Latar Belakang
Perubahan cara pandang dalam sistem hukum pidana Indonesia tercermin dalam pembaruan yang tercantum dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Nasional). Dalam aturan tersebut, pemidanaan tidak lagi hanya berfokus pada hukuman penjara, tetapi juga mencakup alternatif lain seperti pidana pengawasan dan kerja sosial sebagai bentuk pidana pokok non-pemenjaraan. Pasal 75 hingga Pasal 77 KUHP Nasional mengatur pidana pengawasan. Adanya norma pidana pengawasan dalam KUHP Nasional juga selaras dengan isi Tokyo Rules yang didalamnya memperkenalkan jenis hukuman yang dikenal sebagai probation and judicial supervision. Kemudian Muladi dalam pandangannya menyampaikan bahwa pidana pengawasan dapat diartikan sebagai suatu sistem yang hendak melaksanakan pemulihan terhadap pelaku tindak pidana dengan mengembalikan kepada masyarakat dalam periode pengawasan tersebut.
Seiring dengan perubahan paradigma keadilan dalam KUHP Nasional, dewasa ini telah terjadi pergeseran tujuan keadilan yang hendak dicapai dari keadilan retributif menuju keadilan restorative, keadilan korektif, dan keadilan rehabilitatif yang memandang bahwa keadilan akan dicapai dengan pendekatan yang mendudukan pelaku, korban, dan masyarakat dalam penyelesaian perkara dengan berlandasakan asas keseimbangan. Perumusan pidana pengawasan sebagai stelsel pidana pokok dalam KUHP Nasional mengadung celah dalam implementasinya dan tidak menutup kemungkinan dalam pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan tujuan. Kecenderungan pelaksanaan pidana pengawasan yang tidak cermat dan KUHP Nasional tidak mengatur mengenai prosedur pelaksanaan pidana pengawasan sebagai stratfshoort menjadi beberapa aspek yang perlu dikaji lebih lanjut.
Meskipun pidana pengawasan bukanlah barang baru, oleh karena telah dikenal sebelumnya dalam sistem peradilan pidana Anak. Akan tetapi, pidana pengawasan sebagai strafshoort dalam KUHP Nasional perlu untuk dikaji lebih lanjut, dimana penelitian ini akan mengkaji dua pokok permasalahan, yaitu: pertama, bagaimana rasio legis pengaturan pidana pengawasan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; dan kedua, bagaimana konsep ideal pelaksanaan pidana pengawasan sebagai pemidanaan non-pemenjaraan yang berkemanfaatan? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pembentukan pidana pengawasan sebagai pemidanaan non-pemenjaraan dan untuk mengejawantahkan konsep pidana pengawasan menjadi pelaksanaan pidana yang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan dalam KUHP Nasional.
Rasio Legis Pengaturan Pidana Pengawasan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP Nasional sebagai hukum pidana materil telah mengadopsi salah satu pidana non-pemenjaraan yaitu pidana pengawasan. Sistem pemidanaan pidana bersyarat berbeda dengan sistem probation (pidana pengawasan), dimana pidana pengawasan menekankan pada alternatif pelaksanaan pidana penjara dan bukanlah penundaan terhadap pelaksanaan pidana penjara. Pemidanaan non-pemenjaraan yang diatur dalam KUHP Nasional merujuk pada ketentuan dasar Tokyo Rules yang memberikan standar minimal bagi negara dalam memberlakukan pidana non-pemenjaraan. Tokyo Rules berpandangan bahwa pendekatan individualizing sentencing memperhatikan kebutuhan setiap orang sehingga menjadi keuntungan dalam penerapan pemidanaannya, oleh karena dianggap terbukti lebih efektif dalam melakukan pembinaan kepada terpidana dan mampu mengembalikan terpidana dalam keadaan yang dapat diterima masyarakat.
