Tantangan Transformasi Paradigma Hakim terhadap Penerapan Pidana Denda dalam KUHP Nasional pada Tindak Pidana Ringan

13 August 2025 | Hanif Ibrahim Mumtaz
Hanif Ibrahim Mumtaz

format_quote

Latar Belakang

Alah bisa karena biasa”, pepatah Melayu ini cocok untuk menggambarkan bagaimana Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lama telah mengakar dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia. Pasal-pasal KUHP bahkan telah menjadi bagian dari kosakata umum, seperti ungkapan "di-263-kan" untuk menggambarkan peniruan tanda tangan, atau bahkan Pasal 378 yang diabadikan dalam lagu "Anak Medan" karya Lamtama Trio.

Akan tetapi, sejak diundangkannya KUHP Nasional pada tanggal 2 Januari 2023, keakraban masyarakat Indonesia terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana tersebut menghadapi tantangan. Pasal 362 KUHP Nasional bukan lagi memuat ketentuan delik pencurian, Pasal 378 bukanlah pula mengenai delik penipuan. Lebih dari hal-hal superfisial tersebut, KUHP Nasional turut pula membawa perubahan mendasar dalam hal pemidanaan, yaitu memperkenalkan pidana pokok berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, serta pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan adanya perubahan ini, bukan hanya masyarakat awam yang akan mengalami tantangan pergeseran norma, akan tetapi juga praktisi hukum, termasuk Hakim, akan dihadapkan pada paradigma baru dalam memberikan ganjaran terhadap suatu perkara pidana.

Dalam tulisan ini, Penulis hendak mendalami mengenai ketentuan pidana denda yang mengalami elaborasi yang signifikan dalam KUHP Nasional. Ketertarikan tersebut didasari potensi tantangan yang muncul dari hubungan antara limitasi pemidanaan perkara Tindak Pidana Ringan yang hanya dapat dijatuhi denda, dengan kecenderungan (cognitive bias) hakim untuk menjatuhkan pidana badan (incarceration). Untuk mengurai dan menjawabnya, penulis hendak mengajukan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: pertama, bagaimanakah perbandingan kerangka regulasi yang tersedia bagi hakim dalam penjatuhan pidana pada perkara tindak pidana ringan pada KUHP lama maupun KUHP Nasional? Kedua, bagaimanakah tantangan transformasi paradigma hakim terhadap penjatuhan pidana denda pada tindak pidana ringan? Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi perbandingan kerangka regulasi tindak pidana ringan antara KUHP lama dan KUHP Nasional yang memfokuskan pada pidana denda, serta mengulas teori judicial predisposition yang dapat menjadi tantangan bagi adaptasi paradigma baru dalam pemidanaan perkara tindak pidana ringan.

Tindak Pidana Ringan Pra dan Pasca KUHP Nasional

Ketentuan mengenai tindak pidana ringan, selanjutnya disingkat “Tipiring”, diatur dalam dimensi hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil. Dimensi hukum acara pidana dari tindak pidana ringan diatur dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 210 KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) sedangkan dalam Draf RUU KUHAP diatur dalam Pasal 242 sampai dengan Pasal 251. Sedangkan mengenai hukum pidana materiilnya, delik Tipiring tersebar di dalam KUHP, antara lain pada Pasal 364 (Pencurian Ringan), Pasal 352 (Penganiayaan Ringan), dan sebagainya.

Salah satu perbedaan yang kontras pada pengaturan Tipiring pada KUHP Nasional dibandingkan dengan KUHP lama adalah pada ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap terdakwa dalam perkara Tipiring tersebut. Sebagai contoh, delik Pencurian Ringan pada KUHP lama diancam dengan pidana penjara selama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah. Lebih jauh, praktik peradilan mengadopsi Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang mengamanatkan untuk ancaman denda dalam KUHP dikalikan 1.000 (seribu) dari apa yang tertulis pada ketentuan KUHP karena denda yang ditentukan dipandang terlalu kecil dan tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

Ketentuan pemidanaan tersebut berubah secara radikal dalam KUHP Nasional, di mana menurut Pasal 478 KUHP Nasional pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku Pencurian Ringan adalah Pidana Denda maksimum Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Lebih rinci lagi, model ancaman pidana denda pada delik pidana dalam KUHP Nasional dituliskan dalam bentuk “kategori”. Terdapat kategori I sampai dengan kategori VIII dengan masing-masing nominalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 79 KUHP Nasional. Pengaturan denda yang mengalami pembaruan dan perincian ini merupakan hal menarik untuk didalami lebih lanjut.

