
Latar Belakang
Eksekusi putusan perdata merupakan tahap akhir yang menentukan apakah keadilan benar-benar terwujud atau hanya berhenti di atas kertas. Seperti dikatakan Roscoe Pound, “the law in action is the real law, not merely the law in books.” Di Indonesia, banyak putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) namun gagal dieksekusi akibat lemahnya daya paksa negara, perlawanan pihak kalah, dan minimnya koordinasi antar lembaga. Kegagalan tersebut menjadikan eksekusi sebagai ujian nyata bagi supremasi hukum.
Putusan yang telah inkracht seharusnya menjadi akhir dari sengketa. Namun kenyataannya, tahap eksekusi justru sering menimbulkan persoalan baru mulai dari obyek yang sulit dieksekusi, penolakan pihak kalah, hingga hambatan administratif. Eksekusi sebagai “mahkota lembaga peradilan” karena keberhasilan pelaksanaan putusan menunjukkan supremasi hukum yang sesungguhnya.[1] Mahkamah Agung sebagai pengendali tertinggi terhadap badan peradilan dibawahnya bertanggung jawab memastikan eksekusi berjalan efektif, adil, dan berwibawa. Melalui penerapan Court Excellence Framework, Mahkamah Agung mendorong peningkatan kualitas pelayanan, kepastian prosedur, dan konsistensi pelaksanaan putusan.
Problematika dan Hambatan Pelaksanaan Eksekusi Riil
Pelaksanaan eksekusi riil menghadapi berbagai macam tantangan ada tiga aspek yang menjadi hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan eksekusi yang pertama dari aspek normatif, administratif, dan sosial. Secara normatif, ketentuan hukum acara perdata di Indonesia masih menyisakan kekosongan. HIR dan RBg tidak mengatur secara rinci mekanisme eksekusi riil, sehingga pengadilan sering hanya berpedoman pada analogi dari RV. Akibatnya, prosedur eksekusi sering bervariasi antar-pengadilan dan rentan terhadap perdebatan tafsir. Kondisi ini menyebabkan pelaksanaan eksekusi kerap melampaui batas objek sengketa atau menimbulkan sengketa baru karena ketidaktepatan verifikasi.[2]
Dari sisi administratif, proses eksekusi sering terkendala oleh belum optimalnya sinergi antara pengadilan, kepolisian, dan Badan Pertanahan Nasional yang menyebabkan proses eksekusi sering tertunda.[3] Dengan pihak Badan Pertahanan, pengadilan sangat jarang melakukan koordinasi terkait pelaksanaan eksekusi karena pada prinsipnya pengadilan hanya menjalankan amar putusan yang telah melalui tahap konstatering sebelumnya. Sementara itu, koordinasi dengan pihak kepolisian hanya bersifat permohonan bantuan yang disampaikan secara resmi melalui surat. Segala bentuk biaya yang timbul dari kegiatan pengamanan menjadi tanggung jawab pemohon eksekusi, dan pengadilan tidak turut mengatur atau membiayainya. Dalam praktiknya, respons dari aparat kepolisian tidak selalu bersifat kooperatif, sehingga pelaksanaan eksekusi kerap mengalami penundaan atau hambatan di lapangan Banyak kasus menunjukkan pelaksanaan eksekusi terhambat karena ketidakhadiran pihak tereksekusi dalam aanmaning, permohonan penundaan, hingga konflik data kepemilikan objek.[4] Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaksanaan eksekusi dilakukan terhadap lahan di luar amar putusan, menimbulkan pelanggaran prinsip res judicata dan potensi pelanggaran hak perdata.[5]
Akar Masalah dalam Perspektif Sistem Hukum
Kompleksitas pelaksanaan eksekusi perdata mencerminkan ketidakseimbangan dalam sistem hukum kita. Substansi hukum yang belum diperbarui, struktur kelembagaan yang belum terintegrasi, serta kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah, semuanya berkontribusi terhadap sulitnya pelaksanaan eksekusi riil. Pada tingkat substansi, ketentuan mengenai eksekusi riil masih tersebar dan bersifat parsial. Tidak ada norma tunggal yang menegaskan standar operasional, batas objek, atau perlindungan bagi pelaksana eksekusi. Pada sisi struktur, minimnya pelaksana eksekusi yang profesional dan terlatih membuat pelaksanaan bergantung pada inisiatif masing-masing pengadilan. Sedangkan pada tataran kultur hukum, sebagian masyarakat masih memandang eksekusi sebagai bentuk penindasan, bukan penegakan hukum. Dengan demikian, kegagalan eksekusi riil bukan hanya masalah hukum acara, tetapi indikasi belum terbangunnya sinergitas penegakan hukum perdata yang solid dan terkoordinasi.
