
Latar Belakang Masalah
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung dan empat lingkungan badan peradilan dibawahnya untuk menjalankan kekuasaaan kehakiman, kekuasaan kehakiman tersebut dijalankan sesuai dengan kompetensinya masing-masing.
Untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dan empat lingkungan badan peradilan dibawahnya harus berpedoman pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan, dengan maksud proses berperkara di pengadilan tidak lagi berlarut-larut pemeriksaannya bahkan Mahkamah Agung megeluarkan surat edaran mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaian perkara perdata untuk tingkat pertama 5 bulan, banding 3 bulan dan kasasi 3 bulan. Beracara di pengadilan juga harus efektif dan efisien hal tersebut juga tegas dibuat dan disusun oleh Majelis Hakim dalam rencana persidangan yang dijadikan pedoman bersama sebagai kepakatan para pihak serta adanya taksiran biaya perkara terjangkau.
Penyelesaian perkara, dapat dilakukan baik melalui jalur litigasi maupun jalur non litigasi, dalam penulisan ini tertuju kepada penyelesaian perkara melalui jalur litigasi khususnya dalam perkara perdata dlingkungan peradilan umum.
Proses berperkara secara perdata di Pengadilan Negeri dilakukan baik melalui permohonan atau voluntair yaitu tanpa sengketa pihak dan gugatan atau contentiosa yaitu adanya sengketa para pihak.
Pengakhiran penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri dapat dilakukan melalui putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap termasuk putusan Pengadilan Hubungan Industrial, melalui kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dalam suatu putusan atau adanya putusan quasi pengadilan.
Eksekusi atas sebuah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inckracht van gewijsde) seringkali dianggap sebagai langkah terakhir penyelesaian suatu sengketa di pengadilan, di mana pihak yang menang berharap dengan dilaksanakannya eksekusi, maka dia akan mendapatkan haknya sebagaimana ditentukan oleh putusan pengadilan.
Permasalahan
Persoalan tentang pengamanan eksekusi dan kendala-kendala teknisnya adalah adanya kekosongan hukum yang mengatur mengenai penyederhanaan proses waktu dan biaya pengamanan, di Pengadilan Negeri Rantau upaya yang dilakukan dengan berkoordinasi antara Kepolisian dan Pengadilan Agama terkait SK Panjar dan adanya intruksi proses dengan target waktu dalam 1 tahun bejalan untuk tertibnya administrasi sesuai arahan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum.
Persoalannya adalah: (1) Apakah Pengadilan Negeri berkewajiban meminta pengamanan kepada Aparat Negara dalam proses pelaksanaan eksekusi? (2) Bagaimana Pengadilan Negeri dapat meningkatkan efektifitas pengamanan eksekusi?
Pembahasan
Pengertian eksekusi dalam Surat Keputusan Dirjen Badilum Nomor 40/DJU/SK/HM.02.3./1/2019 tanggal 11 Januari 2019 dapat disimpulkan oleh Penulis dengan unsur-unsur : (1) Adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau atau produk-produk hukum lain yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; (2) Putusannya bersifat penghukuman atau condemnatoir yang dilakukan secara paksa; (3) Dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan hukum atau alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim. Oleh karena itu eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau RBg.
Syarat keadaan penggunaan bantuan kekuatan hukum atau alat-alat negara dalam menjalankan permohonan eksekusi oleh Pemohon yang dilakukan Pengadilan Negeri yaitu keadaan dimana Termohon eksekusi tidak mau meninggalkan barang tetapnya yang dijual, sehingga apabila keadaan tersebut terpenuhi, Ketua Pengadilan Negeri membuat penetapan yang berisi perintah kepada Panitera atau Jurusita dengan bantuan Polisi kepada Termohon eksekusi agar objek eksekusi dikosongkan atau ditinggalkan, hal tersebut tegas diatur dalam Pasal 200 ayat 11 HIR.
Penggunaan bantuan kekuatan hukum atau alat-alat negara dalam menjalankan permohonan eksekusi oleh Pemohon yang dilakukan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat 11 HIR adalah bersifat memaksa kepada Termohon eksekusi karena tidak mau menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau produk-produk hukum lain yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap secara sukarela.
