Latar Belakang
Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang Merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung sebagai badan penyelenggara kekuasaan kehakiman harus meningkatkan profesionalisme, integritas, dan kecerdasan moral hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan[1]. Untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, hakim harus melaksanakan semua wewenang dan tugasnya tanpa membedakan orang seperti yang ditetapkan dalam lafal sumpah hakim, di mana setiap orang sama di depan hukum dan hakim[1]. Dalam melaksanakan tugasnya Hakim perlu dibatasi kewenangan dan kebebasannya untuk menjaga etika, moral, dan integritas penegakan hukum.
Dalam mengelola administrasi perkara hakim dibantu oleh panitera. Tugas panitera meliputi menjelaskan keputusan hakim, membantu masyarakat memahami prosedur hukum, dan mengelola administrasi perkara, sehingga menjamin proses hukum yang adil dan mudah diakses[2]. Kepaniteraan dipimpin oleh Panitera, dibantu oleh Panitera Muda, panitera Pengganti, Juru Sita dan Staf. Dengan demikian peran Kepaniteraan sangat penting karena kepaniteraan bertanggung jawab menjaga akurasi catatan untuk mencegah kerugian akibat kesalahan administratif, sehingga kepaniteraan tidak hanya bertanggungjawab secara professional tetapi juga bertanggungjawab secara moral[2].
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penting untuk mengetahui bagaimanakah hakikat jabatan hakim serta kepaniteraan sebagai fungsi pembantu hakim serta batasan dalam kode etik serta penerapannya.
Jabatan Hakim serta Kode Etik Hakim
Hakim adalah hakim di Mahkamah Agung, serta hakim di badan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan pengadilan khusus. Hakim diberi wewenang untuk mengadili[3]. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana di sidang pengadilan berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam hal memeriksa dan memutus perkara menurut cara yang diatur dalam KUHAP[3].
Hakim merupakan bagian penting dari sistem hukum masyarakat, dan mereka harus melakukan tugas mereka dengan profesionalisme dan dedikasi yang tinggi[4]. Hakim berfungsi sebagai penemu, pembuat, dan pemutus perkara. Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim harus menggunakan penemuan hukum (Rechtsvinding) agar tidak hanya bergantung pada hukum positif. Hakim perlu mempertimbangkan aspek hukum lain untuk mencapai keadilan.[5]. Jabatan Hakim berperan penting dalam penegakan hukum, dengan otoritas besar dalam memutuskan hak keperdataan dan nasib individu. Pasal 5 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 menjelaskan bahwa hakim diberikan wewenang khusus, namun tetap terikat pada kode etik dan standar perilaku
Kode Etik Profesi dibuat untuk mencegah intervensi dari pemerintah atau masyarakat, serta menciptakan keselarasan di antara pelaku profesi. Kode etik berfungsi sebagai standar penegakan profesi, mengintegrasikan moral dan etika demi keadilan[6]. Kode etik hakim diatur oleh Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kode Etik ini mengatur tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh hakim dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Badan Pengawasan Hakim MA melakukan penegakkan kode etik bagi hakim. Selain itu dalam hal hakim melakukan pelanggaran kode etik juga dapat dihadapkan kepada Majelis Kehormatan Hakim. Dalam hal hakim disidang oleh Majelis Kehormatan Hakim, mempersilahkan hakim yang diduga melanggar kode etik dan/atau hukum melakukan pembelaan untuk menjamin proses yang adil dan transparan. MKH menyelidiki laporan dan bukti pelanggaran kode etik untuk memastikan kebenaran, serta menjaga integritas dan standar etika di sistem peradilan.[7].
Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, hakim harus bersikap imparsial, sopan, cermat, dan sabar dalam menangani perkara, serta memutuskan berdasarkan hukum dan rasa keadilan [4]. Hakim dilarang berkolusi, menerima pemberian dari pihak berperkara, membahas perkara di luar persidangan, dan mengungkapkan pendapat tentang kasus sebelum putusan[7]
Apabila hakim melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, maka hakim akan diberikan sanksi berupa hukuman disiplin. Sanksi ini bertujuan menegakkan disiplin, menjaga integritas peradilan, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada hakim dan proses hukum. Bentuk sanksi bagi hakim diatur dalam Peraturan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Pedoman Penerapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sanksi tersebut dibagi menjadi tiga kategori: ringan, sedang, dan berat.
Teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan ketidakpuasan tertulis adalah beberapa contoh sanksi ringan. Sanksi Sedang yaitu penundaan kenaikan gaji selama satu tahun, penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji setiap bulan selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, dan mutasi ke pengadilan dengan kelas yang lebih rendah. Selain itu, promosi dapat dibatalkan atau ditangguhkan. Sedangkan sanksi berat yaitu pemecatan dari jabatan, penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun, penurunan tetap dengan hak pensiun, dan pemecatan tidak dengan hormat[8].
Meskipun hakim sudah memiliki Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, namun penerapannya menghadapi kendala di praktik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor kompleks. Beberapa faktor yang menghambat penegakan kode etik dan perilaku hakim antara lain: Pengaruh lingkungan kerja dan lingkungan di luar kerja, tekanan eksternal, karakteristik pribadi hakim, serta faktor kesejahteraan dapat mengakibatkan hakim lebih rentan terhadap godaan materi[4].
Jabatan Kepaniteraan serta Kode Etik Kepaniteraan
Panitera terdiri dari Panitera, Kepala Panitera Militer, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di pengadilan banding serta tingkat pertama dari empat lingkungan peradilan di bawah MA-RI. Mereka juga termasuk Panitera yang membantu Mahkamah Agung dan lembaga lain. Tugas utama Panitera adalah memimpin bidang Kepaniteraan Pengadilan dan mendukung ketua pengadilan dalam administrasi kepaniteraan.[9].
Dalam melaksanakan tupoksinya Panitera dibantu oleh Panitera Muda. Dalam proses Selama persidangan sehari-hari, hakim dibantu oleh Panitera Pengganti. Panitera Pengganti berada di bawah komando Panitera dan juga berfungsi sebagai pembantu panitera, bertanggung jawab untuk mencatat segala hal yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara selama proses persidangan[9]
Panitera Muda dan Panitera Pengganti wajib mematuhi kode etik dalam menjalankan tugas di Kepanitaraan sesuai KMA Nomor 122/KMA/SK/VII/2013Mereka harus berperan dalam penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran, bekerja jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi harkat martabat panitera. Pejabat kepaniteraan wajib berpakaian rapi, duduk sopan, dan bersikap adil tanpa membedakan para pihak selama persidangan. Mereka dilarang mengantuk atau tidur. Pejabat kepaniteraan dilarang menjadi penasehat hukum, memberikan akses antara pihak berperkara dan Pimpinan Pengadilan atau Majelis Hakim, membawa berkas perkara tanpa izin, serta memasuki tempat perjudian, minuman beralkohol, dan prostitusi, kecuali dalam rangka tugas.
Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan bertanggung jawab atas penegakan Kode Etik Pejabat Kepaniteraan. Pejabat Kepaniteraan yang melanggar kode etik dapat dikenakan dua jenis sanksi. Untuk pelanggaran moral ringan, sanksi berupa hukuman disiplin ringan atau sedang, seperti teguran lisan atau pemotongan tunjangan kinerja. Jika pelanggaran kode etik tergolong berat dan melanggar norma sosial serta moral, hukuman yang dikenakan adalah disiplin berat, termasuk pemecatan dari jabatan. Jika pelanggaran termasuk tindak pidana, sanksi terakhir dapat berupa penjara atau pemecatan tidak hormat. Pelanggaran oleh pejabat kepaniteraan akan dibawa ke Dewan Kehormatan Panitera dan Juru Sita. yang beranggotakan 5 (lima) orang yaitu : 1 (satu) Pejabat Dari Direktorat Jenderal yang bersangkutan, 1 (satu) orang Pejabat Kepaniteraan Mahkamah Agung RI. 2 (dua) orang pengurus IPASPI Pusat 1 (satu) orang Pengurus IPASPI Daerah.
