SIKAP PROFESIONAL SEBAGAI BENTUK AKUNTABILITAS PERSONAL HAKIM DALAM MENGHADAPI OPINI PUBLIK

24 February 2025 | Jatmiko Pujo Raharjo
Jatmiko Pujo Raharjo

format_quote
“Hakim harus tetap profesional di tengah terpaan opini publik dan intervensi media dengan mengutamakan ilmu, asas, dan kaidah hukum dalam putusannya. Akuntabilitas personal seorang hakim bukan hanya bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan, tetapi juga kunci untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.”

Latar Belakang

Hakim sebagai sebuah profesi hukum tentu memiliki tanggungjawab baik dari segi etik maupun moral. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab hakim dalam menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara tentu juga akan bersinggungan dengan berbagai permasalahan di kehidupan masyarakat yang terus berkembang pesat dan semakin kompleks sehingga dapat dikatakan bahwa hukum itu akan selalu tertatih-tatih mengejar perkembangan zaman [1]. Keadaan tersebut menuntut pengemban profesi hakim untuk selalu meningkatkan ilmu pengetahuan hukum guna memantapkan pertimbangan sebagai dasar putusannya sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka pekerjaan hakim selain bersifat praktis dan rutin juga bersifat ilmiah [2].

Hakim juga diharapkan sebagai katalisator antara kesenjangan hukum positif dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, namun dengan berkembangnya kemajuan teknologi informasi dan begitu gencarnya penggunaan media sosial saat ini, secara tidak langsung hakim juga dapat terintervensi oleh masyarakat akibat dari opini berbagai pihak yang dilakukan secara masif sehingga dapat menggiring opini publik yang tentunya bersifat sangat subjektif dalam menanggapi pemberitaan yang berkaitan dengan penanganan suatu perkara di pengadilan. Fenomena tersebut tentu sangat mengkhawatirkan karena selain dapat mengancam kehidupan pribadi dan sosial sang pengadil maupun nama baik lembaga peradilan maka trial by the press maupun trial by the public juga sangat mengancam keberlangsungan penerapan prinsip-prinsip fair trial.

Walaupun pada dasarnya hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat namun adakalanya opini publik tidak sejalan dengan ketentuan atau kaidah hukum yang seharusnya diterapkan terhadap suatu permasalahan sehingga seringkali hakim ditempatkan pada keadaan dilema oleh karena tidak semua opini publik merupakan hukum yang ideal (ius constituendum) mengingat sifatnya yang sangat subjektif dan hakim juga dituntut untuk selalu dapat bersikap objektif serta dapat mempertanggungjawabkan putusannya secara yuridis.

Peran Ilmu Pengetahuan dalam Profesi Hakim.

Hakim adalah wakil tuhan, pandangan tersebut selain dilatarbelakangi oleh faktor sejarah dalam teori hukum juga secara filosofis termaktub dalam irah-irah putusan pengadilan sehingga setiap memutus suatu perkara akan menjadi sebuah tantangan sekaligus problema tersendiri bagi seorang hakim terlebih apabila dimaknai irah-irah putusannya secara sakral sebagai bentuk tanggung jawab pribadi seorang hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa [3].

Berlandaskan filosofi diatas maka secara teologi dalam Kitab Keluaran 18:21 oleh Tuhan telah digambarkan kepribadian yang ideal dalam mengisi jabatan seorang hakim dimana mertua Nabi Musa yaitu Yitro menyarankan agar Nabi Musa mengangkat hakim-hakim dalam mengadili perbuatan umat Israel yaitu dengan memilih orang yang cakap dan takut akan Allah [4]. Pengangkatan hakim-hakim tersebut ditempatkan secara berjenjang berdasarkan jumlah orang yang dipimpin agar peradilan berjalan lebih efektif dan efisien dimana model pendelegasian tugas mengadili tersebut merupakan cikal bakal hirearki peradilan saat ini [4].

