PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TERDAKWA PENYANDANG DISABILITAS MENTAL DAN/ATAU INTELEKTUAL PASCA BERLAKUNYA KUHP NASIONAL

13 August 2025 | Ahmad Wiranto
Ahmad Wiranto

format_quote

Latar Belakang

Tahun 2023 menjadi tahun yang bersejarah bagi pembangunan hukum nasional, disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (selanjutnya disebut KUHP Nasional) yang merupakan hasil karya bangsa Indonesia dan lebih dari 5 dekade Indonesia menunggu pembaharuan KUHP Nasional.[1] Banyak hal yang berbeda antara KUHP 1946 dan KUHP Nasional yang mana semangat dari KUHP nasional adalah dekolonisasi, rekodifikasi, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, adaptasi serta harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi. Penyusunan KUHP Nasional dilakukan secara mendalam dan disesuaikan dengan perkembangan yang ada salah satunya, penerapan konsep monodualistik/daad-dader strafrecht yang mana konsep ini memusatkan perhatian terhadap 2 (dua) kepentingan yakni: kepentingan masyarakat dan kepentingan individu secara umum dan kepentingan pelaku dan korban secara khusus sehingga, konsep monodualistik ini sering juga disebut dengan asas keseimbangan.[2] Selain itu, konsep ini tidak hanya memperhatikan aspek perbuatan (daad) namun juga aspek subjektif dari orang/pembuat (dader).[3] Salah satu output penerapan sistem monodualistik tersebut terlihat pada diaturnya Pertanggungjawaban pidana dalam bagian tersendiri pada Bab II bagian kedua KUHP Nasional yang menjabarkan bahwa setiap orang termasuk juga korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan selain itu, didalam bagian pertanggungjawaban pidana juga mengatur mengenai alasan pemaaf sebagai alasan untuk menghapuskan kesalahan yang ada dalam diri pembuat/dader. Dalam KUHP WvS tidak mengatur secara spesifik mengenai kriteria pertanggungjawaban pidana.

Mengenai pertanggungjawaban pidana untuk orang yang melakukan tindak pidana dan menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual juga diatur lebih spesifik lagi pada Pasal 38 dan Pasal 39 KUHP Nasional.

Pasal 38 KUHP Nasional tertulis bahwa:

“Setiap orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.”[4]

 

Sedangkan Pasal 39 KUHP Nasional tertulis bahwa:

“Setiap orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dikenai tindakan.”[4]

Kedua pasal tersebut merupakan 2 (dua) keadaan Terdakwa kurang mampu bertanggungjawab dan keadaan Terdakwa tidak mampu bertanggungjawab. Dua keadaan ini berimplikasi terhadap penjatuhan sanksinya, (1). Dijatuhi sanksi pidana dan sanksi tindakan sekaligus namun, dikurangi masa pidananya; (2). Hanya dijatuhi sanksi pidana namun dikurangi pidananya; atau (3). Tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan sanksi tindakan.[5] Dari ketiga keadaan tersebut, terlihat bahwa tidak ada satupun keadaan yang membebaskan penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dari sanksi (baik pidana maupun tindakan) bahkan, jika melihat pengaturan alasan pemaaf yang konsepnya adalah menghapuskan kesalahan si pembuat/dader (Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 KUHP Nasional) tidak memasukkan kondisi penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual. sehingga, perlu diteliti lebih lanjut: (1). Bagaimana pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual sebelum berlakunya KUHP Nasional dan, (2). Apakah Kondisi penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana menurut KUHP Nasional?

Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental dan/atau Intelektual Sebelum Berlakunya KUHP Nasional

Dalam KUHP 1946 pengaturan mengenai penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual sebagai alasan penghapus pidana diatur secara eksplisit pada Pasal 44 ayat (1) namun, redaksi yang digunakan adalah “jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana” dan pada ayat (2) merupakan pengaturan mengenai memasukkan pelaku yang jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tersebut ke rumah sakit jiwa.