Pembaruan Sistem Hukum Eksekusi Perdata
Untuk mengurai kompleksitas tersebut, diperlukan langkah pembaruan sistem hukum eksekusi secara menyeluruh tidak hanya pada aspek prosedural, tetapi juga kelembagaan, teknologi, dan sosial.
Reformulasi Regulasi dan Standar Prosedur
Diperlukan pembaruan hukum acara perdata yang secara eksplisit mengatur mekanisme eksekusi riil secara komprehensif, mulai dari tahap pra-eksekusi, pelaksanaan di lapangan, hingga pelaporan pasca-eksekusi. Reformulasi ini harus menegaskan prinsip kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap tindakan eksekutorial. Tahap pra-eksekusi perlu mencakup verifikasi objek, pemberitahuan publik, serta koordinasi dengan instansi terkait. Dalam proses ini, konstatering oleh Panitera dan Juru Sita menjadi elemen kunci untuk memastikan kesesuaian antara amar putusan dan kondisi faktual di lapangan, sehingga tindakan eksekusi tidak melampaui putusan pengadilan. Selain itu, diperlukan SOP yang mengatur batas kewenangan, mekanisme pengamanan, dan perlindungan hukum bagi pelaksana eksekusi. Penerapan dokumentasi digital dan pelaporan pasca eksekusi akan memperkuat legitimasi dan akuntabilitas proses eksekutorial.
Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia
Pembaruan hukum juga harus berfokus pada sumber daya manusia, khususnya jurusita dan panitera yang menjadi ujung tombak pelaksanaan eksekusi. Kekurangan personel, keterbatasan kemampuan teknis, serta minimnya perlindungan keamanan bagi aparat di lapangan sering menjadi hambatan mendasar. Pelatihan hukum acara, sertifikasi kompetensi eksekusi, hingga penguatan keterampilan mediasi lapangan sangat diperlukan untuk memperkuat peran jurusita sebagai pejabat pelaksana eksekusi yang profesional, berintegritas, dan terlindungi secara hukum.
Integrasi Sistem Informasi Eksekusi
Membangun sistem informasi terintegrasi antara pengadilan, Badan pertanahan, pemerintah daerah, dan aparat keamanan. Basis data bersama mengenai objek eksekusi, status tanah, dan kepemilikan akan meminimalisasi kesalahan administratif serta mempercepat proses verifikasi. Sistem ini juga berfungsi sebagai alat transparansi publik agar masyarakat dapat mengakses status perkara dan jadwal eksekusi secara terbuka. Saat ini Badan Peradilan Umum sudah memiliki aplikasi Pengawasan Elektronik Eksekusi (Perkusi) Aplikasi ini berfungsi untuk memantau dan mengawasi seluruh proses eksekusi perkara perdata di pengadilan umum di seluruh Indonesia, akan tetapi aplikasi ini belum terintegrasi antara pengadilan, Badan pertanahan, pemerintah daerah, dan aparat keamanan;
Pendekatan Sosio-Yuridis dan Mediasi Pra-Eksekusi
Dalam kasus yang berpotensi menimbulkan konflik sosial, perlu diterapkan mekanisme mediasi pra-eksekusi yang difasilitasi oleh pengadilan bersama pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. Pendekatan ini memberi ruang bagi para pihak untuk mencari solusi kemanusiaan tanpa menegasikan amar putusan. Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi tetap berwibawa namun tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.
