Latar Belakang
Diskursus mengenai kesehatan mental yang berkembang dengan dinamika yang luar biasa pesat telah menjadi topik sentral dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Menjawab dinamika tersebut, sistem hukum pidana nasional berupaya mengakomodasi isu ini secara progresif melalui hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP 2023 walaupun prosesnya melalui hiruk pikuk menuju pemberlakuannya, tetap menjadi penanda tonggak sejarah penting berakhirnya penggunaan hukum pidana warisan colonial dan lahirnya kodifikasi pidana pertama yang disusun sepenuhnya oleh putra-putri bangsa Indonesia, berlandaskan nilai dan falsafah hukum nasional yang digali dari intisari pemikiran bangsa sendiri. Dalam semangat itu, pemikiran hukum dalam KUHP 2023 diharapkan mampu menangkap denyut zaman, termasuk kesadaran kolektif akan pentingnya isu kesehatan mental yang kini menjadi perbincangan publik yang sangat relevan.
Dalam KUHP yang lama (Wetboek van Strafrecht) pertanggung jawaban pidana bagi pelaku dengan gangguan jiwa diatur secara tunggal dalam pasal 44. Bahkan terminology Bahasa yang digunakan tidak mendukung sensitivitas dengan tetap menggunakan istilah-istilah stigmatis seperti "orang gila" atau "jiwanya terganggu, dan belum menerapkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 19 Tahun 2011, serta merujuk pada pendekatan biopsikososial dalam ilmu psikiatri modern. Kehadiran pasal-pasal baru dalam KUHP 2023 menjadi suatu pembaharuan yang membawa kita ke khazanah lebih luas tentang pentingnya Mental Health dan menjadi bahan refleksi berpikir kritis.
Kehadiran KUHP 2023 ini apakah menjadi jawaban yang kita butuhkan dalam Sistem Hukum Pidana, lebih khusus dalam mengkaji Mental Health, bagaimana bentuk factual dari pengaturannya sendiri, kedua bagaimana penerapan pemidanannya dan siapa yang memiliki kewenangan dalam menentukan apakah seorang narapidana memiliki kondisi mental yang tidak sehat, atau ternyata keberpihakan dengan kesehatan mental yang ada di KUHP 2023 hanya frasa hegemoni untuk pemenuhan argumentasi public tampa ada perubahan yang signifikan didalamnya, tulisan ini berupaya mengupas pengaturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap penyandang disabilitas mental dalam KUHP 2023 secara yuridis.
Pengaturan Tentang Kesehatan Mental Di KUHP 2023
Dalam KUHP 2023 adanya istilah disabilitas mental dan disabilitas intelektual, sebutan yang digunakan untuk para pelaku tindak Pidana yang memiliki situasi khusus, dalam penjelasan yang disebut dengan disabilitas mental diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian,autis dan hiperaktif . Dan disabilitas intelektual adalah down syndrome, disabilitas grahita, lambat belajar, yang dibuktikan secara medis oleh ahli dan terdapat tingkatannya. Kondisi mental seseorang yang melakukan tindak pidana diakomodir oleh KUHP yang baru ini. (Pasal 38 dan Pasal 39). Dari segi terminologi, KUHP baru menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dengan mengganti istilah-istilah stigmatis seperti "orang gila" atau "jiwanya terganggu" menjadi "penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual".
Selain pengaturan person in law, dalam pemidanaan Hakim harus memahami sikap batin pelaku tindak pidana dan untuk pelaku yang mengaalami disabilitas mental maupun disabilitas intelektual bisa dikurangi pidananya maupun dikenai tindakan. Tindakan yang dapat diberikan pun beragam antara lain konseling, rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikososial, bahkan perawatan di rumah sakit jiwa. (Pasal 103-106).
