
Latar Belakang
Pertumbuhan jumlah investor kripto di Indonesia mengalami lonjakan yang cukup signifikan yaitu mencapai 18.081.309 orang pada bulan Agustus 2025 dari sebelumnya 13.309.201 orang pada bulan Februari 2025 dengan nilai transaksi mencapai 52,46 triliun rupiah pada bulan Juli 2025.Selanjutnya pada bulan April 2025, salah satu kripto yaitu bitcoin menjadi aset ke-5 terbesar di dunia setelah Emas, Apple, Microsoft dan Nvidia. Data tersebut menunjukkan bahwa kripto sepeti bitcoin dipercaya oleh masyarakat sebagai salah satu pilihan investasi karena dalam perkembangannya kripto menjadi instrumen multi fungsi yang dapat digunakan sebagai alternatif alat tukar, alat pembayaran dan penyimpan nilai (store of value) bahkan bitcoin disebut sebagai “emas digital” karena sifatnya yang konvertibel terhadap berbagai mata uang fiat, walaupun di beberapa negara, kripto dilarang digunakan sebagai alat pembayaran.
Di Indonesia, saat ini pemerintah telah mengkategorikan kripto sebagai aset “keuangan digital” dan mendefinisikan kripto sebagai “representasi digital dari nilai yang dapat disimpan dan ditransfer menggunakan teknologi yang memungkinkan penggunaan buku besar terdistribusi seperti blockchain” dari definisi sebelumnya yaitu “komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital”.Selain itu pada tahun 2024 kewenangan pengawasan sepenuhnya beralih dari sebelumnya oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun hingga sekarang belum terdapat kejelasan mengenai aset kripto ini apakah termasuk benda/ kekayaan dalam hukum perdata di Indonesia mengingat dengan pertumbuhan investor dan volume perdagangan tersebut kripto berpotensi sebagai obyek sengketa keperdataan di masa mendatang.
Hal tersebut memunculkan isu fundamental yaitu apakah kripto merupakan benda atau kekayaan/property dalam hukum perdata di Indonesia? dan isu selanjutnya tentunya mengenai kompleksitas eksekusi aset kripto apabila sebagai benda/kekayaan(property). Dalam konteks perkembangan ekonomi digital hal tersebut urgen untuk dikaji mengingat hukum harus bersifat adaptif dan responsif terhadap dinamika masyarakat agar tidak tertinggal dari perkembangan zaman. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa konsep benda/kekayaan(property) dalam hukum perdata Indonesia dikaitkan eksistensi kripto sebagai aset digital dengan menyajikan beberapa kasus konkret di Indonesia, Singapura dan Selandia Baru agar terbuka wacana pembaruan hukum perdata Indonesia yang ideal dengan perkembangan inovasi teknologi aset digital.
Eksistensi Aset Kripto Dalam Konsep Benda/Kekayaan dalam Hukum Perdata di Indonesia
Secara umum kripto merupakan inovasi dalam dunia ekonomi digital yang dibangun menggunakan teknologi bernama blockchain yaitu sistem teknologi yang aman dan terbuka dengan fungsi untuk merekam, menciptakan dan mengelola transaksi, tidak dikendalikan oleh otoritas pusat, sifat transaksinya terdesentralisasi. Aset kripto dapat dikuasai oleh pemiliknya melalui sistem dompet digital (wallet) yang berbasis pada penguasaan kunci privat/private key dan catatan kepemilikan aset kripto berikut dengan transaksinya tersimpan dalam jaringan blockchain yang tersebar di ribuan komputer di seluruh dunia secara desentralisasi atau tidak ada otoritas sentral yang mengontrolnya. Pada tahun 2023, kripto dalam penjelasan pasal 213 huruf h UU No.4 Tahun 2023 termasuk dalam aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital dan dalam Hal pasal 1 butir 6 POJK No.27 Tahun 2024 kripto didefinisikan sebagai “representasi digital dari nilai yang dapat disimpan dan ditransfer menggunakan teknologi yang memungkinkan penggunaan buku besar terdistribusi seperti blockchain untuk memverifikasi transaksinya dan memastikan keamanan dan validitas informasi yang tersimpan, tidak dijamin oleh otoritas pusat seperti bank sentral tetapi diterbitkan oleh pihak swasta, dapat ditransaksikan, disimpan, dan dipindahkan atau dialihkan secara elektronik, dan dapat berupa koin digital, token, atau representasi aset lainnya yang mencakup aset kripto terdukung (backed crypto-asset) dan aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto-asset)”.
