Pelaksanaan Eksekusi Perdata Yang Humanis Sebagai Bentuk Pembaharuan Sistem Hukum Dalam Persfektif Hukum Progresif

11 December 2025 | Nor Alfisyahr
Nor Alfisyahr

format_quote

LATAR BELAKANG

Eksekusi putusan perdata merupakan tahap akhir dari proses peradilan yang bertujuan mewujudkan kepastian hukum bagi pihak yang menang . Dalam sistem hukum Indonesia, eksekusi diatur dalam Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglement Buiten Gewesten (RBg) khususnya Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBg yang mengatur cara menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau disebut eksekusi . Hukum progresif sebagai paradigma hukum yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo menekankan hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya . Pendekatan ini menghendaki hukum yang responsif terhadap perubahan sosial dan mengutamakan keadilan substantif. Dalam konteks eksekusi perdata, perspektif hukum progresif menuntut pelaksanaan yang tidak hanya menekankan aspek legalitas formal, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial .

Praktik eksekusi perdata di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan mendasar. Pelaksanaan eksekusi sering kali dilakukan secara rigid dan formalistik tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi pihak tereksekusi . Fenomena penggusuran paksa, penyitaan harta benda tanpa memperhatikan kebutuhan dasar keluarga, dan pengabaian hak-hak fundamental debitur mencerminkan belum terimplementasinya prinsip humanis dalam eksekusi. Selain itu, minimnya regulasi yang mengatur standar pelaksanaan eksekusi yang manusiawi menyebabkan disparitas praktik di berbagai pengadilan. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya mekanisme mediasi pra-eksekusi dan keterbatasan pemahaman aparat pelaksana eksekusi tentang pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia, yang pada akhirnya menimbulkan resistensi sosial dan delegitimasi sistem peradilan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini merumuskan tiga permasalahan pokok: Pertama, bagaimana konseptualisasi eksekusi perdata yang humanis dalam perspektif hukum progresif? Kedua, apa saja hambatan implementasi eksekusi perdata yang humanis di Indonesia? Ketiga, bagaimana model pembaharuan hukum eksekusi perdata yang dapat mewujudkan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan humanis? Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep eksekusi perdata yang humanis sebagai alternatif pembaharuan hukum, mengidentifikasi faktor-faktor penghambat implementasi, dan merekomendasikan model regulasi yang mengintegrasikan nilai-nilai hukum progresif dalam sistem eksekusi perdata Indonesia untuk mewujudkan peradilan yang lebih adil dan manusiawi.

Konseptualisasi Eksekusi Perdata yang Humanis dalam Perspektif Hukum Progresif

Eksekusi perdata yang humanis dalam perspektif hukum progresif merupakan konsep pelaksanaan putusan pengadilan yang menempatkan manusia sebagai subjek utama, bukan sekadar objek hukum . Konsep ini berlandaskan pada tiga pilar fundamental: pertama, prinsip proporsionalitas yang mengharuskan eksekusi dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara hak kreditor dan perlindungan martabat debitur. Kedua, prinsip subsidiaritas yang menjadikan eksekusi paksa sebagai upaya terakhir setelah seluruh mekanisme alternatif seperti mediasi dan restrukturisasi diupayakan. Ketiga, prinsip non-diskriminasi yang memastikan pelaksanaan eksekusi tidak menimbulkan penderitaan yang berlebihan atau melanggar hak-hak dasar keluarga tereksekusi.

Dalam kerangka hukum progresif, eksekusi humanis juga mengadopsi pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi spesifik pihak yang terlibat . Hal ini berarti aparat pelaksana eksekusi harus memiliki diskresi terbatas untuk menyesuaikan metode eksekusi dengan situasi konkret, seperti memberikan tenggang waktu tambahan bagi debitur yang sedang mengalami kesulitan ekonomi temporer atau menyisakan aset minimal untuk kelangsungan hidup keluarga. Konsep ini juga menekankan transparansi dan partisipasi, di mana pihak tereksekusi diberikan informasi lengkap dan kesempatan untuk didengar sebelum eksekusi dilaksanakan, sehingga tercipta proses yang adil secara prosedural maupun substantif.