Penguatan Koordinasi Antarlembaga
Eksekusi riil tidak dapat berdiri sendiri keberhasilannya sangat bergantung pada sinergi lintas lembaga antara pengadilan, kepolisian, pemerintah daerah, dan instansi terkait lainnya. Eksekusi sering kali menyentuh kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga tanpa koordinasi yang baik, potensi konflik horizontal dan gangguan keamanan sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu dibentuk protokol koordinasi nasional yang bersifat baku dan terintegrasi, mencakup kesiapan pengamanan, perencanaan teknis, penentuan rute pelaksanaan, serta strategi komunikasi publik. Protokol ini harus menjamin bahwa setiap tahapan eksekusi dilakukan secara tertib, transparan, dan akuntabel, dengan tetap menjunjung asas kemanusiaan dan keadilan sosial.
Penerapan Sanksi
Diperlukan instrumen sanksi administratif dan pidana yang tegas terhadap pihak-pihak yang secara sengaja menghambat pelaksanaan ekskusi. Undang-undang perlu memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengadilan untuk menindak tindakan perlawanan atau penguasaan kembali objek eksekusi yang telah dilelang. Dengan demikian, pengadilan tidak lagi kehilangan marwah ketika berhadapan dengan pihak yang abai dan tidak patuh terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Perlindungan Sosial dan Monitoring Pasca Eksekusi
Pelaksanaan eksekusi terutama terhadap tanah dan hunian tetap, sering menimbulkan dampak sosial yang serius bagi pihak yang kalah. Karena itu, aspek perlindungan sosial perlu menjadi bagian dari kebijakan eksekusi perdata. Untuk mencegah konflik dan menjaga rasa kemanusiaan, perlu diatur mekanisme kompensasi atau relokasi bagi pihak terdampak, terutama dalam perkara yang menyangkut tanah adat atau permukiman masyarakat. Dalam praktiknya, pihak yang menang kadang memberikan uang pengganti atau kompensasi agar pihak yang kalah dapat pindah secara sukarela dan menata kembali kehidupannya. Langkah ini, meski bukan kewajiban yuridis, mencerminkan pendekatan kemanusiaan dalam penegakan hukum. Selain itu, pengadilan perlu menerapkan sistem monitoring pasca eksekusi untuk memastikan tidak muncul sengketa lanjutan.
Penutup
Kompleksitas eksekusi perdata di Indonesia mencerminkan kesenjangan antara idealitas hukum dan realitas sosial. Ketika putusan inkracht gagal dilaksanakan, hukum kehilangan marwah dan wibawanya sebagai instrumen keadilan. Karena itu, pembaruan hukum acara mengenai eksekusi harus melampaui aspek normatif menuju sistem yang modern, terukur, dan berkeadilan. Melalui reformasi struktural, profesionalisme aparatur, dan regulasi yang adaptif, Mahkamah Agung dapat mengembalikan eksekusi perdata sebagai “mahkota peradilan” dan simbol supremasi hukum di Indonesia.
Referensi
[1] W. Karya, “Eksekusi sebagai Mahkota Lembaga Peradilan,” J. Tana Mana, vol. 4, no. 1, pp. 292–302, 2023, [Online]. Available: https://ojs.staialfurqan.ac.id/jtm/article/view/299
[2] B. Yang and D. I. Eksekusi, “Exceed the Limits of the Executed Artikel,” vol. 4, no. September, pp. 196–212, 2022.
[3] Muhammad Fadhilah, “Tinjauan Hukum Pelaksanaan Eksekusi Riil Dalam Putusan Peradilan Perdata,” J. Law (J. Ilmu Huk.), vol. 7, no. 1, pp. 875–888, 2021, [Online]. Available: http://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/DD/article/view/5608
[4] H. Kusmayanti and S. Y. Hawari, “Praktik Eksekusi Riil Tanah Milik Masyarakat Adat Sunda Wiwitan,” Sasi, vol. 26, no. 3, p. 341, 2020, doi: 10.47268/sasi.v26i3.285.
[5] B. S. P. Setiawan, Gilang, Shailawa Ramb Madani, “Pelaksanaan Eksekusi Riil terhadap Tanah dan Bangunan dalam Penyelesaian Perkara Perdata (Studi Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Madiun Kelas 1B Nomor 02 / Pen . Pdt . Eks / 2021 / PN Mad ) Shailawa Ramb Madani Lintang Yudhantaka How to cite : Gilang Se,” Sultan Jurisprudance J. Ris. Ilmu Huk., vol. 3, no. 1, pp. 1–7, 2023.