Eksistensi kripto sebagai aset digital yang diperdagangkan berpotensi menimbulkan sengketa antara pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas perdagangan kripto. Sebagai contoh pernah ada 2 sengketa berkaitan dengan aset kripto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yaitu pertama dalam perkara Nomor 2/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel yang pokok sengketanya berawal dari penghentian aktifitas perdagangan/delisting aset kripto Vidy dan Vidyx. Kedua dalam perkara Nomor 605/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel yang pokok sengketanya timbul dari adanya pemblokiran/banned akun oleh pedagang aset kripto karena adanya aktivitas transaksi aset kripto IDTC dengan harga aset kripto LUNA. Potensi sengketa lainnya adalah berkaitan dengan konsep jaminan umum (1131 KUHPerdata) yaitu apabila seseorang oleh pengadilan diputus untuk membayar sejumlah uang namun aset yang dimiliki hanyalah kripto. Di Singapura, Putusan Pengadilan Tinggi Singapura dalam perkara CLM v CLN (2022) SGHC 46 pada salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa kripto merupakan property/kekayaan dengan mengutip Putusan Pengadilan Tinggi Selandia Baru dalam perkara Ruscoe v Cryptopia.Ltd (2020) NZHC 728 yang memutuskan bahwa kripto dapat menimbulkan kepentingan kepemilikan karena memenuhi kriteria Ainsworth yaitu: 1)Definable/dapat didefinisikan, 2)Identifiable by third parties/dapat diidentifikasi oleh pihak ketiga, 3)Capable of Assumption by Third Parties/dapat dialihkan ke pihak lain, 4)Some Degree of Permanence or Stability/memiliki tingkat keberlangsungan atau stabilitas. Secara eksplisit pengadilan tinggi di Singapura dalam kasus CLM v CLN menerapkan pendekatan konsep traditional Ainsworth criteria dalam tradisi common law untuk menentukan apakah aset kripto merupakan property/kekayaan.
Dalam hukum perdata di Indonesia, konsep benda/kekayaan mengacu pada pasal 499 KUHPerdata yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Adapun definisi hak milik dijelaskan dalam pasal 570 KUHPerdata yaitu hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Selanjutnya pasal 503 KUHPerdata disebutkan tiap-tiap kebendaan adalah berwujud (tangible) atau tak berwujud (intangible). Memperhatikan karakteristik kripto sebagai aset digital mempunyai nilai ekonomis, dapat diperdagangkan, dapat dikonversikan dalam mata uang fiat, transaksinya tercatat dalam teknologi blockchain dan penguasaanya melalui privatekeys pada wallet pemiliknya maka relevan dengan konsep benda/kekayaan pada hukum perdata di Indonesia, yaitu sebagai benda tidak berwujud (intangible) karena tersimpan dalam wallet, dapat dipindahkan dan aktivitas pemindahan tercatat pada sistem blockchain serta penguasaan kripto dalam wallet melalui privatekeys, sehingga dalam konsep hukum perdata Indonesia aset kripto dapat dikategorikan sebagai benda/kekayaan.
Kompleksitas Pelaksanaan Eksekusi Aset Kripto Di Indonesia
Implikasi aset kripto sebagai benda/kekayaan adalah dalam penegakan hukumnya apabila ada sengketa keperdataan. Sifat intangible dengan penyimpanan secara digital merupakan tantangan bagi Pengadilan untuk melaksanakan sita maupun eksekusi. Mekanisme sita atau eksekusi lebih mudah dan sederhana dilaksanakan apabila aset kripto masih disimpan dalam wallet pedagang aset kripto/custodial wallet karena berdasarkan pasal 99 POJK 27/2024 dimungkinkan penyelenggara perdagangan aset keuangan digital berdasarkan prinsip travel rule untuk melakukan tindakan yang diperlukan seperti pembekuan, dan melarang transaksi kripto sehingga Pengadilan melalui putusannya dimungkinkan untuk memerintahkan penyelenggara perdagangan aset kripto untuk melakukan pembekuan akun dan memindahkan kripto yang masih berada custodial wallet ke wallet khusus yang diotorisasi Negara untuk menampung sementara kripto yang telah disita sebelum dilakukan eksekusi penjualan lelang pada Bursa Aset Keuangan Digital. Tantangan yang lebih kompleks apabila aset kripto sudah berpindah dari custodial wallet dan disimpan dalam cold wallet seperti trezor,ledger,dll ataupun hot wallet seperti metamask, phantom, dll yang sifatnya psudonim/anonym dengan privatkeys yang penguasan/kontrol sepenuhnya ada pada pemiliknya karena privatkeys tersebut hanya diketahui pemiliknya. Dengan demikian Pengadilan hanya terbatas dengan perintah kepada pemilik wallet menyerahkan privatekeys-nya untuk selanjutnya dilaksanakan mekanisme sita ataupun eksekusi aset kriptonya dan belum tentu pemilik aset kripto patuh serta bersedia dengan sukarela menyerahkan privatekeys-nya apabila tidak ada regulasi berkaitan dengan upaya paksa dalam pelaksanaan sita ataupun eksekusi kripto tersebut.