Mengacu pada KUHP 1946 yang berlaku saat ini, apabila Terdakwa terbukti jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, Hakim dapat menjatuhkan putusan lepas dengan menambahkan amar agar Terdakwa dirawat pada Rumah Sakit Jiwa yang disarankan oleh Ahli Psikologi. Seperti contoh pada Putusan Nomor 70/Pid.B/2023/PN Mlg, Hakim berpijak pada alat bukti surat keterangan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa/ visum psychiatrum serta Keterangan Ahli kejiwaan yang berpendapat bahwa Terdakwa/Terperiksa dinyatakan tidak memenuhi unsur kecakapan mental sehingga, tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakan hukum yang dituduhkan padanya. Namun, dalam perkara yang lain Hakim tetap menjatuhkan pidana dan tidak menjadikan kondisi disabilitas Terdakwa sebagai alasan yang meringankan, contohnya pada Putusan Nomor 135/Pid.Sus/2018/PN Btg, pertimbangan Hakim adalah karena Terdakwa masih mampu mempertanggungjawabkan tindakan yang dituduhkan kepadanya meskipun, kapasitas intelektual Terdakwa memiliki kor IQ 68 (retardasi mental ringan). Padahal, perlindungan dan Hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya Penyandang Disabilitas merupakan kewajiban negara yang dalam konteks pemeriksaan persidangan, Hakim perlu mempertimbangkan secara bijak mengenai Terdakwa yang menyandang disabilitas mental dan/atau intelektual bahwa sebagian besar penyandang disabilitas hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, yang disebabkan masih adanya pembatasan terhadap haknya.[6]

Ketidakmampuan Bertanggungjawab bagi Penyandang Disabilitas Mental dan/atau Intelektual

Sebelum menjabarkan lebih lanjut mengenai ketidakmampuan bertanggungjawab, perlu diketahui bahwa cara pandang tiap negara terhadap pelaku yang menyandang disabilitas mental dan/atau intelektual. Di Norwegia misalnya, apabila seseorang melakukan tindak pidana dan ditemukan fakta bahwa mengalami keadaan psikotik ataupun mengalami keterbelakangan mental retardasi besar maka terhadapnya tidak dikenai hukuman.[7] Berbeda dengan Belanda yang menerapkan tiga keadaan yakni: (1). Bertanggungjawab, (2). Berkurangnya Tenggungjawab, dan (3). Tidak bertanggungjawab.[8]

Diaturnya pertanggungjawaban pidana untuk orang yang melakukan tindak pidana dan menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang telah disinggung sebelumnya menimbulkan 2 (dua) keadaan yakni: (1). Terdakwa kurang mampu bertanggung jawab, dan (2). Keadaan Terdakwa tidak mampu bertanggungjawab. Kekurangmampuan untuk bertanggungjawab sebagaimana diatur pada Pasal 38 KUHP Nasional merupakan penegasan untuk melindungi kerentanan yang dialami oleh pelaku yang menyandang disabilitas mental dan/atau intelektual karena sebelum berlakunya KUHP Nasional tersebut, tidak sedikit putusan yang tidak mempertimbangkan unsur subjektifitas bahwa Terdakwa dengan kondisi disabilitas mental dan/atau intelektual bahkan, mengesampingkan kondisi tersebut. Dengan adanya penegasan yang diberikan KUHP Nasional secara langsung telah menjadi landasan yuridis bagi Majelis Hakim untuk mempertimbangkan kondisi disabilitas mental dan/atau intelektual yang output-nya adalah dimasukkannya unsur subjektifitas Terdakwa dengan kondisi disabilitasnya kedalam mitigating factor[9], yang berdampak terhadap strafsoort dan strafmaat-nya, apakah dikenakan sanksi pidana ataukah tindakan serta berapa lama penjatuhan pidananya yang tentunya jangka waktu pemidanaannya lebih singkat dibandingkan Terdakwa dengan kondisi yang ‘normal’.