Pembaruan ketentuan Pidana Denda dalam KUHP Nasional

KUHP Nasional menggariskan ketentuan baru mengenai denda secara lebih komprehensif melalui Pasal 78 sampai dengan Pasal 84. Perubahan paling mendasar terdapat pada kategorisasi denda yang memperkenalkan kategorisasi denda, mulai dari kategori I (paling banyak Rp1.000.000,00) sampai dengan kategori VIII (paling banyak Rp50.000.000.000,00). Kategorisasi ini menciptakan koridor yang memudahkan bagi hakim dalam penjatuhan pidana denda. Ketentuan denda juga dilengkapi keterangan pada Pasal 80 bahwa hakim harus mempertimbangkan kemampuan finansial terdakwa dalam membayarkan denda tersebut. Bahkan berdasarkan Pasal 81 denda tersebut dapat dibayar dengan diangsur dan ditekankan agar denda tersebut dapat terbayar dengan cara melelang harta kekayaan terpidana. Pengenaan kurungan pengganti baru dilaksanakan setelah pelelangan kekayaan atau pendapatan tidak cukup untuk membayar denda tersebut.

Komitmen KUHP Nasional terhadap proporsionalitas juga tercermin dari Pasal 82 dan Pasal 83 yang memperinci pengganti dari denda yang tidak mampu dibayar oleh terpidana, di mana Pasal 82 mengatur pengganti atas denda yang tidak melebihi pidana denda kategori II, sedangkan Pasal 83 menjelaskan pidana pengganti atas denda di atas kategori II. Sedangkan Pasal 84 memberi pedoman pemidanaan pengganti denda bagi pelaku tindak pidana berulang. Berbagai ketentuan tersebut penting untuk mencegah suatu tindak pidana ringan diganjar masa penjara yang panjang hanya karena ketidakmampuan ekonomi terpidana untuk membayar denda. Hal tersebut menjadi suatu permasalahan tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain

Judicial Predisposition dan Praktik Penjatuhan Pidana dalam Tindak Pidana Ringan

Konsep Judicial Predisposition sendiri mengacu kepada kecenderungan hakim untuk mengutamakan jenis-jenis hukuman tertentu berdasarkan pelatihan, pengalaman, dan budaya hukum yang pernah dialami oleh individu hakim tersebut . Setelah lebih dari seratus tahun KUHP digunakan dalam praktik hukum, hakim-hakim Indonesia seperti terpola untuk melihat pemenjaraan sebagai hukuman paling tepat untuk perilaku kriminal, bahkan untuk tindak pidana ringan. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan terhadap perkara pidana yang substansinya pencurian ringan (kerugian tidak lebih dari Rp2.500.000,00) menerapkan pidana penjara hingga satu tahun (vide putusan Nomor 256/Pid.B/2024/PN Mrb dan Nomor 72/Pid.B/2025/PN Mrb).

Penjatuhan pidana penjara bagi tindak pidana pencurian ringan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh berlakunya Nota Kesepakatan Bersama Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Polri tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif tanggal 17 Oktober 2012 yang mengatur pada Pasal 5 ayat (4) dinyatakan “Pelaku tindak pidana yang berulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) tidak dapat diberlakukan Acara Pemeriksaan Cepat”. Kesepakatan ini kemudian ditindaklanjuti di lapangan praktik dengan turut mengubah penggunaan delik Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP) atau Pencurian Dalam Keadaan Memberatkan (Pasal 363 ayat (1) KUHP) manakala tersangka/terdakwanya adalah orang yang sudah pernah diadili dan dihukum dalam perkara Tipiring. Tatanan ini membuat polisi, jaksa, dan hakim seakan memiliki ruang untuk menghukum seseorang, yang seharusnya dihukum dengan Pasal 364 (ancaman hukuman penjara maksimum 3 bulan), dengan hukuman Pasal 362 (maksimum 5 tahun) atau Pasal 363 ayat (1) (maksimum 7 tahun). Pola yang terbentuk ini akan berangsur-angsur terpatri dalam benak para penegak hukum, terutama hakim sebagai hilir dari perkara tindak pidana ringan tersebut. Sebagaimana konsep judicial predisposition yang telah penulis ulas sebelumnya, kebiasaan mengadili yang sudah terbentuk akan tidak mudah berubah meskipun regulasi menuntut hakim untuk berubah paradigma.

