EKSEKUSI DAN UPAYA HUKUM PERLAWANAN: MENAKAR BATAS PENUNDAAN EKSEKUSI DALAM PARTIJ VERZET DAN DERDEN VERZET

16 December 2025 | Christopher E. G. Hutapea
Christopher E. G. Hutapea

format_quote

Latar Belakang

Eksekusi merupakan tahap akhir proses peradilan perdata, di mana putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) diwujudkan nyata. Namun, pelaksanaan eksekusi sering tidak lancar dan bahkan harus dipaksa karena pihak kalah enggan melaksanakan putusan. [1] Pelaksanaan tersebut kerap tertunda oleh alasan yuridis maupun administratif, sehingga menimbulkan ketegangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak.

Berdasarkan Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI (selanjutnya disebut Pedoman Eksekusi Badilum), penangguhan eksekusi dapat dilakukan dalam kondisi tertentu, antara lain karena adanya verzet terhadap putusan verstek, perlawanan pihak ketiga terhadap objek eksekusi, permohonan peninjauan kembali yang sangat mendasar, ketidaksesuaian objek eksekusi dengan keadaan lapangan, adanya perdamaian antar pihak, atau pertentangan antara putusan perdata dan pidana. [2]

Pedoman tersebut memberi kerangka administratif jelas, namun membuka ruang interpretasi luas bagi Ketua Pengadilan Negeri. Tidak jarang, perlawanan atau bantahan dijadikan dasar untuk menunda eksekusi tanpa penilaian terhadap kelayakan dan substansinya. Padahal, apabila perlawanan atau bantahan tersebut dinilai hanya untuk mengulur waktu, Ketua Pengadilan dapat tetap memerintahkan eksekusi, meskipun pelawan ataupun pembantah mengajukan keberatan kembali. [3]

Fenomena ini bukan hanya bersifat kasuistis. Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2024 mencatat beban perkara perlawanan pihak ketiga (derden verzet) sebesar 1.746 perkara dengan tingkat penyelesaian 66,32%, menunjukkan bahwa instrumen ini secara empiris menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran eksekusi. Data PERKUSI Badilum juga menunjukkan banyak eksekusi tertunda karena perlawanan atau bantahan, sehingga persoalan ini merupakan beban struktural, bukan kejadian insidental.

Persoalan mendasar kemudian muncul: perlawanan ataupun bantahan seperti apa yang patut ditunggu sebelum eksekusi dijalankan, dan perlawanan atau bantahan mana yang tidak seharusnya menghalangi pelaksanaan putusan?

Partij Verzet dan Derden Verzet

Partij verzet diatur dalam Pasal 129 HIR dan Pasal 153 RBg, yang pada prinsipnya memberikan hak kepada pihak yang dikalahkan dalam putusan verstek untuk mengajukan perlawanan dalam tenggang waktu empat belas hari sejak putusan diberitahukan kepadanya. Jika pemberitahuan tidak dilakukan langsung, perlawanan masih dapat diajukan dalam jangka waktu delapan hari setelah adanya aanmaning, atau sampai dengan hari keempat belas terhitung sejak pelaksanaan surat perintah penyitaan dilakukan. [4]

Selama tenggang waktu tersebut, putusan belum berkekuatan tetap sehingga eksekusi tidak dapat dijalankan hingga pemeriksaan perlawanan selesai. Namun, jika perlawanan diajukan setelah lewat tenggang waktu atau terhadap putusan yang sudah inkracht, maka eksekusi dapat diajukan dan tidak perlu ditunda karena perlawanan demikian tidak lagi sah secara hukum.

Dalam praktik peradilan, terdapat pula bentuk partij verzet yang tidak didasarkan pada alasan ketidakhadiran. Pedoman Eksekusi Badilum menegaskan bahwa partij verzet dengan alasan demikian pada asasnya dapat menjadi dasar penundaan eksekusi, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR/Pasal 211 RBg jo. Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg. Keadaan tersebut antara lain ketika penyitaan dilakukan terhadap barang yang tidak dapat disita menurut hukum, syarat penyitaan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat kelebihan objek yang disita melebihi amar putusan, atau ketika pelawan mendalilkan bahwa amar putusan telah dipenuhi. Dalam hal demikian, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunda eksekusi guna memverifikasi alasan yang diajukan. Namun, di luar keadaan-keadaan tersebut, eksekusi tidak seharusnya dihentikan hanya karena adanya perlawanan yang tidak berdasar atau diajukan setelah lewat tenggang waktu yang sah.

