenang OJK, karena eksekusi harus diarahkan keluar dari kendali blockchain. Eksekusi aset digital perlu melibatkan peran kustodian aset digital. Kombinasi pengaturan teknis dan hukum tersebut dapat mengurangi hambatan pelaksanaan eksekusi aset kripto.
Referensi
[1] C. Andina Putri, Y. Nurhayati, dan I. Riswandie, “Mekanisme Eksekusi Sita Jaminan Aset Kripto di Indonesia,” J. Penegakan Huk. Indones., vol. 3, no. 3, hlm. 336–347, Jan 2023, doi: 10.51749/jphi.v3i3.82.
[2] Y. D. Pratikno, “Studi Komparatif Aset Kripto Menurut Hukum Indonesia Dan Hukum Singapura”.
[3] I. N. C. Y. Simanjuntak dan U. Urbanisasi, “Kedudukan Crypto Assets Sebagai Objek Jaminan Kebendaan Dalam Perspektif Hukum Indonesia,” J. Locus Penelit. Dan Pengabdi., vol. 4, no. 6, hlm. 2606–2614, Jun 2025, doi: 10.58344/locus.v4i6.4349.
[4] R. Risgiantana Ridwan, “Transaksi Mata Uang Virtual (Cryptocurrancy) Sebagai Celah Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang,” Jatiswara, vol. 37, no. 3, Nov 2022, doi: 10.29303/jtsw.v37i3.415.
[5] E. S. Wicaksono, “Kejatuhan FTX dan Pelajaran Penting bagi Solusi Crypto Custody: Analisis Risiko Sistemik dan Perlindungan Aset”.
[6] C. Andina Putri, Y. Nurhayati, dan I. Riswandie, “Mekanisme Eksekusi Sita Jaminan Aset Kripto di Indonesia,” J. Penegakan Huk. Indones., vol. 3, no. 3, hlm. 336–347, Jan 2023, doi: 10.51749/jphi.v3i3.82.
[7] Kadek Dyah Pramitha Widyarani, Ida Ayu Putu Widiati, dan Ni Made Puspasutari Ujianti, “Kajian Yuridis Penggunaan Koin Kripto sebagai Alat Pembayaran di Indonesia,” J. Prefer. Huk., vol. 3, no. 2, hlm. 300–305, Apr 2022, doi: 10.55637/jph.3.2.4934.300-305.