Hambatan Implementasi Eksekusi Perdata yang Humanis

Hambatan yuridis utama terletak pada kekosongan norma (rechtsvacuum) dalam regulasi eksekusi perdata yang ada . HIR dan RBg sebagai dasar hukum eksekusi merupakan produk kolonial yang lebih menekankan aspek efektivitas penegakan hukum ketimbang perlindungan hak asasi. Regulasi ini tidak mengatur secara eksplisit standar minimum perlindungan bagi pihak tereksekusi, mekanisme mediasi pra-eksekusi, atau kriteria objektif untuk menentukan metode eksekusi yang proporsional. Kekosongan ini menyebabkan inkonsistensi praktik antarwilayah hukum dan membuka ruang bagi tindakan sewenang-wenang . Selain itu, tidak adanya sanksi tegas bagi pelanggaran prosedur humanis dalam eksekusi menjadikan perlindungan hak debitur hanya sebatas norma moral tanpa daya paksa hukum yang memadai .

Hambatan non-yuridis mencakup faktor kultural dan struktural. Secara kultural, masih mengakar kuat pemahaman positivistik bahwa eksekusi harus dilakukan secara tegas tanpa kompromi sebagai wujud supremasi hukum. Mindset ini menyulitkan adopsi pendekatan humanis yang dianggap "melemahkan" otoritas putusan pengadilan. Secara struktural, koordinasi antarlembaga yang terlibat dalam eksekusi (pengadilan, kepolisian, pemerintah daerah) masih lemah, sehingga sulit mengintegrasikan pertimbangan sosial dalam pelaksanaan. .

Model Pembaharuan Hukum Eksekusi Perdata Untuk Mewujudkan Keseimbangan Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Humanis

Model pembaharuan hukum eksekusi perdata harus dimulai dengan reformasi legislatif komprehensif melalui penyusunan Undang-Undang Eksekusi Perdata yang mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum progresif . UU ini harus mengatur secara tegas: (1) tahapan eksekusi bertingkat yang mewajibkan upaya mediasi dan negosiasi sebelum eksekusi paksa; (2) standar minimum perlindungan yang melarang penyitaan aset esensial seperti tempat tinggal primer di bawah luas tertentu, peralatan kerja, dan kebutuhan dasar keluarga; (3) mekanisme uji proporsionalitas yang mengharuskan hakim pengawas menilai kesesuaian metode eksekusi dengan nilai objek sengketa dan kemampuan debitur; serta (4) sistem pemantauan dan sanksi bagi pelanggaran prosedur humanis.

Secara institusional, diperlukan pembentukan Unit Eksekusi Terintegrasi di setiap pengadilan yang beranggotakan tidak hanya jurusita, tetapi juga pekerja sosial, psikolog, dan mediator. Unit ini bertugas melakukan asesmen sosial pra-eksekusi untuk merumuskan strategi eksekusi yang optimal. Pembaharuan juga harus mencakup penguatan kapasitas melalui pelatihan berkala tentang eksekusi humanis, penyediaan pedoman teknis yang detail, dan pengembangan sistem monitoring berbasis teknologi untuk memastikan akuntabilitas. Pada level kebijakan, perlu dikembangkan skema insentif bagi pengadilan yang berhasil menyelesaikan eksekusi melalui jalur damai serta program bantuan hukum dan pendampingan sosial bagi debitur tereksekusi. Model ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem eksekusi perdata yang tidak hanya efektif secara legal, tetapi juga legitimate secara sosial dan sesuai dengan nilai-nilai konstitusional tentang negara hukum yang berkeadilan sosial.

PENUTUP

Pelaksanaan eksekusi perdata yang humanis dalam perspektif hukum progresif merupakan kebutuhan mendesak dalam pembaharuan sistem hukum Indonesia. Konseptualisasi eksekusi humanis berlandaskan pada prinsip proporsionalitas, subsidiaritas, dan non-diskriminasi yang menempatkan manusia sebagai subjek sentral, bukan sekadar objek pelaksanaan putusan. Implementasi konsep ini menghadapi hambatan yuridis berupa kekosongan norma dalam regulasi kolonial yang masih berlaku, serta hambatan non-yuridis meliputi resistensi kultural, kelemahan struktural kelembagaan, dan keterbatasan sumber daya. Model pembaharuan yang diusulkan mencakup reformasi legislatif melalui penyusunan UU Eksekusi Perdata yang komprehensif, pembentukan Unit Eksekusi Terintegrasi yang multidisipliner, dan penguatan kapasitas aparat melalui pelatihan serta pengembangan sistem monitoring. Pembaharuan ini esensial untuk mewujudkan keseimbangan antara kepastian hukum bagi kreditor dan perlindungan keadilan humanis bagi debitur, sehingga sistem eksekusi perdata tidak hanya efektif secara legal tetapi juga legitimate secara sosial dan selaras dengan nilai-nilai konstitusional tentang negara hukum yang berkeadilan sosial, sejalan dengan semangat hukum progresif yang menempatkan hukum untuk manusia dan kemanusiaan. Beberapa saran yang dapat diberikan untuk mewujudkan eksekusi perdata yang humanis dumulai dari reformasi menyeluruh terhadap proses Eksekusi Perdata di Indonesia dimulai dari DPR dan Pemerintah untuk memprioritaskan penyusunan Rancangan Undang-Undang Eksekusi Perdata baru yang progresif dan berlandaskan HAM untuk menggantikan regulasi kolonial. Mahkamah Agung didorong mengeluarkan PERMA Pedoman Pelaksanaan Eksekusi Perdata yang Humanis yang memuat mediasi pra-eksekusi dan perlindungan aset. MA dan Badan Urusan Administrasi perlu mengalokasikan anggaran untuk membentuk Unit Eksekusi Terintegrasi yang didukung pekerja sosial dan sistem informasi. Komisi Yudisial dan lembaga pendidikan hukum wajib menyelenggarakan pelatihan berkelanjutan tentang paradigma hukum progresif bagi aparat penegak hukum. Organisasi advokat untuk memperluas pendampingan hukum bagi debitur dan melakukan pemantauan sistematis guna mendorong akuntabilitas dan perlindungan hak-hak pihak tereksekusi.

