MENYELISIK TIDAK MAMPU BERTANGGUNGJAWAB DAN KURANG MAMPU BERTANGGUNGJAWAB DALAM KUHP BARU

13 August 2025 | Arif Rachman Nur
Arif Rachman Nur

format_quote

Latar Belakang

Sebagai game changer dalam sistem hukum pidana, KUHP baru membawa banyak perubahan mendasar termasuk dalam pengaturan tidak mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar). Dalam Pasal 44 KUHP lama, tidak mampu bertanggungjawab menjadi alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan dari pelaku sehingga tidak dapat dipidana. Pengaturan tersebut erat terkait dengan theory of pointless punishment yang menitikberatkan pada tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang gila atau sakit jiwa atau cacat dalam tumbuhnya yang tidak mampu menginsyafi perbuatannya dan tidak dapat mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang. Sehingga penjatuhan pidana kepada orang tersebut tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, justru akan melukai rasa keadilan masyarakat.[1]

Aspek kemanfaatan yang sangat kental dalam perumusan Pasal 44 KUHP lama tersebut mengalami pengembangan pada KUHP baru melalui pasal 38 tentang kurang mampu bertanggungjawab dan pasal 39 terkait tidak mampu bertanggungjawab. Meskipun terlihat serupa, ketiganya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pengaturan tersebut tidak lagi menyoroti pada aspek kepastian hukum semata namun juga mengakomodasi nilai-nilai keadilan maupun kemanfaatan.

Berdasarkan pembaruan tersebut, maka permasalahan pokok dalam tulisan ini meliputi: Pertama, bagaimana perbandingan tidak mampu bertanggungjawab dalam KUHP lama dan KUHP baru? Kedua, bagaimana perbandingan tidak mampu bertanggungjawab dan kurang mampu bertanggungjawab dalam KUHP baru? Ketiga, bagaimana proyeksi penerapan tidak mampu bertanggungjawab dan kurang mampu bertanggungjawab dalam putusan pengadilan? Penelitian ini bertujuan menganalisis reorientasi hukum pidana Indonesia terhadap tidak mampu bertanggungjawab, membandingkannya dengan kurang mampu bertanggungjawab serta mencari gambaran penerapannya pada putusan pengadilan.

Tidak Mampu Bertanggungjawab dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Terdapat perbedaan sistematika pengaturan antara tidak mampu bertanggungjawab dalam KUHP lama dan KUHP baru. KUHP lama mengategorikan pasal 44 dalam Bab III tentang Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Memberatkan Pidana yang mengatur alasan pemaaf, alasan pembenar dan alasan pemberat pidana.[2] Sedangkan KUHP baru yang menggunakan metode penyusunan perundang-undangan mutakhir, mengategorikan pasal 39 ke dalam Paragraf 1 tentang Umum pada Bagian Kedua tentang Pertanggungjawaban Pidana dalam Bab II Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.[3] Kedua pasal tersebut terpisah dari Paragraf 2 tentang Alasan Pemaaf. Dari pengaturan tersebut dapat dilihat jika pembentuk KUHP baru tidak lagi memandang tidak mampu bertanggungjawab sebagai alasan pemaaf secara normatif. Sebagai perbandingan, Wetboek van Strafrecht yang saat ini digunakan Belanda mengatur toerekeningsvatbaar pada artikel 39 dalam Titel III Uitsluiting en verhoging van strafbaarheid yang memuat alasan pemaaf maupun alasan pembenar.[4]

Perbedaan kedua ialah kriteria tidak mampu bertanggungjawab. Pasal 44 ayat (1) KUHP lama mengatur seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jika berada dalam kondisi jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit. Secara historis, istilah jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) muncul karena terminologi gangguan penyakit (ziekelijke storing) terlalu sempit sehingga tidak mencakup kejiwaan abnormal yang merupakan sifat bawaan dari lahir.[1] Ketentuan dalam pasal tersebut menggunakan terminologi yang cukup luas tanpa menggunakan parameter medis yang terukur.

