SELAYANG PANDANG TUJUAN DAN PEDOMAN PEMIDANAAN DALAM KUHP BARU DIKAITKAN DENGAN TEORI TUJUAN HUKUM

12 August 2025 | Bagus Mizan Albab
Bagus Mizan Albab

format_quote

Latar Belakang

Pedoman pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP baru”), merupakan sesuatu hal yang baru, dimana dalam Kitab undang-undang hukum pidana Wetboek van Strafrecht (“KUHP lama”) ketentuan mengenai pedoman pemidanaan belum terdapat pengaturan, sehingga menimbulkan berbagai macam tafsir terhadap pedoman pemidanaan oleh para ahli hukum dan praktisi hukum. Kata pemidanaan memiliki sinonim dengan kata penghukuman dimana Sudarto menjelaskan bahwa istilah "penghukuman" berasal dari kata dasar "hukum", yang mengandung arti menetapkan atau memutuskan suatu hal berdasarkan ketentuan hukum. Dalam ranah hukum pidana, istilah penghukuman atau pemidanaan merujuk pada tindakan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap seseorang yang terbukti bersalah berdasarkan fakta dipersidangan. Dengan demikian, pedoman pemidanaan yang terdapat dalam KUHP baru merupakan sebuah terobosan yang baik, guna dijadikan pedoman khususnya bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Hal ini berkorelasi sebagaimana dalam perkembangan hukum pidana, arti dari kata pidana merujuk pada reaksi formal dari negara yang dituangkan dalam putusan hakim terhadap subjek hukum dalam hal ini baik orang maupun korporasi yang melanggar norma dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang diancam dengan saksi pidana.

Tujuan pemidanaan yang terdapat dalam KUHP baru, dalam Pasal 51 memiliki karakteristik atau kemiripan dengan tujuan sistem pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2022 tentang pemasyarakatan (UU 22/2022) dimana pada pokoknya terdiri atas; (i) menyadari kesalahan; (ii) memperbaiki diri; (iii) tidak mengulangi tindak pidana; dan (iv) memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana. Kemiripan yang terdapat dalam UU 22/2022 dengan Pasal 51 KUHP baru merupakan sesuatu hal yang selaras sehingga terdapat pedoman bagi hakim dalam memutus perkara pidana. Akan tetapi, ketentuan tujuan dan pedoman pemidanaan terdapat hal yang menarik khususnya dalam ketentuan pasal 53 KUHP baru yang menyatakan; (i) dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakan hukum dan keadilan; (ii) jika dalam menegakan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Ketentuan Pasal 53 KUHP baru tersebut, menarik untuk ditelaah lebih lanjut, khususnya ditinjau dari aspek tujuan hukum menurut Gustav Radbruch dimana tujuan hukum terdiri atas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Persoalan yang menjadi pemantik diskusi penelitian ini adalah mengapa aspek keadilan lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian, sedangkan salah satu aspek kepastian hukum yaitu untuk menciptakan atau merealisasikan fungsi hukum itu sendiri yaitu mencapai ketertiban umum dan keadilan. Oleh sebab itu, menarik untuk dibahas apakah keadilan itu lebih penting dibandingkan ketertiban umum padahal kepastian hukum itulah nantinya akan menghasilkan keadilan menurut fungsi hukum.

Pembahasan mengenai pedoman pemidanaan dalam KUHP baru yang menempatkan keadilan diatas dari kepastian, disatu sisi merupakan aturan yang dapat memberikan petunjuk dan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara pidana, akan tetapi perlu juga dibahas mengenai legal reasoning dari ketentuan Pasal 53 KUHP baru tersebut. Dengan demikian, penelitian ini akan membahas 2 (dua) pokok permasalahan yang termuat dalam KUHP baru pertama, apa legal reasoning yang mendasari aspek keadilan ditempatkan diatas kepastian hukum? dan kedua, bagaimana penerapan hakim dalam mengedepankan aspek keadilan diatas aspek kepastian? Adapun penelitian ini bertujuan untuk membangun konstruksi berfikir bagi praktisi hukum khususnya bagi hakim agar mendapatkan kesamaan persepsi dan pemahaman terhadap penerapan pemidanaan hukum pidana yang nantinya akan diberlakukan pada 1 Januari 2026.

Teori Keadilan dan Kepastian

Tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 53 KUHP baru merupakan salah satu sesuatu yang positif dalam perkembangan hukum pidana untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana, dimana hakim dalam menjatuhkan pidana dapat berpatokan pada salah satu atau beberapa tujuan pemidanaan sekaligus dimana pemidanaan yang dijatuhkan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia (Pasal 52). Hal ini sesuai dengan convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment 1984 dan selaras dengan Pasal 3 huruf g UU 22/2022. Terhadap tujuan dan pedoman pemidanaan yang diatur dalam KUHP baru, dalam mengadili perkara pidana hakim diberikan pedoman untuk menempatkan keadilan diatas dari kepastian hukum. Sebagaimana telah diterangkan diatas, bahwasanya ketentuan inilah yang menjadi topik perbincangan menarik karena apa dasar ditempatkannya keadilan diatas kepastian sedangkan kepastian merupakan salah satu wujud dari tujuan hukum itu sendiri.

Tujuan hukum menurut C.S.T. Kansil adalah menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antara anggota masyarakat, oleh sebab itu untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan aturan hukum dimana terhadap setiap pelanggar hukum akan dikenai sanksi hukuman. Apabila melihat sekilas tujuan hukum menurut ST Kansil, diperluka aturan guna menjamin keseimbangan adalah salah satu bentuk implementasi dari adanya kepastian hukum, yaitu dengan adanya aturan yang mengatur agar terhadap pelanggar akan dikenai sanksi hukuman. Lebih lanjut, untuk menjamin tujuan hukum itu sendiri maka peraturan hukum harus dapat diterima oleh masyarakat dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan atau dengan kata lain, isi dari peraturan perundang-undangan harus bersendikan pada keadilan yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, kepastian hukum itu merupakan implementasi atau visualisasi dari nilai keadilan dalam masyarakat yang dituangkan dalam hukum positif berupa peraturan perundang-undangan.

