Latar Belakang
Orientasi KUHP Nasional bernuansa restitutif maupun rehabilitatif bukan penghukuman sebagai sifat pembalasan. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa ketentuannya yaitu adanya pedoman pemidanaan [1], pidana penjara sebagai upaya terakhir [2] termasuk menentukan pidana pokok yang secara urutan menentukan berat atau ringannya pidana [3], adanya pidana tambahan salah satunya pemenuhan kewajiban adat setempat, pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif [4] dan pemberatan pidana [5]. Setiap penjatuhan hukuman tentu Hakim memiliki pertimbangan hukumnya, yang mana dengan memerhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan. Oleh karenanya, adanya kewajiban untuk mempertimbangkan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional. Penulis pun memedomani Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, maka terhadap Majelis Hakim yang telah mengupayakan pemulihan keadaan, penguatan hak/kepentingan korban, tanggung jawab Terdakwa, konsensualitas serta transparansi dan akuntabilitas dengan adanya perdamaian antara Terdakwa dan Korban di dalam persidangan sebelum adanya tuntutan pidana terhadap Terdakwa bahkan pada saat pembelaan Terdakwa.
Setelah ada tidaknya perdamaian secara tertulis tersebut, Majelis Hakim menilai setidaknya adanya pemaafan dari korban yang mencerminkan ketentuan Pasal 18 Ayat 2 PERMA tersebut yang mana tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum dan/atau kesusilaan, tidak melanggar hak asasi manusia, tidak merugikan pihak ketiga maupun dapat dilaksanakan. Oleh karenanya tujuan mengadili perkara pidana berdasarkan melalui pendekatan keadilan restoratif telah tercapai, namun bukan sebagai penghapusan pertanggungjawaban pidananya melainkan dikategorikan sebagai keadaan yang meringankan hukuman bagi Terdakwa. Dengan kata lain, terhadap lamanya pemidanaan bagi Terdakwa sebagaimana tuntutan pidana Penuntut Umum tidaklah lagi mencerminkan untuk keadilan dan kebenaran karena “yang benar itu adalah benar, dan yang salah itu sudah sepantasnya menerima hukuman” namun bukan berarti pula dampak kesalahan yang telah diperbaiki dengan pertanggungjawabannya yang tidak sebanding dengan pemidanaan yang dijatuhkan.
Permasalahan
Adanya disparitas dalam mempertimbangkan keadaan yang meringankan dan keadaan yang memberatkan terhadap penjatuhan pidana. Penjelasan Pasal 54 ayat 1 KUHP Nasional menyatakan perincian dalam ketentuan ini tidak bersifat limitatif, artinya Hakim dapat menambahkan pertimbangan lain selain yang telah dicantumkan pada ayat 1 tersebut. Disparitas ibarat memakai payung di tengah hujan, di mana hujannya itu disparitas itu sendiri dan di sisi lain payungnya adalah sistematisasi ambang batas pemidanaan. Kita tidak dapat memberhentikan hujan (tidak dapat menghilangkan disparitas karena adanya kemandirian pertimbangan hukum Hakim), namun setidaknya dengan payung kita dapat mengatur agar supaya intensitas hujan tidak membuat kebasahan serta dapat berjalan di tengah kehujanan sampai ke tujuan (adanya pengaturan kesenjangan untuk keseragaman). Dalam penjatuhan pemidanaan, adakalanya karakteristik perkara hampir sama, sehingga Hakim tidaklah terjebak untuk mengikuti tuntutan pidana. Hal tersebut sebatas dijadikan salah satu pertimbangan saja, karena yang menjadi fokus utama adalah kesesuaian fakta dengan ancaman pasal yang didakwakan. Meskipun ancaman pasalnya misalkan perbuatan Terdakwa diancam dengan pidana maksimal 7 tahun, kemudian dituntut hanya 2 tahun, maka Hakim bebas menentukan penjatuhan pidana terhadap Terdakwa dengan merujuk Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan jahat dari Terdakwa”. KUHP Nasional memberikan tolak ukur untuk menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa tanpa disertai pertimbangan yang cukup dengan tidak mengurangi kewenangan dan kemandirian Hakim. Oleh karenanya, perlu adanya pengaturan Guidelines Threshold Judgement (pedoman ambang batas penghukuman) untuk meminimalisasi kesenjangan pemidanaan. Penulis mengadopsi pemikiran kategorisasi pidana denda [6] dan pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [7] , yang mana nantinya pedoman pemidanaan tersebut adanya standarisasi yang dapat dituangkan ke dalam pertimbangan hukum dalam putusan Hakim.