Apabila perlawanan bergeser menjadi klaim kepemilikan baru terhadap objek yang telah diputus, maka secara substansi seharusnya dikualifikasikan sebagai ne bis in idem, atau setidaknya dianggap tidak memenuhi syarat formil untuk diajukan sebagai perlawanan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (8) HIR/Pasal 211 RBg jo. Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg, sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Perlawanan demikian tidak patut menunda eksekusi karena tidak lagi menyasar prosedur, melainkan mengulang pokok sengketa yang telah berkekuatan tetap. Dalam konteks ini, asas litis finiri oportet—bahwa setiap perkara harus ada akhirnya—seharusnya menjadi prinsip yang dijaga agar tidak terjadi pembiaran terhadap pelanggaran kepastian hukum.

Sementara itu, derden verzet diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, Pasal 206 ayat (6) RBg, dan Pasal 378 Rv. Pada prinsipnya, pihak ketiga dapat mengajukan bantahan terhadap eksekusi apabila pelaksanaan putusan tersebut secara nyata mengganggu atau merugikan hak-haknya yang sah. Hal ini sejalan dengan ketentuan hukum acara perdata yang secara expressis verbis membuka ruang bagi pihak di luar perkara untuk mengajukan perlawanan sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan hukumnya. [5]

Pada dasarnya tidak setiap derden verzet dapat menunda pelaksanaan eksekusi. Penundaan pelaksanaan eksekusi hanya layak dilakukan apabila dari pemeriksaan awal telah tampak bahwa bantahan tersebut beralasan dan didukung oleh bukti permulaan yang cukup, atau menunjukkan adanya hak keperdataan yang sah dan lebih dahulu lahir dibandingkan hak pihak pemenang perkara—misalnya berdasarkan bukti kepemilikan yang sah, akta jual beli, hak sewa, atau hak tanggungan yang masih berlaku. Namun, apabila bantahan diajukan tanpa dasar hak yang jelas, tidak menunjukkan kepentingan hukum yang nyata, atau tampak semata-mata bertujuan menunda pelaksanaan putusan, Ketua Pengadilan Negeri berwenang melanjutkan eksekusi tanpa menunggu hasil pemeriksaan perkara bantahan.

Dengan demikian, partij verzet pada hakikatnya berkaitan dengan koreksi terhadap proses atau prosedur pelaksanaan putusan, sedangkan derden verzet berfungsi melindungi hak-hak keperdataan pihak ketiga yang tidak menjadi subjek dalam perkara pokok. Apabila keberatan tersebut dinilai beralasan, maka putusan atau penetapan yang menjadi objek perlawanan atau bantahan kehilangan kekuatan eksekutorialnya. Sebaliknya, apabila perlawanan atau bantahan tidak diterima atau ditolak, maka terdapat kepastian hukum bahwa eksekusi dapat tetap dilanjutkan. [6]

Revitalisasi Koordinasi Peradilan dan Arah Pembaruan Hukum Eksekusi Perdata

Permasalahan utama dalam praktik eksekusi perdata tidak hanya terletak pada kekosongan norma, tetapi juga pada lemahnya koordinasi internal antara Majelis Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri serta ketidakseragaman interpretasi terhadap ketentuan yang ada. Pedoman Eksekusi Badilum dan Buku II Mahkamah Agung memberikan arah umum pelaksanaan eksekusi, tetapi penerapannya sangat bergantung pada kebijakan masing-masing pengadilan.

Salah satu bentuk revitalisasi ini adalah memperkuat mekanisme verifikasi pendahuluan sebelum eksekusi ditunda. Mekanisme ini dapat diintegrasikan dengan ketentuan dalam Buku II MA, yang mengisyaratkan pentingnya pelaporan perkembangan perkara oleh Majelis Hakim kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam hal adanya perlawanan pihak ketiga, agar Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan apakah eksekusi akan diteruskan atau ditunda [7]. Ketua Pengadilan Negeri dapat melakukan telaah cepat berdasarkan laporan awal Majelis Hakim untuk menilai secara prima facie apakah alasan perlawanan layak menunda eksekusi. Ke depan, mekanisme ini dapat diperkuat dengan kewajiban melampirkan bukti permulaan yang bersifat otentik saat pendaftaran perlawanan, sehingga penilaian dapat dilakukan lebih cepat dan lebih terukur.