Tantangan transformasi paradigma hakim terhadap penjatuhan pidana denda pada tindak pidana ringan

Pidana penjara sering dipandang sebagai bentuk yang dapat menimbulkan efek jera, padahal pembentukan rasa takut atas ancaman hukuman tersebut tidak selalu efektif karena hal tersebut barulah berupa faktor eksternal dari perasaan jera (deterrence) sedangkan perasaan jera tersebut memiliki dimensi eksternal dan internal . Berkaitan dengan hal tersebut, pidana denda memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pidana penjara, antara lain pidana denda dapat menghindarkan dampak kolateral seperti perpecahan keluarga, gangguan untuk mencari nafkah, dan stigmatisasi sosial yang sering menyertai pemenjaraan . Hal lain yang bisa dihindarkan dari penjatuhan denda dibandingkan penjara adalah pengurangan potensi overcrowding Lembaga Pemasyarakatan, satu hal yang masih menjadi masalah dalam sistem hukum Indonesia . Sekalipun tidak semua orang yang dijatuhi pidana denda hendak sukarela untuk membayarnya dan ada kecenderungan untuk memilih kurungan/penjara pengganti daripada membayar denda , keengganan tersebut dapat dimitigasi oleh kerangka KUHP Nasional yang memuat kewenangan untuk penyitaan harta kekayaan terpidana untuk memenuhi kewajiban membayar denda.

Hakim di Indonesia perlu mawas diri dengan adanya predisposisi pada dirinya. Hakim perlu bertanya kepada dirinya, apakah pola penjatuhan pidana penjara kepada pelaku Tipiring yang selama ini berlangsung sudah tepat? Sehingga, ketika awal tahun 2026 KUHP Nasional dinyatakan berlaku, hakim akan tidak canggung lagi dalam menjatuhkan pidana denda kepada para terdakwa Tipiring yang terbukti bersalah. Jangan sampai hakim menjatuhkan putusan denda dalam perkara Tipiring, akan tetapi dilakukan secara kontraproduktif, yakni menjatuhkan denda dengan nominal terlalu besar yang membuat akhirnya Terdakwa tersebut tidak mampu membayar dan berujung kepada dijalaninya pidana penjara pengganti. Sikap yang demikian akan bertentangan dengan salah satu cita hukum (rechtsidee) KUHP Nasional yaitu pencegahan penjatuhan pidana penjara terhadap perbuatan pidana yang bobot kesalahannya ringan.

Penutup

Transformasi paradigma hakim dalam penerapan pidana denda pada Tipiring merupakan tantangan dalam menyambut pemberlakuan KUHP Nasional. Elaborasi komprehensif terhadap ketentuan pidana denda dalam KUHP Nasional telah memberikan kerangka hukum yang lebih proporsional dan humanis, namun keberhasilannya bergantung pada kesiapan hakim untuk melepaskan judicial predisposition yang telah terbentuk terhadap pidana penjara. Peralihan dari paradigma pemidanaan yang berorientasi pada pemenjaraan menuju pidana denda memerlukan kesadaran kritis dari diri para hakim. Tanpa adanya transformasi paradigma ini, cita dalam KUHP Nasional untuk menciptakan sistem pemidanaan yang lebih adil, proporsional, dan menghindari dampak kolateral pemenjaraan yang tidak perlu, berpotensi mandek.

Referensi

[1] B. Western, “Alexes Harris, A Pound of Flesh: Monetary Sanctions as Punishment for the Poor,” Theor Criminol, vol. 21, no. 2, pp. 247–252, May 2017, doi: 10.1177/1362480617693706.

[2] D. E. Klein and G. Mitchell, “The Psychology of Judicial Decision Making,” The Psychology of Judicial Decision Making, pp. 1–360, May 2010, doi: 10.1093/ACPROF:OSO/9780195367584.001.0001.

[3] H. W. Lee, “Taking Deterrence Seriously: The Wide-Scope Deterrence Theory of Punishment,” Crim Justice Ethics, vol. 36, no. 1, pp. 2–24, Jan. 2017, doi: 10.1080/0731129X.2017.1298879.

[4] Bruce, “The Impact of Incarceration on Wage Mobility and Inequality,” 2002. [Online]. Available: http://www.jstor.orgURL:http://www.jstor.org/stable/3088944Accessed:03-09-201516:38UTC

[5] “Lapas di Indonesia ‘Overcrowded’, Kapasitas 140.000, Penghuninya 265.000 Orang.” Accessed: Apr. 30, 2025. [Online]. Available: https://nasional.kompas.com/read/2024/06/13/07562511/lapas-di-indonesia-overcrowded-kapasitas-140000-penghuninya-265000-orang

[6] M. Ali, M. A. Setiawan, W. Sanjaya, and A. Muliyono, “Is criminal fine in economic legislations effective? Evidence from Indonesia,” Cogent Soc Sci, vol. 8, no. 1, Dec. 2022, doi: 10.1080/23311886.2022.2068270.