TANTANGAN IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 8 TAHUN 2016 DALAM PENEGAKAN KODE ETIK HAKIM

24 February 2025 | Gillang Pamungkas
bruce

format_quote
'Pengawasan melekat bukan sekadar mekanisme kontrol, tetapi fondasi utama dalam menjaga integritas hakim. Tanpa pengawasan yang efektif dan penilaian kinerja berbasis kode etik, kemandirian peradilan akan goyah, dan kepercayaan publik terhadap institusi hukum akan terus tergerus.'

Latar Belakang

Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan [1]. Sikap ini merupakan elemen fundamental bagi setiap hakim dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya untuk memastikan penegakan kode etik, tetapi juga sebagai pondasi utama dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam konteks organisasi, pencapaian tujuan tidak terlepas dari adanya perangkat sistem yang disebut sasaran kinerja. Sasaran kinerja berfungsi memberikan arahan yang jelas serta jalur yang terstruktur bagi setiap organ dalam organisasi.

Pimpinan wajib menetapkan dan menyetujui sasaran kinerja bawahan, serta memberikan penilaian dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan capaian kinerja bawahan[2]. Namun demikian, meskipun sasaran kinerja telah diatur secara formal, hal tersebut tidak sepenuhnya menjamin tercapainya tujuan organisasi tanpa adanya sikap integritas. Di sinilah pentingnya integritas sebagai landasan utama yang mempengaruhi efektivitas implementasi sasaran kinerja dan keberhasilan organisasi secara keseluruhan.

Perma Nomor 8 Tahun 2016 telah secara spesifik mengatur dua elemen utama dalam mewujudkan tujuan organisasi, yaitu penegakan kode etik dan pencapaian sasaran kinerja, yang dilaksanakan melalui fungsi pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan. Sebagai garda terdepan, pimpinan (ketua dan wakil ketua) memiliki tanggung jawab penting dalam memantau ketaatan bawahan (hakim) terhadap kode etik dan pedoman perilaku yang berlaku. Fungsi pengawasan ini dilaksanakan secara sinergis dengan fungsi pembinaan, yang salah satu implementasinya mencakup penetapan dan persetujuan sasaran kinerja bawahan. Selain itu, pimpinan juga bertugas melakukan penilaian dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas serta pencapaian kinerja, memastikan setiap individu bekerja sesuai target organisasi dan standar etika yang telah ditentukan.

Penetapan sasaran kinerja merupakan bagian integral dari sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP), sebuah mekanisme yang mencakup tahapan perjanjian kinerja sebagai salah satu siklus utamanya. Perjanjian kinerja ini menjadi rujukan utama bagi pimpinan dalam menentukan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), yang kemudian dapat dipantau secara terukur melalui aplikasi e-kinerja. Sasaran kinerja tidak hanya mencakup indikator kinerja utama, tetapi juga dapat memuat indikator pendukung yang relevan, termasuk pengawasan terhadap perilaku kerja berdasarkan 7 core values ASN BerAKHLAK.

Dengan demikian, pemaparan ini menunjukkan pentingnya peran pimpinan sebagai garda utama dalam penegakan kode etik hakim melalui fungsi pengawasan dan pembinaan, yang diwujudkan dalam penyusunan sasaran kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Namun demikian, tantangan yang dihadapi saat ini menunjukkan bahwa masih banyak hakim yang tidak berintegritas atau berperilaku menyimpang dari kode etik, sehingga dapat memengaruhi pencapaian kinerja yang tidak sesuai dengan ekspektasi pimpinan. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan membahas best practices dalam penerapan fungsi pengawasan dan pembinaan pimpinan sebagai upaya strategis untuk memperkuat penegakan kode etik dan perilaku hakim.

Pengawasan Melekat Sebagai Prioritas Utama

Sistem pengawasan dalam rangka penegakan integritas hakim telah dilaksanakan melalui fungsi pengawasan internal Mahkamah Agung dan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Kedua fungsi pengawasan ini mencakup tindakan preventif maupun represif. Makna "menjaga" dan "menegakkan" kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung makna preventif dan represif[3]. Namun demikian, efektivitas pengawasan masih menjadi tantangan besar. Berdasarkan data sanksi/hukuman disiplin dari Januari hingga Oktober 2024, tercatat 144 pelanggaran, dengan 73 di antaranya dilakukan oleh pemangku jabatan hakim[4]. Data ini menunjukkan bahwa hakim masih menjadi jabatan dengan angka pelanggaran kode etik tertinggi, sehingga upaya represif lebih mendominasi dibanding pendekatan preventif yang seharusnya menjadi prioritas. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan preventif dalam pengawasan belum sepenuhnya efektif dalam mengurangi pelanggaran kode etik hakim.

Perma Nomor 8 Tahun 2016 mengatur sistem pengawasan melekat oleh pimpinan, yang bertujuan untuk memastikan bawahan menjalankan tugas secara efisien, efektif, dan sesuai dengan kode etik. Melalui pengawasan ini, pimpinan menetapkan dan mengevaluasi sasaran kinerja para hakim secara langsung sebagai bagian dari pembinaan integritas aparat peradilan. Sebagai bagian dari pendekatan pengawasan preventif, pengawasan melekat berperan besar untuk mendeteksi dan mencegah pelanggaran sejak dini. Sistem ini berfungsi sebagai mekanisme peringatan dini yang memungkinkan pimpinan mendeteksi dan mencegah potensi pelanggaran sebelum masalah tersebut memerlukan intervensi Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial. Dengan demikian, pengawasan melekat harus menjadi prioritas utama dalam menciptakan budaya kerja yang berintegritas.