Penutup
Eksistensi aset kripto sebagai salah satu benda/harta kekayaan dalam hukum perdata merupakan isu konseptual dalam perkembangan teknologi dengan masifnya pertumbuhan investor kripto saat ini sehingga diperlukan pembaruan hukum perdata di Indonesia berkaitan dengan status kripto sebagai benda/kekayaan termasuk juga mengenai instrumens, mekanisme dan prosedur teknis diantaranya dalam hal penyitaan dan eksekusinya. Mengingat karakteristik kripto yang kompleks, pembaruan hukum berkaitan dengan aset kripto memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak diantaranya Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas perdagangan aset digital, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan perdagangan aset keuangan digital, ahli dan praktisi di bidang inovasi teknologi sektor keuangan untuk menyusun instrumen agar terjadi harmonisasi antara kepastian hukum dan perkembangan teknologi aset digital seperti kripto dalam penegakan hukum perdata di Indonesia.
Referensi
[1]Otoritas Jasa Keuangan. (2025, October 6). Statistik Penyelenggara Perdagangan AKD AK Periode Agustus 2025. https://ojk.go.id/id/Statistik/ITSK/Statistik-Aset-Keuangan-dan-Aset-Kripto/Pages/Statistik-Penyelenggara-Perdagangan-AKD-AK-Periode-Agustus-2025.aspx.
[2]Tradingview.(2025,April 23). Bitcoin enters world’s top 5 largest assets, surpassing Google, Silver, Amazon. https://www.tradingview.com/news/cointelegraph:953c94ce9094b:0-bitcoin-enters-world-s-top-5-largest-assets-surpassing-google-silver-amazon/
[3]Aulia Norman, C. (2025, Maret 31.). Transformasi Hukum Aset Kripto di Indonesia: Analisis Komparatif dengan Malaysia Mengenai Pergeseran dari Komoditas ke Instrumen Keuangan. Padjadjaran Law Review, 13(1), 2025. https://doi.org/10.56895/plr.v13i1.2214
[4]Samudra, T. B., & Rahadiyan, I. (2025). Legal Protection for Crypto Asset Customers in Indonesia Against Investment Losses in Botxcoin. Journal of Private and Commercial Law, 1–25. https://doi.org/10.20885/jpcol.vol2.iss1.art1
[5]Wijaya, G. (2025). Rekontruksi Konsep Kekayaan Dalam Hukum Keperdataan: Kajian Terhadap Status Hukum Aset Kripto Di Indonesia. In Jurnal Multilingual (Vol. 5, Issue 1). 516-529.
[6]Sutedja, A. (2025). Peran Hukum Perdata Dalam Mengatur Perkembangan Kripto Aset Di Indonesia. In Jurnal Multilingual (Vol. 5, Issue 1). 530-538.
[7]William, J., & Urbanisasi, U. (2025). Analisis Yuridis terhadap Kedudukan Cryptocurrency sebagai Objek Hukum dalam Hukum Perdata Indonesia. RIGGS: Journal of Artificial Intelligence and Digital Business, 4(2), 4657–4662. https://doi.org/10.31004/riggs.v4i2.1300
[8]Lahay, N. R. C., Nur Mohamad Kasim, & Sri Nanang Meiske Kamba. (2025). Transformasi Konsep Kebendaan dalam Era Digital: Dekonstruksi Status Hukum Aset Kripto sebagai Objek Perdata Modern di Indonesia. Judge : Jurnal Hukum, 727-739. https://doi.org/10.54209/judge.v6i03.1592
[9]Hamzah, A. Z. (2022). Recognising Cryptocurrencies As Property? CLM V CLN. In Singapore Journal of Legal Studies. 474–484. https://www.jstor.org/stable/27250324