Pasal 39 KUHP baru menggunakan istilah disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat. Disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku.[3] Kekambuhan akut dapat ditandai dengan peningkatan gejala mencolok dan intensif secara tiba-tiba. Sedangkan gambaran psikotik ialah kondisi seseorang kehilangan kontak dengan realitas dan mengalami perubahan persepsi, pikiran, emosi dan perilaku yang tidak sesuai dengan kenyataan.[5] Adapun disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Disabilitas intelektual derajat sedang memiliki keterbatasan signifikan dalam kemampuan intelektual dan adaptif.[3] Sedangkan disabilitas intelektual derajat berat dapat mengalami kesulitan besar dalam berkomunikasi, memahami informasi dan melakukan tugas-tugas sehari-hari tanpa bantuan signifikan.[5] Pasal tersebut menggunakan parameter medis yang jelas dan terukur. Sehingga dalam mengategorikan seseorang tidak mampu bertanggungjawab memiliki satu standar yang sama.

Setelah sistematika pengaturan dan kriteria subjeknya, perbedaan selanjutnya adalah pemidanaan. Pasal 44 ayat (2) KUHP lama mengatur bahwa orang yang tidak mampu bertanggungjawab tidak dipidana dan dapat dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.[4] Sedikit berbeda dengan pendahulunya, Pasal 39 KUHP baru tetap mengatur orang yang tidak dapat bertanggungjawab tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. Jadi meskipun kondisi tersebut meniadakan pidana namun tidak otomatis juga meniadakan tindakan.

Secara substansi ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHP lama yang memasukkan pelaku ke rumah sakit jiwa adalah bukan pidana sebagaimana Pasal 10 KUHP lama melainkan suatu tindakan (maatregel) karena sifatnya yang korektif dan rehabilitatif bukannya pembalasan atau penjeraan. Meskipun demikian, Pasal 44 ayat (2) KUHP lama tersebut hanya menentukan satu jalur dalam upaya melakukan rehabilitasi terhadap orang tersebut. Kondisi kemungkinan terjadi karena KUHP lama yang semula merupakan Code Napoleon (1810) dengan kolonisasi kemudian berlaku di Belanda dan terakhir Indonesia, mengenal single track system dalam pemidanaan. Sementara itu KUHP baru menganut double track system yang mengakomodasi tindakan sebagai opsi pemidanaan. Pengaturan double track system sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Carl Stoos pada 1893 dalam KUHP Swiss.[6]

Double track system mengenal dua konsekuensi yang dapat dibebankan kepada pelaku, yakni (1) pidana sebagai upaya pengamanan (security measures); dan (2) tindakan sebagai upaya perlindungan (protective measures). Sistem tersebut merupakan kompromi dalam diskursus mengenai tujuan penjatuhan pidana.[6] Pasal 103 ayat (2) KUHP baru mengatur tindakan yang dapat dikenakan kepada orang yang dimaksud Pasal 38 dan 39 berupa (a) rehabilitasi; (b) penyerahan kepada seseorang; (c) perawatan di lembaga; (d) penyerahan kepada pemerintah; dan/atau (e) perawatan di rumah sakit jiwa.[3] Dalam aspek ini dapat dilihat jika KUHP baru berorientasi pada individualisasi pemidanaan sehingga tidak semua orang dimaksud pasal 39 mendapatkan tindakan yang sama. Pengaturan pasal 39 tersebut berorientasi pada paradigma hukum modern, khususnya pada keadilan korektif kepada pada pelaku dan keadilan rehabilitatif, baik yang ditujukan kepada pelaku maupun korban.