REFERENSI

[1] Endang Hadrian dan Lukman Hakim, “Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi,” Yogyakarta: Deepublish, 2020.

[2] R. Hartati dan Syafrida “Hambatan Dalam Eksekusi Perkara Perdata,” ADIL: Jurnal Hukum Vol.12, no.1, hlm.1-19, 2021, doi: https://doi.org/10.33476/ajl.v12i1.1919

[3] Ahmad Faisal, “Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,” International Journal of Cross, Vol. 3, no. 2, hlm. 314-328, Nov 2023. https://www.cnbcindonesia.com/news/20231123080741-4-491294/kronologi-lengkap-penetapan-

[4] B. A. Sodiq, dkk, “Problematika Eksekusi Anak di Pengadilan Agama: Studi Kasus Perkara Nomor 1/Pdt.Eks/2025/PA.Tlb di Pengadilan Agama Tulang Bawang Kelas 1B,” Journal of Law and Social Change Review (JLSCR), Vol. 2, no. 1, hlm. 12-28, 2025. https://jurnal.sshpublikasi.com/

[5] Yulia, “Hukum Acara Perdata,” Aceh: Unimal Press, Sep 2018.

[6] Akmal, Akiruddin Ahmad, dan Joharsah, “Peran Hakim sebagai Pelindung Nilai Kemanusiaan dalam Sengketa Perdata: Studi Naratif atas Putusan Inovatif,” Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial & Hukum, vol.3, no.3, hlm. 1682–1688, Jun 2025, doi: 10.61104/alz.v3i3.1527.

[7] Khaidarulloh, N. Farida Maratus, dan S. Aulia, “Nalar Hukum Progresif Hakim Agama: Implementasi Hak Ex-Officio Dalam Putusan Perceraian di Pengadilan Agama Tulungagung,” Al Mikraj: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol.4, no.1, 2023, doi: 10.37680/almikraj.v4i1.6425.

[8] Supriyono dan F. Ayu J. Putri, “Sistem Eksekusi Perkara Perdata yang Efektif dan Menjamin Kepastian Hukum,” Jurnal Ilmiah Hospitality, vol. 12, no. 2, 2023. http://stp-mataram.e-journal.id/JIH

[9] Bahori Ahoen, “Analisis Kekuatan, Kerentanan, dan Tantangan Pembuktian Sertifikat Tanah Elektronik di Indonesia,” Jurnal Locus: Penelitian & Pengabdian, Vol.4, No.9, hlm.8414-8428, 2025. https://locus.rivierapublishing.id/index.php/jl

[10] G. M. C. Runtu, D. Soekromo, dan V. D. D. Kasenda, “Prosedur Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata” Jurnal Fakultas Hukum UNSRAT: Lex Administratum, Vol.12, no.4, hlm.1-13, 2024.

[11] Cici Fathona dan Fauziah Lubis, “Analisis Strategi Hukum Dalam Mempercepat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Hakim Perdata,” Judge: Jurnal Hukum, vol.05, no.2, hlm.48-54, 2024, doi: 10.54209/judge.v5i02.567.

[12] S. F. Setiadi, “Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia,” Journal of Literature Review, Vol.1, no.1, hlm.13-26, 2025. https://ojs.indopublishing.or.id/index.php/jlr