Gustav Radbruch mengatakan terdapat 3 (tiga) tujuan hukum yaitu; keadilan (gerechtigheit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Penjelasan pasal 53 ayat (2) dikatakan kepastian hukum dan keadilan merupakan 2 (dua) tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Terhadap konteks pembuatan peraturan perundang-undangan, Gustav Radbruch meletakan validitas hukum sebagai bagian dari konsep hukum, dimana dalam membahas mengenai validitas hukum juga diperlukan pemahaman tujuan hukum yaitu mengenai kepastian hukum. Pembahasan mengenai validitas berada dalam kerangka kepastian hukum, di mana konsep keadilan menuntut adanya perlakuan yang setara bagi semua pihak, sehingga muncul prinsip generalisasi. Sebaliknya, asas kemanfaatan justru menuntut ketidaksamaan perlakuan, karena manfaat cenderung dinikmati secara personal. Oleh karena itu, dalam penerapan asas kemanfaatan terjadi proses individualisasi, yang bertolak belakang dengan generalisasi. Sementara itu, kepastian hukum justru menuntut hal berbeda, yaitu validitas, yang merujuk pada keberlakuan hukum sebagaimana ditetapkan dalam norma hukum positif, seperti peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, validitas tidak berkaitan dengan konsep generalisasi maupun individualisasi. Validitas menekankan pada proses positivisasi, sehingga aturan hukum dianggap sah dan berlaku tanpa harus dikaitkan dengan asas keadilan ataupun kemanfaatan. Kritik terhadap pandangan kepastian ini hadir mengingat hukum pada prinsipnya selalu tertinggal dibelakang (Het recht hink anter de feiten an). Dengan demikian, peraturan atau hukum positif tidak selamanya dapat mengakomodir penyelesaian dalam permasalahan hukum khususnya dalam hukum pidana.

Oleh sebab itu, apabila dihubungkan dengan teori diatas, akan sangat beralasan apabila dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara khususnya perkara pidana, hakim wajib untuk menggali nilai keadilan didalam perkara tersebut, mengingat dalam pembentukan peraturan belum tentu aspek keadilan itu termuat didalamnya mengingat sebagaimana pandangan Radbruch bahwasanya dalam hukum positif dapat dilakukan tanpa menghubungkan keadilan atau kemanfaatan yang didalamnya terdapat unsur perlakuan yang setara bagi masyarakat dan kenikmatan yang dapat dinikmati oleh setiap orang.

Keadilan diatas Kepastian Hukum

Pedoman mengenai hakim harus mengutamakan keadilan dibanding kepastian sebagaimana terdapat dalam KUHP baru. Hal ini selaras dengan prinsip Hakim tidak semata-mata berperan sebagai penerjemah teks undang-undang secara kaku. Sebaliknya, hakim memiliki kewajiban untuk menggali dan mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum tidak tertulis pun dapat dijadikan sebagai landasan dalam mengambil keputusan dalam suatu perkara. Dalam “radburg formula”, pemecahan masalah hukum harus mempertimbangkan keadilan, kepastian hukum dan keseimbangan antara keduanya. Konteks yang harus dipahami adalah hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana harus memberikan keseimbangan antara keadilan dan kepastian akan tetapi apabila didalamnya terjadi pertentangan maka hakim diharapkan mengutamakan keadilan disamping kepastian hukum.

Hal ini didukung dengan salah satu contoh yang dapat dikorelasikan dengan ketentuan Pasal 2 KUHP baru yang mengatur mengenai keberlakuan dari hukum adat dimana hukum yang hidup dalam masyarakat juga dapat diberlakukan dalam KUHP baru. Penerapan dari hukum adat dalam proses pidana, dapat diaplikasikan apabila hakim dalam memeriksa perkara mengedepankan aspek keadilan disamping dari kepastian hukum itu sendiri. Terlebih apabila terhadap hukum adat tersebut tidak termasuk atau belum diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah sebagaimana Pasal 2 ayat (3) KUHP baru.

Penutup

Dengan demikian, konsep pemidanaan dimana hakim mengutamakan keadilan dibandingkan dengan kepastian dalam KUHP baru merupakan suatu langkah yang baik dan sesuai dengan teori tujuan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, apabila nanti didalam praktik, terdapat suatu persoalan pidana dimana terjadi pertentangan antara kepastian dan keadilan, atau apabila hakim dihadapkan dengan ketiadaan aturan hukum yang dikarenakan belum ada aturan hukum yang mengatur seperti halnya dalam keberlakuan hukum adat, maka sesuai dengan prinsip hakim bukan corong undang-undang (la boche de la loi) melainkan sebagai dituntut untuk menemukan hukum (recht vinding) maka hakim diharapkan dapat mengedepankan aspek keadilan diatas kepastian hukum.

Referensi

Kansil, S.T. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta Balai Pustaka, 1986.

Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang Adil. Jakarta PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.

Manullang, E Fernando. “Misinterpretasi Ide Gustav Radbruch Mengenai Doktrin Filosofis Tentang Validitas Dalam Pembentukan Undang-Undang.” Jurnal 5(2) (2022): 1–13.

Radbruch, Gustav. Legal Philosophy, Dalam The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Ed. John H. Wigmore. Massachusetts: Harvard University Press, 1950.

Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana. Depok: Rajawali Perss, 2023.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.