Penutup
Hakim sebagai pejabat kehakiman dilindungi saat menjalankan tugasnya, diharapkan menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan. Hakim harus memahami disiplin hukum dan sensitif terhadap rasa keadilan masyarakat, meskipun perlu ada batasan dalam kebebasan mereka menjalankan tugas. Kode etik dan standar perilaku hakim berfungsi sebagai petunjuk dalam menjalankan tugas dan kehidupan sehari-hari. Penerapan kode etik juga diperlukan untuk panitera dan staf di bawahnya, yang mendukung hakim dalam administrasi peradilan dan prosedur persidangan. Kepaniteraan berfungsi sebagai "jembatan" antara hakim dan para pihak untuk memastikan kelancaran proses persidangan, Kode etik bagi panitera untuk melindungi dirinya sekaligus kepentingan institusi Mahkamah Agung.
Harapan kedepannya bagi Mahkamah Agung dapat menjadi institusi peradilan yang bebas dan dapat dipercaya oleh masyarakat, namun tentu tidak mengesampingkan kebutuhan kesejahteraan bagi para hakim dan aparatur peradilan serta meningkatkan integritas dan profesionalitas para aparatur peradilan yang dapat diupayakan melalui bimbingan teknis maupun diklat serta pengawasan yang tersistematis dari pimpinan teratas sampai pimpinan satuan kerja. Disamping hal tersebut di atas para aparatur peradilan harus memiliki keikhlasan dalam melaksanakan pengabdiannya.
Referensi
[1] Pusat Analis dan Layanan Informasi KY RI, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Indonesia:https://jdih.komisiyudisial.go.id/upload/produk_hukum/Peraturan-Bersama-MA-KY-tentang-KEPPH.pdf, 2009, p. 2.
[2] M. Ridho, “Peran Panitera Pengganti dalam Pelaksanaan Peradilan yang Cepat dan Biaya Ringan,” https://papurwodadi.go.id/.
[3] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum : Norma-Norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
[4] Muh. R. Hakim, “IMPLEMENTASI RECHTSVINDING YANG BERKARAKTERISTIK HUKUM PROGRESIF,” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 5, no. Hukum, pp. 227–248, 2016.
[5] I. Rahmatullah, “Filsafat Realisme Hukum (Legal Realism): Konsep dan Aktualisasinya dalam Hukum Bisnis di Indonesia,” Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, vol. 5, no. Hukum, pp. 1–14, 2021, doi: https://doi.org/10.15408/adalah.v5i3.21395.
[6] REPUBLIK INDONESIA, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA. Indonesia: JDIH MAHKAMAH AGUNG RI, 1981. Accessed: Nov. 08, 2024. [Online]. Available: https://jdih.mahkamahagung.go.id/storage/uploads/produk_hukum/file/KUHAP.pdf
[7] S. Nuraga, J. Gilalo, and D. Suprijatna, “Penerapan Sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi Hakim Oleh Majelis Kehormatan Hakim Di Indonesia,” Karimah Tauhid, vol. 3, no. Hukum, pp. 4960–4970, 2024, Accessed: Nov. 08, 2024. [Online]. Available: https://ojs.unida.ac.id/karimahtauhid/article/view/13018/5034
[8] PA Tiga Raksa, “Jabatan Panitera Antara Hasrat dan Amanah,” 2024. Accessed: Nov. 08, 2024. [Online]. Available: https://pa-tigaraksa.go.id/jabatan-panitera-antara-hasrat-dan-amanah/