Analisis Yuridis Dan Implementasi Praktis
Dalam perspektif hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, hukum harus hadir sebagai instrumen yang membebaskan dan melindungi manusia, bukan semata-mata sebagai alat penindakan. KUHP 2023 dengan pendekatan diferensial terhadap penyandang disabilitas mental mencerminkan semangat tersebut. Lebih jauh lagi, adagium hukum nullum crimen sine culpa menjadi dasar bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika ada kesalahan. Dalam konteks disabilitas mental, ketidakmampuan menyadari atau mengendalikan perbuatan secara hukum merupakan bentuk ketiadaan kesalahan (schuld), sehingga pemidanaan menjadi tidak relevan secara normatif.
Dalam pandangan Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, pertanggungjawaban pidana mensyaratkan adanya kecakapan bertanggung jawab atau toerekeningsvatbaarheid, yang tidak dimiliki oleh individu dalam kondisi psikotik akut. Oleh karena itu, individu dalam kategori ini tidak layak untuk dimintai pertanggungjawaban pidana secara penuh. Dalam konteks penyandang disabilitas mental, pengujian atas toerekeningsvatbaarheid tidak dapat hanya didasarkan pada pengakuan atau observasi singkat oleh aparat hukum. Diperlukan asesmen medis yang objektif dan komprehensif. Namun, dari sisi yuridis normatif, KUHP 2023 belum menyediakan kerangka acuan teknis tentang bagaimana proses asesmen ini dilakukan.
Selain itu, pengenaan "tindakan hukum" bagi pelaku dengan disabilitas mental belum dirinci secara eksplisit dalam KUHP, membuka peluang multitafsir. Apakah tindakan ini setara dengan rehabilitasi medis? Apakah bersifat represif atau korektif? Tanpa definisi hukum yang jelas dan parameter evaluasi yang ketat, ada potensi penyalahgunaan kewenangan dan perlakuan diskriminatif terhadap individu dengan gangguan psikis.
Implikasi lainnya menyangkut prinsip legal certainty (kepastian hukum). Dalam hukum pidana, segala pembatasan terhadap hak individu harus diatur secara terang dan rinci. Namun ketentuan dalam KUHP ini masih sangat umum dan berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya di lapangan. Terlebih, dalam konteks Indonesia, masih banyak wilayah yang tidak memiliki tenaga psikiater forensik atau sistem rujukan layanan kesehatan mental yang terintegrasi dengan lembaga peradilan pidana.
Keunggulan KUHP 2023
Keunggulan KUHP 2023 secara substantif terlihat dari tiga hal: pertama, adanya klasifikasi yang proporsional terhadap kondisi mental pelaku; kedua, penerapan tindakan sebagai alternatif pidana; dan ketiga, pemakaian terminologi yang menghormati martabat penyandang disabilitas. Di sisi lain, keberadaan peran ahli dalam proses pembuktian, sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 38 dan 39, menegaskan pentingnya kolaborasi multidisipliner antara hukum dan psikiatri. Dengan demikian, proses penegakan hukum tidak hanya legalistik, tetapi juga berbasis ilmiah dan humanistik.
Penutup
KUHP 2023 mencerminkan upaya negara dalam mengintegrasikan perspektif kesehatan mental ke dalam sistem hukum pidana, langkah ini perlu diapresiasi karena melibatkan multidisipler ilmu hukum dan psikiatri yang mengakomodir person in law mendapatkan hak-haknya. Namun KUHP 2023 belum menyediakan kerangka acuan teknis tentang bagaimana proses asesmen penentuan disabelitas mental dan intelektual ini sehingga menjadi acuan tolak ukur penentuan seorang pelaku tindak pidana mengalami disabelitas tersebut, serta kondisi wilayah dan fasilitas yang tidak sama di Indonesia.
Referensi:
Rahardjo, Satjipto. “Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan.” Jurnal Hukum Progresif 1, no. 1 (2011): 1–24. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/hp.1.1.1-24.
World Health Organization. ICD-11: International Classification of Diseases (11th Revision). Geneva: WHO, 2019.