Pembahasan
Pada saat mempertimbangkan hukumnya, Hakim secara tidak langsung memiliki nilai kepatutannya sendiri. Penulis menyebutnya sebagai matematis intuisi Hakim yang terasah seiring intensitas perkara yang diadilinya. Hal tersebut dapat menimbulkan subjektivitas putusan, yang apabila tidak ada batasan yang dipedomani, maka adanya kesenjangan disparitas putusan terhadap perkara dengan karakteristik yang sama atau mendekati serupa. Dengan berbekal matematis intuisi Hakim, selanjutnya pertimbangan hukum tersebut secara berurutan dinarasikan dalam pertimbangan putusannya sesuai dengan fakta hukum di persidangan dengan uraian sebagai berikut:
Kategori berat/tinggi
Bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana adalah sengaja sebagai maksud serta memiliki peran yang paling signifikan baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama sebagai penganjur atau yang menyuruh lakukan suatu tindak pidana, motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana untuk kepentingan kelompok/organisasi, sikap batin pelaku Tindak Pidana karena rasa dendam dan/atau ledakan emosi, Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan, cara melakukan Tindak Pidana didahului dan disertai kekerasan dengan senjata serta dengan menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana tidak ada penyesalan, riwayat hidup pelaku adalah seorang pejabat publik/tokoh agama/masyarakat, berpendidikan tinggi, termasuk pengulangan tindak pidana, keadaan sosial pelaku tidak bermasyarakat, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana yang baik, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana sebagai efek jera, pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban menimbulkan trauma berat, adanya kerugian materiil yang melebihi nilai sebelum terjadi mengalami tindak pidana, adanya kerugian immateriil berkelanjutan, mengakibatkan dampak skala nasional, tidak adanya pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban, dan/ atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kesimpulan dari kategori berat/tinggi ini adalah penjatuhan pemidanaan dapat secara maksimal atau bahkan adanya pemberatan dari ancaman pidananya.
Kategori sedang
Bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana adalah sengaja sebagai kepastian serta memiliki peran yang signifikan baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama sebagai orang yang turut serta melakukan tindak pidana, motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana untuk kepentingan keluarga, sikap batin pelaku Tindak Pidana karena tertekan, Tindak Pidana dilakukan tidak direncanakan, cara melakukan Tindak Pidana didahului dan disertai kekerasan tanpa senjata maupun tanpa dengan menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana adanya penyesalan, riwayat hidup pelaku karena berpendidikan, keadaan sosial pelaku kurang bermasyarakat, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana kurang baik, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana sebagai peringatan, pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban menimbulkan trauma sesaat, adanya kerugian materiil yang setara nilai sebelum terjadi mengalami tindak pidana, adanya kerugian immateriil sepanjang proses persidangan, mengakibatkan dampak skala provinsi, adanya pemaafan hanya dari Korban, dan/ atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kesimpulan dari kategori sedang ini adalah penjatuhan pemidanaan dapat dari rentang setengah dari ancaman pidananya.
Kategori ringan/rendah
Bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana adalah sengaja sebagai kemungkinan dan/atau kealfaan serta memiliki peran yang tidak signifikan baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama sebagai orang yang membantu dalam pelaksanaan tindak pidana, motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana untuk kepentingan personal/hanya individu pelaku saja, sikap batin pelaku Tindak Pidana karena depresi, Tindak Pidana dilakukan dengan spontanitas, cara melakukan Tindak Pidana tanpa adanya didahului dan disertai kekerasan dengan senjata maupun tanpa dengan menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana adanya keterpaksaan perbuatan, riwayat hidup pelaku adalah orang yang tidak berpendidikan termasuk belum pernah dihukum sebelumnya, keadaan sosial pelaku yang bermasyarakat, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana yang tidak baik, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana sebagai pembelajaran, pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban tidak menimbulkan trauma, tidak adanya kerugian materiil, tidak adanya kerugian immateriil, mengakibatkan dampak skala Kabupaten/Kota/Kecamatan/Desa/perseorangan, adanya pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban, dan/ atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kesimpulan dari kategori ringan/rendah ini adalah penjatuhan pemidanaan dapat dari rentang di bawah setengah dari ancaman pidananya atau bahkan di bawah batas maksimum khusus.
Penjatuhan berat ringannya pemidanaan haruslah merujuk pada ambang batas dalam kategorisasi di atas. Penilaiannya adalah kategori berat/tinggi akan mempengaruhi semakin berat pemidanaan, sebaliknya dalam hal pertimbangan Hakim fakta hukum cenderung sesuai kategori rendah/ringan maka semakin ringan pula pemidanaannya. Oleh karena Hakim dapat menambahkan pertimbangan lain selain pedoman pemidanaan sebagaimana Pasal 54 ayat 1 KUHP Nasional, Penulis berpendapat perlu juga mempertimbangkan apakah Terdakwa sudah menikmati daripada hasil kejahatannya, ada tidaknya perdamaian dengan korban, peran Terdakwa dalam keluarga, Terdakwa tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, termasuk dapat dikorelasikan dengan ketentuan Pasal 54 ayat 2 KUHP Nasional yang berlandaskan asas rechterlijke pardon atau Judicial pardon yang memberi kewenangan kepada Hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan Tindak Pidana yang sifatnya ringan.
Kesimpulan
Matematis intuisi Hakim dengan menerapkan sistematisasi ambang batas pemidanaan dalam KUHP Nasional maka harus menjadi pedoman Hakim dalam mengadili setiap perkaranya sehingga tidak terjadi kesenjangan disparitas pemidanaan. Pertimbangan pedoman pemidanaan haruslah dinarasikan dalam pertimbangan hukum sebagaimana template putusan format biasa (terbukti) pada paragraf apabila perlu pertimbangan hal-hal yang bersifat khusus dalam penjatuhan pidana pada SK KMA RI Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 Tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung.
Referensi
Pasal 53-56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
.
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 79 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang
-..
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
.