Meskipun memiliki beberapa perbedaan, tidak mampu bertanggungjawab dalam dua regulasi tersebut juga memiliki persamaan. Pertama, dibutuhkan ahli untuk menjelaskan kondisi tidak mampu bertanggungjawab dari segi medis. Kedua, ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan. Ketiga, penilaian hubungan kausal merupakan otoritas hakim. Keempat, ahli menggambarkan keadaan jiwa namun secara normatif hakim akan menilai hubungan antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan.[1]

Tidak Mampu Bertanggungjawab Vs Kurang Mampu Bertanggungjawab

Kurang mampu bertanggungjawab (verminderde toerekeningsvatbaarheid) baru diatur dalam Pasal 38 KUHP baru. Subjek pasal ini ialah penyandang disabilitas mental dan/atau disablitas intelektual.[3] Sedikit berbeda dengan pasal 39 yang menekankan pada adanya kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik untuk disabilitas mental serta derajat sedang atau berat untuk disabilitas intelektual. Secara sederhana tingkat keparahan dalam pasal 38 lebih rendah daripada pasal 39.

Berbeda dengan Pasal 39 KUHP baru yang tidak dapat dijatuhi pidana, orang yang kurang mampu bertanggungjawab tetap dapat dikenai pidana namun dikurangi dan/atau dikenai tindakan. Pengurangan pidana ini tidak diatur besarannya seperti percobaan namun sepenuhnya pada kebijaksanaan hakim. Tindakan yang dapat dikenakan kepada orang yang kurang mampu bertanggungjawab juga diatur dalam Pasal 103 ayat (2) KUHP baru seperti pasal 39.

Proyeksi dalam Putusan Pengadilan

Putusan terkait Pasal 38 dan 39 KUHP baru selain menguraikan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana juga harus menggunakan tujuan dan pedoman pemidanaan yang dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 KUHP baru.[3] Tujuan pemidanaan dalam Pasal 51 KUHP baru bersifat kumulatif sehingga harus dipertimbangkan semuanya. Adapun pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 KUHP baru bersifat kumulatif/alternatif sehingga hakim mempunyai keleluasaan dalam mempertimbangkannya. Kedua pasal tersebut merupakan bagian dari pertanggungjawaban pidana maka pedoman pemidanaan yang sekiranya penting untuk didalami adalah terkait dengan kesalahan pelakunya, yaitu (a) bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana; (b) motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; dan (c) sikap batin pelaku Tindak Pidana ataupun pedoman pemidanaan yang berkaitan dengan aspek pelaku tindak pidana (offender), yaitu (f) sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana; (g) riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana; dan (h) pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana.[5] Adanya pertimbangan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan tersebut diharapkan mampu memberikan keadilan yang tidak lagi cenderung retributif namun keadilan yang korektif dan rehabilitatif bagi orang yang kurang mampu bertanggungjawab atau tidak mampu bertanggungjawab.

Penutup

Perbedaan Pasal 39 KUHP baru dari Pasal 44 KUHP lama adalah tidak mampu bertanggungjawab secara sistematis tidak dikategorikan sebagai alasan pemaaf, penggunaan parameter medis yang jelas dan terukur serta dapat dikenakannya tindakan. Sedangkan perbedaan Pasal 38 dan 39 KUHP baru terletak pada derajat penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual serta pasal 38 dapat mengurangi pidana dan/atau dikenai tindakan. Penerapan kedua pasal tersebut pada putusan pengadilan tetap harus didukung oleh tujuan dan pedoman pemidanaan dengan tetap memperhatikan individualisasi pemidanaan. Sehingga diharapkan dapat tercapainya keadilan, baik itu keadilan korektif maupun keadilan rehabilitatif bagi pelaku.

Referensi

[1] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014.

[2] Kitab Undang-undang Hukum Pidana/Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië.

[3] Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

[4] Wetboek van Strafrecht. [Daring]. Tersedia pada: https://wetten.overheid.nl/BWBR0001854/2025-01-01

[5] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2025.

[6] Erasmus A.T. Napitupulu, Genoveva Alicia K.S. Maya, Iftitahsari, dan M. Eka Ari Pramuditya, Hukuman Tanpa Penjara: Pengaturan, Pelaksanaan, dan Proyeksi Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan di Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2019. [Daring]. Tersedia pada: https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2019/09/Hukuman-Tanpa-Penjara.pdf