Pada saat permohonan eksekusi didaftarkan di Pengadilan Negeri, dan surat permohonan didistribusikan ke Ketua Pengadilan atau Tim Telaah Eksekusi, dalam permohonan tersebut telah nampak apakah berpotensi adanya resistensi dari Termohon atau tidak. Contoh dari analisa obyek eksekusi (putusan perdata, putusan perdamaian, grosee akta, putusan quasi pengadilan atau putusan pengadilan hubungan industrial) dan analisa jenis eksekusi (pembayaran sejumlah uang, penghukuman melakukan sesuatu perbuatan, pemulihan lingkungang hidup atau eksekusi riil).
Selesainya pelaksanaan eksekusi yaitu setelah objek eksekusi diserahkan kepada Pemohon eksekusi oleh Pengadilan Negeri dengan disertai berita acara penyerahan objek eksekusi.
Dalam hal ini Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewajiban meminta pengamanan kepada kepolisian apabila dalam permohonan eksekusi terdapat fakta tidak adanya resistensi sosial dari pihak tereksekusi apabila secara sukarela Termohon eksekusi meninggalkan atau mengosongkan objek eksekusi.
Pemohon eksekusi yang tidak mau melaksanakan eksekusi secara sukarela, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat 11 HIR, akan tetapi bagaimana cara mengefektifkan pengamanan oleh kepolisian atas permohonan Pemohon eksekusi. Di sisi lain, bantuan pengamanan oleh kepolisian untuk memastikan proses eksekusi berjalan sebagaimana mestinya, serta memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap para eksekutor putusan pengadilan atas objek sengketa.
Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Keputusan Dirjen Badilum Nomor 40/DJU/SK/HM.02.3./1/2019 tanggal 11 Januari 2019, Pengosongan dilaksanakan harus memperhatikan nilai kemanusiaan dengan cara persuasif dan tidak arogan misalnya dengan memerintahkan Pemohon eksekusi untuk menyiapkan Gudang penampungan guna menyimpan barang milik Termohon eksekusi dalam waktu yang ditentukan atas biaya Pemohon.
Sedangkan Peraturan Kepala Kepolisan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia pada pokoknya mengatur mengenai persiapan dan pelaksanaan pengamanan eksekusi, mulai dari penyusunan perencanaan kegiatan pengamanan dan tahap pelaksanaan, dengan cara melakukan tindakan.
Tatacara mengenai pengamanan oleh kepolisian dalam permohonan eksekusi tidak diatur secara detail dan tegas dalam suatu peraturan pelaksana baik oleh Mahkamah Agung maupun Kepolisian.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Perkap ini dirancang untuk memastikan eksekusi berjalan aman, tertib, dan sesuai hukum, dengan melibatkan peran kepolisian. Namun, pelaksanaannya sebelum putusan Mahkamah Konstitusi sering kali melibatkan penyalahgunaan eksekusi sepihak oleh kreditur atau pihak ketiga seperti debito collector, yang sering menimbulkan konflik dan pelanggaran hak debitur. Putusan Mahkamah Konstitusi membawa perubahan signifikan, dengan menekankan bahwa eksekusi hanya dapat dilakukan jika debitur mengakui wanprestasi atau melalui putusan pengadilan.
Adanya perbandingan normatif tersebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan untuk menghindari adanya proses yang lama dalam permohonan eksekusi dan biaya pengamanan yang tinggi, maka Ketua Pengadilan sebelum menetapkan panjar biaya perkara sebaik mungkin berkoordinasi dengan Pengadilan Agama dan kepolisian perihal penyusunan rencana pengamanan eksekusi yang tidak didasari dengan jumlah personel, kebutuhan anggaran dan peralatan dari pihak kepolisian serta penyampaian penggunaan pengamananan yang hanya didasarkan suatu keadaan Termohon apabila tidak melaksanakan putusan secara sukarela.