Dalam Al-kitab kepribadian cakap dan takut akan Tuhan dikaitkan dengan pengetahuan dan hikmat begitu pula menurut ajaran agama islam juga telah digambarkan kriteria hakim yang ideal dan akan masuk surga berdasarkan Hadist Riwayat At-Tarmizi yaitu seorang hakim yang mengerti kebenaran berdasarkan syariat dan memutus sesuai dengan pengetahuan dan kebenaran tersebut [5].‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬

Secara teologi dan filsafat keagamaan maka dapat diketahui bahwa selain integritas maka pada hakikatnya penguasaan dan implementasi ilmu pengetahuan menjadi faktor yang harus diutamakan dalam jabatan seorang hakim. Hakim diharapkan tidak hanya mencari ilmu hukum dari pengalaman empiris dalam rutinitas pekerjaannya saja melainkan juga diharapkan dapat melakukan refleksi teroritis dan abstraksi empiris secara simultan dan berkesinambungan sehingga hakim terus dapat berijtihad guna menentukan atau menemukan hukum yang tepat dan berkeadilan guna menyelesaikan suatu permasalahan [5].‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬

Keahlian seorang hakim dalam mengimplementasikan wawasan dan ilmu pengetahuannya pada dasarnya tersirat dalam asas hakim tidak boleh menolak perkara yang juga dikenal dengan adagium ius curia novit atau hakim dianggap tahu akan hukum bahkan dahulu ketentuan Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (AB) sempat mengancamkan pidana kepada hakim yang menolak untuk menerima dan mengadili suatu perkara [6]. Peran hakim yang sangat strategis bagi keberlangsungan negara hukum dan demi tegaknya keadilan juga mewajibkan pengemban profesi hakim selalu bersikap profesional sebagai salah satu prinsip kode etik profesinya agar selalu menjadi pribadi hakim yang selalu menjaga dan mempertahankan mutu kinerja serta berusaha mengoptimalkan keahliannya khususnya dalam hal peningkatan keterampilan, wawasan dan ilmu pengetahuan.

Kedudukan dan Pertanggungjawaban Hakim: Opini Publik VS Ilmu Pengetahuan

Penggunaan gaya bahasa yang tendensius, opini di media sosial dan pemberitaan yang kurang berimbang oleh pers merupakan faktor utama yang menimbulkan trial by the press [7], bahkan lebih lanjut hal tersebut juga dapat mengakibatkan munculnya trial by the public yaitu ketika masyarakat beropini terhadap suatu kasus yang dapat mempengaruhi atau menggiring aparat penegak hukum dalam menangani suatu perkara [7]. Saat ini aparat maupun lembaga penegak hukum lainnya cenderung takut untuk melawan opini publik karena sangat takut dihujat oleh netizen yang berisiko menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum tertentu sehingga kerapkali penerapan asas dan kaidah hukum tidak lagi dijalankan sebagaimana mestinya.

Ironinya fenomena sosial tersebut tetap berjalan dan dianggap lumrah dengan dalih demi mendapatkan simpati dan memenuhi keinginan masyarakat. Namun perlu direnungkan kembali apakah benar aspirasi masyarakat yang tersampaikan melalui opini publik tersebut merupakan manifestasi dari kebenaran atau nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sehingga harus digali dan wajib diikuti oleh hakim? Atau hanya sekedar bentuk simpati sesaat, tidak berdasar dan tidak pula dapat dipertanggungjawabkan? Apabila fenomena sosial ini terus dilazimkan maka apa bedanya dengan perbuatan main hakim sendiri? dan untuk apa ada profesi hakim? Dorongan akan pemenuhan tuntutan masyarakat tanpa menghiraukan pengkajian yuridis yang dilakukan secara komprehensif tentu akan mempengaruhi dan mengganggu proses persidangan yang adil (fair trial) mengingat opini publik sudah tentu memihak dan bersifat sangat subjektif.

Pada hakikatnya hakim memiliki kedudukan yang berbeda dengan profesi atau penegak hukum lainnya. Sebagai fungsionaris yang bertugas dalam memeriksa dan mengadili perkara maka hakim memiliki kedudukan yang objektif dan dalam melakukan penilaian atau suatu perkara maka hakim juga harus bersifat objektif karena hakim wajib untuk tidak memihak salah satu pihak (imparsial) [2]. Berdasarkan kedudukan tersebut maka sepatutnya hakim harus tetap bersikap profesional dan tidak perlu terlalu menghiraukan opini publik karena selain hakim tidak boleh memihak maka hakim harus lebih mengedepankan nalar, ilmu dan pengimplementasian asas maupun kaidah hukum yang berlaku sesuai dengan hakikat dari profesi hakim itu sendiri yaitu selain berintegritas juga harus memiliki kapabilitas di bidang ilmu pengetahuan.