Norma pidana pengawasan dirumuskan dengan mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, dimana tindak pidana yang diancam paling lama 5 (lima) tahun yang dapat dijatuhkan pidana pengawasan. Selanjutnya, menurut Pasal 76 pidana pengawasan dapat diberikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. Perumusan yang demikian menunjukan bahwa hanya terhadap tindak pidana yang diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun yang dapat dijatuhkan pidana pengawasan. Tujuan perumusan ini adalah untuk menentukan ukuran objektif terhadap tindak pidana apa yang dapat dijatuhkan pidana pengawasan, dengan kata lain bahwa tindak pidana yang dijatuhkan dengan pidana pengawasan bukanlah tindak pidana yang berat, seperti pembunuhan berencana.
Pasal 76 ayat (1) mengatur bahwa pidana pengawasan dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. Perumusan norma tersebut tidak terlepas dari arah pemidanaan dalam KUHP Nasional yang mengarah pada keadilan rehabilitatif. Dalam KUHP Nasional tidak lagi bertumpu pada pembalasan sebagai suasana norma yang dibentuk, akan tetapi lebih ditujukan kepada pemulihan dan perlindungan terhadap setiap individu baik korban, pelaku kejahatan, maupun masyarakat. Hal tersebut selaras dengan apa yang dibahas oleh Barda Nawawi Arief sebagai salah satu perumus KUHP 2023, yang menyatakatan bahwa tujuan pemidanaan mengandung dua aspek utama yang harus diperhatikan antara lain pertama aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana dan aspek yang kedua adalah bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku kejahatan.
Perumus kebijakan mencoba merumuskan bahwa pidana pengawasan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana dengan menempatkan terpidana dalam lingkaran syarat umum dan syarat khusus. Adanya ketentuan mengenai syarat umum dan syarat khusus dimaksudkan walaupun pidana pengawas sebagai pidana pokok non-pemenjaraan dapat memberikan dorongan bagi pelaku tindak pidana untuk menjadi individu yang lebih baik untuk tidak mengulangi perbuatan pidana dan mengembalikan keseimbangan nilai di masyarakat maupun korban dengan melakukan tindakan yang dapat memulihkan maupun memperbaiki akibat dari tindak pidana yang dilakukan.
Konsep Pelaksanaan Pidana Pengawasan sebagai Pemidanaan Non-Pemenjaraan yang Berkemanfaatan
Pidana non-pemenjaraan memiliki dua karakter utama, yaitu sebagai prevensi untuk mencegah tindak pidana dan tujuan penghukuman terhadap pelaku tindak pidana. Tujuan lainnya adalah untuk memberantas tindak pidana tanpa perlu dijatuhkan hukuman penjara atau pidana yang merampas kemerdekaan seseorang. Pemidanaan non-pemenjaraan dalam criminal justice system Indonesia akan memungkinkan keluwesan yang sesuai dengan asal dan jenis pelaku, riwayat pelaku, perlindungan terhadap masyarakat, dan menghindari penghukuman yang tidak perlu. Persoalan penting pemidanaan dalam pandangan Roeslan Saleh yaitu bagaimana hukum pidana itu dapat diterapkan. Oleh karena itu, dalam perspektif teori keseimbangan pemidanaan perlu memperhatikan kepentingan korban, masyarakat, dan pelaku tindak pidana.
Pidana pengawasan yang dijatuhkan kepada terpidana akan dinilai berhasil apabila selama masa pengawasan terpidana dapat memperbaiki diri dan menjadi individu yang lebih baik dan dapat diterima kembali oleh masyarakat. Oleh karena itu, selama masa pengawasan harus jelas lembaga yang melakukan pengawasan. Penulis dalam mengkaji permasalahan ini menggunakan pendekatan perbandingan hukum dengan Belanda dengan instrument hukum Penitentiaire Maatregel, Recommendation CM/Rec(2010)1 of the Committee of Ministers to member states on the Council of Europe Probation Rule. Berangkat dari pelaksanaan pidana pengawasan di Belanda yang dilakukan oleh Reclassering sebagai lembaga independen yang dibiayai oleh Departemen Kehakiman dan Keamanan Belanda, maka dengan melihat tugas dan tanggungjawabnya, Indonesia dapat mengadopsi kebijakan bahwa pidana pengawasan dapat dilaksanakan oleh Jaksa dan Balai Pemasyarakatan, serta dengan menambahkan peran serta masyarakat. Hal menarik dalam implementasinya di Belanda bahwa pidana pengawasan tidak hanya memberikan pengawasan kepada terpidana selama masa pengawasan. Akan tetapi, juga merumuskan program rehabilitasi yang relevan dengan masing-masing terpidana dengan melalui wawancara pendahuluan, sehingga program rehabilitasi antara satu terpidana dengan terpidana lainnya berbeda.