Untuk mencegah pengajuan perlawanan atau bantahan yang tidak beritikad baik, perlu dipertimbangkan pemberlakuan konsekuensi biaya tambahan bagi pihak yang perlawanan atau bantahannya dinyatakan tidak beralasan. Biaya tersebut dapat berupa biaya administratif eksekusi atau biaya proses yang timbul akibat penundaan eksekusi. Pendekatan ini bersifat preventif dan proporsional serta mendorong para pihak mengajukan perlawanan yang benar-benar berdasar. Dengan demikian, hanya perlawanan yang sah dan relevan yang dapat menunda pelaksanaan eksekusi, sementara perlawanan yang tidak berdasar harus segera disisihkan demi menjaga asas kepastian hukum dan efektivitas peradilan.

Selanjutnya, arah pembaruan hukum eksekusi perdata perlu difokuskan pada pembentukan regulasi nasional yang lebih komprehensif untuk menyatukan tafsir dan prosedur pelaksanaan eksekusi di seluruh Indonesia. Dalam jangka pendek, penyusunan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dapat menjadi langkah strategis untuk memberikan pedoman teknis yang seragam terkait pelaksanaan dan penundaan eksekusi. Namun, dalam jangka panjang, pembentukan undang-undang tentang eksekusi perdata menjadi kebutuhan mendesak agar pelaksanaan eksekusi memiliki dasar hukum yang kuat, terstruktur, dan berlaku secara nasional.

Penutup

Sampai regulasi yang lebih pasti mengenai pelaksanaan eksekusi terbentuk, pengadilan seyogianya menjadikan Pedoman Eksekusi Badilum dan Buku II MA sebagai acuan utama. Prinsip yang harus dijunjung adalah bahwa penundaan eksekusi hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang benar-benar jelas dan sah menurut hukum, sedangkan perlawanan atau bantahan yang tidak beralasan tidak dapat menghentikan pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Koordinasi antara Majelis Hakim pemeriksa perkara perlawanan atau bantahan dengan Ketua Pengadilan Negeri perlu terus diperkuat sebagai wujud kendali yudisial atas proses administratif eksekusi. Hanya partij verzet yang diajukan tepat waktu dan berkaitan dengan aspek prosedural pelaksanaan putusan yang patut menunda eksekusi, sementara derden verzet hanya layak menunda eksekusi apabila pembantah dapat membuktikan hak keperdataan yang sah atas objek sengketa.

Dengan batasan tersebut, keseimbangan antara perlindungan pihak ketiga dan kepastian hukum dapat terjaga, sehingga adagium justice delayed is justice denied tidak sekadar menjadi semboyan, melainkan menjadi prinsip operasional bagi pengadilan dalam menegakkan keadilan secara efektif dan konsisten.

Referensi

[1] W. Kasim, “Analisis Hukum Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Perdata yang telah Berkekuatan Hukum Tetap.” [Online]. Available: https://journal.umgo.ac.id/index.php/JPPE

[2] D. Jenderal Badan Peradilan Umum, “Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri,” 2019.

[3] M. A. Yustianing, V. D. Damayanti, M. Kristanti, K. Rt, / Rw, and S. Gatak, “Tinjauan Perlawanan untuk Menunda Eksekusi dalam Sengketa Perdata (Studi Kasus Perkara No: 8/Pdt.Plw/2000/Pn Probolinggo),” 2014.

[4] F. Nugroho and N. A. Sinaga, “Mekanisme Upaya Hukum Verzet terhadap Putusan Verstek dalam Hukum Acara Perdata,” Lex Laguens: Jurnal Kajian Hukum dan Keadilan vol. 3, pp. 188–203, [Online]. Available: https://jurnal.dokterlaw.com/index.php/lexlaguens

[5] J. Alexander Wewo, “Perlawanan Pihak Ketiga Terhadap Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap,” vol. 13, no. 2, pp. 433–442, 2023.

[6] N. Fatmawati Octarina and I. Yustiana, “Pelaksanaan Verzet terhadap Eksekusi dalam Perkara Perdata,” vol. 6, 2022.

[7] S. Retnaningsih, Y. Agus Setyono, and M. Rizqi Alfarizi Ramadhan, “Pertimbangan Hukum dalam Perkara Bantahan (Derden Verzet) atas Sengketa Tanah Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018,” no. 1, pp. 78–97, 2024.