Selain dilarang memihak maka sepatutnya hakim juga terlepas dari segala bentuk intervensi dari pihak manapun yang bisa saja termuat dalam suatu opini publik. Idealnya hakim mutlak memiliki kebebasan namun tetap dalam koridor yang bertanggungjawab. Kebebasan hakim semestinya juga harus diimbangi dengan akuntabilitas atau pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) baik akuntabilitas secara kelembagaan maupun akuntabilitas secara personal yang melekat pada profesi hakim [6]. Baik akuntabilitas maupun independensi peradilan merupakan hal yang sama pentingnya dalam menjamin supremasi hukum bahkan dalam tataran sosiologis pengadilan mendapatkan kepercayaan publik bukan dari faktor independensinya melainkan dari akuntabilitas yang justru menjadikan putusan lembaga peradilan lebih dihormati dan disegani [8].

Ilmu Pengetahuan Hukum merupakan sumber pertanggungjawaban putusan hakim oleh karena selain terkandung wibawa dari para pendukungnya maka ilmu pengetahuan hukum lebih bersifat objektif sehingga diharapkan nilai-nilai keobjektifan tersebut juga ikut terkandung dalam suatu putusan hakim dan dapat dipertanggungjawabkan [2]. Hakim harus selalu bersikap profesional ditengah terpaan penggiringan opini baik oleh publik maupun media massa ataupun intervensi dari pihak lainnya karena putusan pengadilan yang merupakan produk dan mahkota seorang hakim sejatinya harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Akuntabilitas akan semakin meningkatkan kepercayaan publik dimana akuntabilitas peradilan sangat bergantung pada akuntabilitas seorang hakim dalam putusannya [8]. Bahkan lebih lanjut Scholten berpendapat bahwa hanya dengan mengikuti ilmu pengetahuanlah hakim akan dapat memberikan tempat bagi putusannya didalam suatu sistem hukum yang diperlukan. Tanpa itu maka putusan hakim akan mengambang, terlalu bersifat subjektif dan akan tidak meyakinkan, walaupun pada dasarnya putusan tersebut dapat dilaksanakan [2].

Penutup

Hakim harus selalu bersikap profesional ketika menghadapi intervensi dari opini publik yaitu dengan selalu mengutamakan keahliannya dalam penguasaan, penalaran dan implementasi ilmu, asas maupun kaidah hukum di dalam putusannya sebagai bentuk akuntabilitas personal hakim baik terhadap Tuhan maupun demi meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan karena pada hakikatnya profesi hakim adalah berkapabilitas di bidang ilmu pengetahuan.

Referensi

[1] M. Z. A. dan E. O. S. Hiariej, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Memahami Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum. Jakarta: Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT, 2021.

[2] S. Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 2006.

[3] K. dan T. D. Yudi, Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Depok: Raja Grafindo Persada, 2019.

[4] P. Ronaldo and D. G. T. Wardoyo, “Teladan Kepemimpinan Musa,” Forum Fam. Plan. West. Hemisph., vol. 51, no. 1, pp. 1–12, 2022, doi: 10.35312/forum.v51i1.416.

[5] H. Ada, T. Golongan, and S. Ardianti, “Fiqh Al-Hadis ة‬ َ ث‬ َ ال‬ َ ث‬ ُ اة‬ َ ض‬ ُ ْق‬ ال‬,” vol. 53, no. 2, pp. 53–61, 2022.‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬‬

[6] D. Sinaga, Kemandirian dan Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana Dalam Negara Hukum Pancasila. Bandung: Nusa Media, 2015.

[7] S. G. Pardede and F. M. Nelson, “Pengaruh Trial By the Press Terhadap Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia,” Litigasi, vol. 24, no. 2, pp. 165–183, 2023, doi: 10.23969/litigasi.v24i2.10259.

[8] I. S. Chandranegara, “Defining Judicial Independence and Accountability Post Political Transition,” Const. Rev., vol. 5, no. 2, pp. 294–329, 2019, doi: 10.31078/consrev525.