Selain memastikan pelaksanaan tugas sesuai kode etik melalui pengawasan melekat, pimpinan juga bertanggung jawab dalam menetapkan perjanjian kinerja sebagai dasar penyusunan sasaran kinerja pegawai. Perjanjian kinerja ini tidak hanya menjadi acuan pimpinan dalam menetapkan dan menyetujui sasaran kinerja hakim, tetapi dapat juga menjadi alat untuk memantau apakah pelaksanaan tugas dan kinerja hakim sudah sejalan dengan standar etika yang diharapkan. Dengan demikian, penyusunan dan penerapan perjanjian kinerja yang konsisten merupakan fondasi penting bagi penguatan pengawasan dan pembinaan pimpinan, serta sebagai langkah strategis dalam memastikan kinerja dan perilaku hakim tetap terjaga sesuai dengan standar integritas yang diharapkan.

Urgensi Standar Sasaran Kinerja Pegawai Khusus Hakim

Dalam format penyusunan SKP yang berlaku umum, perilaku kerja ASN dinilai berdasarkan nilai dasar BerAkhlak, yang meliputi Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Namun, sebagai ASN yang juga berstatus pejabat negara, hakim memiliki tanggung jawab etis tambahan yang diatur dalam 10 prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kompleksitas tanggung jawab ini mencakup sikap integritas, independensi dan profesionalisme dalam penegakan hukum, keadilan, serta kewajiban menjaga wibawa pengadilan, yang tidak sepenuhnya tercermin dalam nilai dasar ASN BerAkhlak. Oleh karena itu, penilaian perilaku hakim memerlukan pendekatan khusus yang selaras dengan prinsip-prinsip etik profesinya.

SKP hakim idealnya mencerminkan 10 prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, terutama pada bagian perilaku kerja. Indikator perilaku kerja dapat mencakup pemenuhan sikap seperti berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, disiplin, rendah hati, dan profesional. Dengan indikator perilaku yang berbasis kode etik hakim, pimpinan tidak hanya dapat menilai kinerja hakim secara tepat sasaran, tetapi juga memastikan bahwa pelaksanaan tugas mencerminkan standar etik yang tinggi.

Selain menganut 10 prinsip kode etik dan pedoman perilaku, hakim juga dapat mengintegrasikan kegiatan yang mendukung pemenuhan kode etik tersebut ke dalam rencana hasil kerja tambahan, sebagai pelengkap kinerja utama. Beberapa contoh kegiatan tambahan yang dapat dimasukkan, antara lain: mengikuti pelatihan dan seminar untuk meningkatkan pemahaman tentang gratifikasi; melakukan kajian, penelitian, atau publikasi ilmiah hukum; serta menggalakkan sosialisasi hukum kepada masyarakat. Kegiatan-kegiatan tambahan ini tidak hanya mendukung kinerja utama peradilan untuk terwujudnya peradilan yang pasti dan akuntabel, tetapi juga memperkuat integritas profesi hakim.

Dengan memuat hasil kerja tambahan yang berorientasi pada nilai-nilai etika, serta perilaku kerja yang didasarkan pada kode etik hakim, SKP yang disusun tidak hanya menjadi alat ukur kinerja, tetapi juga instrumen pembinaan integritas profesi hakim. Pendekatan ini memungkinkan pimpinan menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan secara sinergis, sehingga mendukung optimalisasi kinerja sekaligus memperkuat nilai-nilai etik dalam profesi hakim.

Penutup

Perma Nomor 8 Tahun 2016 telah memberikan dasar yang jelas mengenai fungsi pengawasan melekat oleh pimpinan terhadap pemenuhan kinerja dan penegakan kode etik. Namun, standar sasaran kinerja yang digunakan saat ini terbatas pada nilai dasar ASN dan belum mengakomodasi prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam penilaian perilaku kerja. Selain itu, belum terdapat hasil kerja tambahan yang mendukung penguatan integritas hakim. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan dalam artikel ini, disarankan untuk menyusun SKP khusus bagi hakim yang mencakup rencana kerja tambahan yang berfokus pada peningkatan integritas, serta penilaian perilaku kerja yang lebih mengacu pada standar kode etik hakim.

Referensi

[1] Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI, Keputusan Bersama Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, huruf C angka 5, 2009.

[2] Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, Pasal 3 Ayat (2) Huruf b, 2016.

[3] Burhanudin, "Konsep Harmonisasi Pengawasan Terhadap Hakim Oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung" Jurnal Pilar Keadilan, vol. 3, no. 104, pp. 5, 2024.

[4] Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, "Sanksi/Hukuman Disiplin Bulan Oktober 2024," Bawas Mahkamah Agung, 2024. [Online]. Available: https://bawas.mahkamahagung.go.id/blog/read/sanksi-hukuman-disiplin-bulan-oktober-2024. [Accessed: 27-Nov-2024].