Upaya mengefektifkan pengamanan eksekusi, di Pengadilan Negeri Rantau diantaranya dalam proses permohonan eksekusi Nomor 3/Pdt.Eks/2024/PN Rta jo 2/Pdt.G/2024/PN Rta tanggal 29 Agustus 2024, Ketua Pengadilan Negeri selain telah melakukan penetapan panjar biaya perkara atas dasar koordinasi dengan Pengadilan Agama dan kepolisian, Ketua Pengadilan Negeri juga mengupayakan prosedur dengan mengedapankan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, mulai dari waktu proses telaah yang efektif dan sinergis (pembinaan satu visi Tim Telaah), aanmaning (pendekatan psikologis dan normatif kepada Termohon) dan keputusan Ketua Pengadilan Negeri sejak pendaftaran permohonan yang dapat memperkirakan melalui ukuran sosiologis dan normatif mengenai digunakan atau tidaknya pengamanan dari kepolisian.
Dari tugas pokok dan fungsi kepolisian terkait pengamanan, maka terdapat 2 hal yang saling mengecualikan satu hal untuk menjaga ketertiban masyarakat dilain hal memberikan bantuan pengamanan bagi Pemohon eksekusi.
Efektifiktas pengamanan eksekusi dalam praktek peradilan, belumlah optimal karena: (1) Pengaturan pengamanan eksekusi bersifat umum dan sepihak yang dikeluarkan oleh Kepolisian, sedangkan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan kekuatan hukum tetap adalah Pengadilan; (2) Tidak ada standar biaya pengamanan eksekusi, Peraturan Kepala Kepolisan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 hanya membuat komponen yang didasarkan pada jumlah personel dan peralatan yang semestinya negara telah menyediakan sumber daya manusia (polisi) dengan segala peralatan kepolisian sebagai institusi, tentunya menjadi relatif dan subyektif; (3) Prosedur yang tumpang tindih yaitu terhadap pembayaran panjar biaya eksekusi di Pengadilan Negeri oleh Pemohon eksekusi, selanjutnya Pemohon dihadapkan untuk membayar kembali biaya pengamanan kepada pihak kepolisian.
Kesimpulan
Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewajiban meminta pengamanan kepada Kepolisian, apabila secara sukarela Termohon eksekusi meninggalkan atau mengosongkan objek eksekusi atas pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Efektifitas pengamanan eksekusi dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Kepolisian dengan tujuan untuk memangkas waktu proses dalam pelaksanaan eksekusi dan mencegah adanya keberatan-keberatan dari Pemohon eksekusi dalam proses pelaksanaan eksekusi di Pengadilan Negeri.
Referensi
[1] H. Jufri, “Efektivitas Pengamanan Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Eksekusi Obyek Sengketa Studi di Wilayah Hukum Polsek Batahan Polres Mandailing Natal Polda Sumatera Utara,” Jembatan Hukum: Kajian Ilmu Hukum, Sosial dan Administrasi Negara, vol. 1, no. 2, pp. 209–222, Jun. 2024, doi: https://doi.org/10.62383/jembatan.v1i2.271.
[2] S. Aristeus, “Eksekusi Ideal Perkara Perdata Berdasarkan Asas Keadilan Korelasinya Dalam Upaya Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure, vol. 20, no. 3, pp. 379–390, Sep. 2020.
[3] L. O. Husen, A. A. Syalman, and A. K. Muzakkir, “Efektivitas Pengamanan Intelijen Kepolisian Terhadap Putusan Pengadilan atas Objek Sengketa,” SIGn Jurnal Hukum, vol. 1, no. 2, pp. 136–148, Oct. 2020, doi: https://doi.org/10.37276/sjh.v1i2.62.
[4] Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Jakarta, 2011. Accessed: Oct. 13, 2025. [Online]. Available: https://sisdivkum.id/storage/library/file/4455-Peraturan_Kepala_Kepolisian_Negara_Republik.pdf
[5] S. A. Radjak, I. Amad, and R. M. Moonti, “Reformulasi Perkap No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-XVII/2019,” Jembatan Hukum: Kajian Ilmu Hukum, Sosial dam Administrasi Negara, vol. 1, no. 4, pp. 110–124, 2024, doi: https://doi.org/10.62383/jembatan.v1i4.1086.