Menurut Penulis, kebijakan hukum pidana juga harus memperhatikan keadaan terpidana apakah sebagai seorang yang aktif bekerja atau belum bekerja. Oleh karena itu, menurut Penulis, dalam pelaksanaannya pidana pengawasan juga perlu memperhatikan derajat waktu terpidana untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Adapun derajat waktu yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan pidana pengawasan dapat dengan mengadopsi dari sistem pidana pengawasan Belanda dengan melakukan penyesuaian berdasarkan teori tujuan pemidanaan Roeslan Saleh.
Terwujudnya pidana pengawasan yang berjalan sesuai dengan maksud pembentukan, akan menguatkan paradigma baru yang dibangun dalam KUHP Nasional yaitu perubahan paradigma dari retibutif menjadi paradigma korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Bahwa pendekatan non-pemenjaraan akan dapat mewujudkan keadilan substantif tidak hanya kepada pelaku tindak pidana akan tetapi juga kepada korban dan masyarakat. Konsep pelaksanaan pidana pengawasan sebagai upaya rasional merumuskan permasalahan secara efektif melalui kebijakan hukum yang ditetapkan oleh suatu badan. Konsep pelaksanaan pidana pengawasan yang ideal akan membawa formulasi kebijakan hukum pidana pengawasan yang selaras dengan budaya dan nilai hukum masyarakat yang dicitakan.
Penutup
Pidana pengawasan dalam KUHP Nasional merupakan upaya pembaruan sistem pemidanaan di Indonesia yang mengedepankan keadilan rehabilitatif dibandingkan dengan keadilan retributif. Melalui pengaturan dalam Pasal 75 hingga Pasal 77 KUHP Nasional, pidana pengawasan menjadi alternatif pemidanaan non-pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana yang bertujuan untuk merehabilitasi pelaku, memulihkan hubungan dengan korban, serta menjaga keseimbangan sosial di masyarakat. Akan tetapi, sampai saat ini belum terdapat aturan turunan terkait pelaksanaan pidana pengawasan termasuk di dalamnya lembaga yang melaksanakan dan prosedur pengawasannya. Berdasarkan hal tersebut, Penulis mengusulkan untuk dibuatkan konsep pelaksanaan pidana pengawasan yang ideal untuk memastikan bahwa tujuan pidana pengawasan tercapai. Konsep ideal pelaksanaan pidana ini tidak hanya diharapkan berfokus pada mekanisme pengawasan, akan tetapi juga berfokus pada program rehabilitasi yang dapat dijalankan oleh pelaku tindak pidana dengan tetap mempertimbangkan kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat secara seimbang.
Referensi
[1] United Nation, “United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules),” Tokyo, 1990. [Online]. Available: https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/ProfessionalInterest/tokyorules.pdf
[2] Afifah Firdaus and Indra Yugha Koswara, “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia: Analisis tentang Pidana Pengawasan dan Asas Keseimbangan,” LEX RENAISSANCE, vol. 9, no. 1, pp. 1–22, 2024, doi: https://doi.org/10.20885/JLR.vol9.iss1.art1.
[3] M. Ulfah, “Pidana Kerja Sosial, Tokyo Rules, serta Tantangannya di Masa Mendatang,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), vol. 10, no. 3, pp. 517–535, Sep. 2021, doi: 10.24843/JMHU.2021.v10.i03.p07.
[4] B. N. Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Kedua. Jakarta: Prenamedia Group, 2016.
[5] Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2015.
[6] Genoveva Alicia K.S. