PROGRESIVITAS HUKUM RESPONSIF DALAM PENERAPAN ASAS LEGALITAS MATERIIL

11 August 2025 | Hilman Maulana Yusuf
Hilman Maulana Yusuf

format_quote

Pendahuluan

Permasalahan

Pemberlakuannya tersebut tentu berkonsekuensi adanya efek domino. Pertama, bagaimana kriteria hukum pidana adat itu? Kedua, bagaimana ketentuannya diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah? Ketiga, bagaimana cara penegakan hukum asas legalitas materiil dalam sistem peradilan pidana? Keempat, Apakah seseorang yang telah dihukum secara adat, dapat dipidana oleh negara atau berlakukah asas nebis in idem bagi pelaku? Oleh karena itu, lebih tepatnya pembahasan permasalahan tersebut akan dikaji dengan pendekatan historiskal dan yuridis sosiologis.

Pembahasan

Kriteria Hukum Pidana Adat.

Ketentuan pada Pasal 2 KUHP Nasional ini merupakan sumber legalitas materiil. Oleh karenanya, Penulis mengajukan kriteria khusus mengenai penerapan hukum yang berlaku dalam masyarakat bahwa seseorang seharusnya bisa dipidana meskipun tindakan tersebut tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam hal memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu yang telah menjadi yurisprudensi adat, laporan penelitian instansi terkait, dokumen-dokumen yang memuat peraturan-peraturan keadatan maupun keputusan penguasa adat setempat atau bahkan ajaran-ajaran yang kaidah dan normanya sesuai dengan kehidupan bernegara. Hal tersebut secara limitasi supaya lebih terfokus pada hukum pidana adat dengan proses authority atau kehendak penguasa sebagai politik hukum pidana dalam unifikasi hukum yang pada akhirnya hukum tidak tertulis pun perlahan dikodifikasikan. Kehidupan hukum bukanlah sekadar soal logika, melainkan merupakan hasil dari pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh masyarakat itulah yang diyakini dapat menghasilkan rasa keadilan, yang merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, bukan hanya berasal dari penguasa atau penegak hukum semata.

Pedoman Pengaturannya dalam Peraturan Daerah.

Penegakan Hukum Asas Legalitas Materiil dalam Pemeriksaan Peradilan

Dalam Bab Memutuskan, KUHAP telah mencabut Het Herziene Inlandsche Reglement (Staatsblad Tahun 1941 No. 44) terkait dengan Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta seluruh peraturan pelaksanaannya, Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku dengan catatan bahwa hal-hal yang diatur dalam angka 1 dan 2 hanya berkaitan dengan hukum acara. Sebagai dasar hukum bagi keberlangsungan hukum pidana adat materiil, ketetapan tersebut masih berlaku, sedangkan hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam penjelasan resmi UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan negara. Penegasan ini bertujuan untuk menutup kemungkinan adanya pengadilan swapraja atau pengadilan adat yang dilakukan oleh pihak yang bukan merupakan badan peradilan negara. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mengikuti hukum tidak tertulis melainkan berfungsi untuk mengalihkan perkembangan dan penetapan hukum kepada peradilan negara.

Asas Nebis in Idem dalam Penerapan Asas Legalitas Materiil

Merujuk beberapa Putusan Mahkamah Agung Nomor 984 K/SIP/1996 tanggal 15 November 1996 dari Pengadilan Negeri Poso berkaidah hukum “saat hukum yang hidup dalam masyarakat sudah menerapkan sanksinya, tidak dapat dituntut kembali ke ranah hukum pidana untuk perkara yang sama, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644/K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dari Pengadilan Negeri Kendari berkaidah hukum “Mahkamah Agung menghormati putusan Kepala Adat dan Diputus ne bis in idem oleh karena perkara yang diputus peradilan adat setempat mengikat sebagai suatu penegakan hukum”. Oleh karenanya, pengakuan terhadap hukum pidana adat harulah dilegitimasi oleh putusan Hakim sehingga berkonsekuensi berkekuatan hukum yang mengikat. Hal ini untuk menghindari terhadap pelaku tindak pidana adat akan dijatuhi pidana ganda dalam arti pidana yang dijatuhkan oleh Kepala Adat dan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Kriteria khusus untuk ne bis in idem yang dimaksud apabila perbuatan itu (yang ada ekuivalensinya dengan perbuatan yang diatur dalam KUHP) dan justru pemenuhan kewajiban adat (sanksi adat) yang lebih tinggi daripada yang ditentukan ancaman maksimum (pidana penjara dan pidana denda), karena hal tersebut setara pidana pokok yang dijatuhkan Hakim, maka sepatutnya mencerminkan penegakkan hukum dan keadilan bagi si pelaku. Jadi, Bis de eadem re ne sit actio atau ne bis in idem dengan kriteria yang Penulis tentukan dapat dijadikan sebagai alasan penghapus penuntutan. Artinya sejak awal Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang menuntut seseorang/pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan.

Kesimpulan

Pergeseran Asas Legalitas Formal menjadi Asas Legalitas Materiil memberikan aksesibilitas keadilan yang lebih luas yang mana Hakim wajib mengutamakan keadilan daripada kepastian sepanjang adanya pertentangan di antara keduanya. Pertama, kriteria hukum pidana adat dan Kedua, pengaturan dalam peraturan daerah haruslah memiliki unifikasi hukum. Ketiga, cara penegakan hukum asas legalitas materiil dalam sistem peradilan pidana adalah dengan memedomani substansi Pasal 5 ayat (3) sub-b Undang-Undang Darurat Nomor 1/DRT./1951 dan secara formil dengan pemeriksaan acara singkat dan/atau cepat sebagaimana KUHAP. Keempat, seseorang yang telah dihukum secara adat, tidak dapat dipidana oleh negara karena berlakukah asas nebis in idem bagi pelaku.

Daftar Pustaka

[2] H. L. . Hart, “The Consept of Law,” p. 2.

[3] E. Hiareej, “Anotasi KUHP Nasional.”p.6.

[4] Undang-Undang RI, “UU No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil,” pp. 1–18, 1951.

[5] P. de Cruz, “Perbandingan Sitem Hukum (Common law, Civil Law, dan Sosialist law,” p. 373.