Adapun keadaan Terdakwa tidak mampu bertanggung jawab berdasarkan Pasal 39 KUHP Nasional adalah kondisi dimana Pelaku tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan ataupun menilai akibat dari perbuatannya namun, kondisi tersebut tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidananya sehingga Terdakwa tetap dijatuhi sanksi berupa sanksi tindakan. Perbedaan Pasal 38 dan Pasal 39 KUHP Nasional terletak pada derajat/tingkatannya, dimana Pasal 39 merupakan kondisi dengan tingkatan disabilitas mental dan/atau intelektual yang lebih berat sehingga dalam penjelasan Pasalnya pun mengamanatkan agar menghadirkan ahli yang memberikan keterangan bahwa si Terdakwa mengalami disabilitas mental kekambuhan akut disertai psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang hingga berat.[5] Jika ahli menerangkan bahwa Terdakwa dinilai mengalami kondisi pada Pasal 39 KUHP Nasional, Majelis Hakim wajib mengenakan sanksi tindakan.

Pada dasarnya, sanksi tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan jahat pelaku dan perbaikan diri pelaku agar ketika kembali ke lingkungannya tidak memberikan ancaman bagi siapapun.[10] Jika melihat pasal demi pasal yang menerangkan jenis sanksi tindakan bagi penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual didalam KUHP Nasional, terlihat bahwa pengenaan sanksi tindakan tersebut semata-mata untuk kepentingan Terdakwa dan masyarakat yang oleh karena itu kondisi penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dikeluarkan dari alasan penghapus pidana dan diatur tersendiri di bagian pertangunggjawaban pidana namun, terkhusus mengenai tindakan perawatan di rumah sakit jiwa, Pembentuk KUHP Nasional secara diam-diam masih membuka peluang bahwa terdapat kondisi penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dimasukkan kedalam alasan penghapus pidana khususnya alasan pemaaf namun, diperlukan disiplin ilmu medis sebagai variabel pembantunya yang memastikan bahwa Terdakwa tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan ataupun menilai akibat dari perbuatannya namun, jika Terdakwa dilepaskan ke lingkungannya dapat membahayakan masyarakat secara luas.

Penutup

Seringkali Penyandang disabilitas direndahkan dalam kehidupan bermasyarakat bahkan juga ada yang memperlakukan dengan kejam. Oleh karena itu, KUHP Nasional hadir untuk menjawab tantangan yang ada yakni sebagai pondasi untuk menyeimbangkan kerentanan penyandang disabilitas sekaligus memberikan perlindungan pada proses penegakan hukum pidana khususnya berkaitan dengan pertanggungjawaban pidananya.

Referensi

[1] A. H. Imaduddin, “Sejarah Panjang Pengesahan RKUHP Lebih dari 5 Dekade,” Tempo, 2022. [Online]. Available: https://nasional.tempo.co/read/1668881/sejarah-panjang-pengesahan-rkuhp-lebih-dari-5-dekade

[2] F. P. A. Hartanto, “Penerapan Keseimbangan Monodualistik Dalam Hukum Pidana (Terkait Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik),” J. Anal. Huk., vol. 7, no. 1, p. 100, 2024.

[3] M. P. Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” Mimb. Huk., vol. 24, no. 1, p. 88, 2012.

[4] Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, no. 16100. Indonesia, 2023, pp. 1–345. [Online]. Available: https://jdih.setneg.go.id/viewpdfperaturan/Salinan UU Nomor 1 Tahun 2023.pdf

[5] E. O. S. H. & T. Santoso, ANOTASI KUHP NASIONAL. PT Rajagrafindo Persada, 2025.

[6] Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG DISABILITAS. Indonesia, 2016. [Online]. Available: https://jdih.setneg.go.id/viewpdfperaturan/UU Nomor 8 Tahun 2016.pdf

[7] Norway, The General Civil Penal Code. Norway, 1902, p. 105.

[8] G. Meynen, “274Legal Insanity in the Netherlands: Regulations and Reflections,” Dec. 15, 2022, Oxford University Press. doi: 10.1093/oso/9780198854944.003.0012.

[9] D. Hananta, “PERTIMBANGAN KEADAAN-KEADAAN MERINGANKAN DAN MEMBERATKAN DALAM PENJATUHAN PIDANA,” J. Huk. dan Peradil., 2018.

[10] S. H. Dr. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. 2014.