REFORMULASI PEDOMAN PEMIDANAAN PADA ANCAMAN PIDANA PENJARA TUNGGAL: MEWUJUDKAN FLEKSIBILITAS PEMIDANAAN BERKEADILAN RESTORATIF

13 August 2025 | Christa Yulianta Prabandana
Christa Yulianta Prabandana

format_quote

Latar Belakang

Pembahasan

Rumusan Pedoman Pemidanaan Pada Ancaman Pidana Penjara Tunggal R-KUHP dan KUHP Nasional

Pedoman pemidanaan tidak diatur secara tegas dalam KUHP Lama, akan tetapi kemudian pedoman pemidanaan pada ancaman pidana penjara tunggal dirumuskan secara tegas dan lengkap dalam R-KUHP 2015 (paling lengkap) dalam Pasal 59. Pasal 59 R-KUHP 2015 mengatur syarat penerapan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara, yaitu tindak pidana hanya diancam pidana penjara (ancaman tunggal), hakim menilai pidana penjara tidak diperlukan berdasarkan tujuan dan pedoman pemidanaan serta terdakwa belum pernah dipidana penjara atas tindak pidana setelah berusia 18 tahun.

Jika syarat terpenuhi, hakim dapat mengganti hukuman penjara dengan denda, sehingga ancaman pidana penjara yang semula bersifat tunggal berubah menjadi sistem alternatif dengan pidana denda. Hakim memiliki fleksibilitas memilih pidana berdasarkan tujuan pemidanaan dan keadaan terdakwa, yaitu: pidana penjara, pidana denda, pidana tutupan (Pasal 78), pidana pengawasan (Pasal 79), atau kumulasi pidana penjara dan denda (Pasal 59 ayat 4).

Pedoman pemidanaan pada ancaman pidana penjara tunggal dalam KUHP Nasional dirumuskan dalam Pasal 57 menghilangkan (memindahkan) ketentuan pedoman pemidanaan pada ancaman pidana penjara tunggal dan beberapa ketentuan pedoman pemidanaan pada ancaman penjara alternatif menyisakan aturan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok secara alternatif, harus diprioritaskan pidana pokok yang lebih ringan untuk mendukung tercapainya tujuan pemidanaan.

Pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional berdasar prinsip legalitas formal (lex scripta, lex certa, lex stricta) yang menjadi dasar hukum pidana, tanpa pedoman pemidanaan yang jelas, hakim tidak memiliki keleluasaan memilih hukuman alternatif bagi rumusan pidana penjara tunggal. Berbeda dengan Pasal 59 R-KUHP 2015 yang memungkinkan hakim mengganti pidana penjara dengan denda untuk mencapai tujuan pemidanaan. Sehingga, ketentuan Pasal 57 ini menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem pemidanaan, karena menyulitkan hakim menerapkan pidana yang mendukung keadilan restoratif secara tepat dan proporsional.

Dalam KUHP Nasional, pedoman pemidanaan pada ancaman pidana penjara tunggal diletakkan terpisah dari aturan sistem pedoman pemidanaan pada Buku I yaitu dalam Pasal 71 pada Bagian Pidana dan Tindakan, berbeda dengan R-KUHP 2015 yang meletakkannya pada Bagian Tujuan dan Pedoman Pemidanaan. Penempatan ini tidak lazim karena isi Pasal 71 lebih berfokus pada pedoman pemidanaan, bukan jenis pidana atau tindakan.

Pasal 71 KUHP Nasional menetapkan syarat agar hakim dapat mengganti pidana penjara dengan pidana denda, yaitu ancaman tunggal pidana penjara di bawah 5 tahun, apabila hakim setelah mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan serta menyimpulkan pidana penjara tidak diperlukan, tindak pidana tidak menimbulkan korban, atau korban tidak mempermasalahkan perbuatan tersebut dan terdakwa belum pernah dipidana, kecuali jika pidana penjara sebelumnya dijatuhkan saat terdakwa berusia di bawah 18 tahun.

Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, hakim dapat mengenakan pidana denda, walaupun ancaman pidananya hanya dirumuskan sebagai pidana penjara. Dengan demikian, sistem pidana tunggal menjadi seperti sistem alternatif dengan pidana denda.

Syarat dalam Pasal 71 KUHP Nasional lebih ketat dibandingkan Pasal 59 R-KUHP 2015, karena hanya berlaku untuk tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di bawah 5 tahun.dan mensyaratkan tidak adanya korban atau korban tidak mempermasalahkan tindak pidana.

Pasal 71 ini memberikan hakim keleluasaan untuk memilih pidana pokok alternatif berdasarkan tujuan pemidanaan dan keadaan individu terdakwa, meliputi: pidana penjara, pidana denda, pidana tutupan (Pasal 74), pidana pengawasan (Pasal 75), atau pidana kerja sosial (Pasal 85).

Peran Hakim dalam Mewujudkan Fleksibilitas Pemidanaan Berkeadilan Restoratif

Hakim berperan sentral dalam mewujudkan fleksibilitas pemidanaan berkeadilan restoratif. Hakim perlu melampaui pendekatan retributif yang berfokus pada penghukuman dan mengadopsi paradigma keadilan restoratif yang berorientasi solusi sosial dan kemanusiaan.

Hakim harus mengambil keputusan berbasis tujuan pemidanaan (Pasal 51 sampai dengan Pasal 54). Apabila persyaratan terpenuhi Hakim harus berani menjatuhkan pidana selain penjara, yang lebih mengakomodir pemulihan hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat. Misalnya, dalam tindak pidana pencurian bernilai kecil, apabila korban tidak keberatan, hakim dapat memilih pidana kerja sosial untuk mendidik tanggungjawab pelaku tanpa memisahkannya dari masyarakat.

Fleksibilitas pemidanaan mewajibkan hakim menggali dan mempertimbangkan keadaan individu pelaku, kemampuan ekonomi, latar belakang sosial, dan catatan kriminal. Bagi pelaku yang pernah memiliki catatan kriminal sebelum usia 18 tahun (Pasal 71 Ayat (4), hakim dapat menjatuhkan pidana pengawasan untuk resosialisasi dan pembinaan bagi pelaku di tengah masyarakat.

Hakim harus menerobos paradigma retributif, pidana penjara bukan solusi terbaik sebagai ultimum remedium. Pasal 71 memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menghindari pidana penjara untuk tindak pidana dengan ancaman di bawah 5 tahun. Hal ini lambat laun menyelesaikan masalah overcapacity lembaga pemasyarakatan, mencegah efek buruk stigmatisasi akibat pidana penjara jangka pendek.

Hakim harus mendorong penerapan pidana alternatif. Misalnya, pidana kerja sosial untuk pelaku tindak pidana vandalisme dihukum membersihkan fasilitas umum yang lebih bermanfaat mengedukasi pelaku terlibat dalam memperbaiki kerugian yang diakibatkannya.

Hakim harus tetap mempertimbangkan kepentingan korban dan masyarakat. Hakim dapat menjadi fasilitator dialog antara pelaku dengan korban, jika dimungkinkan sebaik-baiknya untuk mencapai penyelesaian yang menjawab kebutuhan kedua belah pihak, seperti pemberian restitusi melalui mediasi penal, sebelum menjatuhkan pidana.

Hakim harus memanfaatkan fleksibilitas pemidanaan (Pasal 71) untuk berperan sentral menegakkan keadilan yang tidak hanya menghukum, melainkan sebagai pemberi solusi atas permasalahan sosial (kriminal). Tugas mulia hakim ini tentunya membutuhkan pelatihan hakim yang komprehensif didukung peningkatan kesejahteraannya, optimalisasi infrastuktur hukuman alternatif, dan komitmen menyeluruh komponen sistem peradilan pidana berparadigma keadilan restoratif.

Penutup

Pedoman pemidanaan pada ancaman pidana penjara tunggal dalam R-KUHP 2015 diatur pada Pasal 59, dengan tegas dan jelas, memberikan fleksibilitas bagi hakim menjatuhkan pidana pokok lain dengan mempertimbangkan tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan keadaan individu pelaku tindak pidana dengan ancaman tunggal pidana penjara. Sedangkan, dalam KUHP Nasional diatur pada Pasal 71, bukan Bagian Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, melainkan, secara tidak biasa, pada Bagian Pidana dan Tindakan. Meski demikian, pasal tersebut memberikan pedoman pemidanaan yang cukup fleksibel bagi hakim untuk menjatuhkan pidana pokok lain, dengan mempertimbangkan tujuan serta pedoman pemidanaan, dan keadaan individu pelaku tindak pidana yang diancam pidana penjara tunggal namun dengan syarat yang lebih ketat dibandingkan R-KUHP 2015.

Hakim berperan sentral dalam mewujudkan fleksibilitas pemidanaan berkeadilan restoratif berpedoman pada tujuan pemidanaan, individualisasi pidana, pidana penjara sebagai ultimum remidium, berani menerapkan hukuman alternatif dengan tetap memperhatikan keseimbangan kepentingan pelaku, korban dan masyarakat yang didukung peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, optimalisasi infrastruktur hukuman alternatif dan komitmen menyeluruh komponen sistem peradilan pidana.

Referensi

[2] Dirjenpas, “Laporan Tahunan Ditjen Pemasyarakatan 2022,” 2022.

[3] Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Research on Sentencing Disparity and Criminal Policy of Narcotics Offence Cases in Indonesia: Case Study of Class 1 Narcotics Offence Cases between 2016-2020 (Articles 111-116 and Article 127 of Narcotics Law 35 of 2009). 2022. [Online]. Available: chrome-extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2022/08/Layout-Studi-Disparitas-dan-Kebijakan-Pidana-Narkotika-Inggris.pdf

[4] R. Zulyadi and M. B. Hossain, “Alternative Criminal Punishments for the Settlement of Misdemeanor in a Social Justice Perspective,” Law Reform J. Pembaharuan Huk., vol. 18, no. 1, pp. 43–57, 2022, doi: 10.14710/lr.v18i1.44712.

[5] S. Butt, “Indonesia’s new Criminal Code: indigenising and democratising Indonesian criminal law?,” Griffith Law Rev., vol. 32, no. 2, pp. 190–214, 2023, doi: 10.1080/10383441.2023.2243772.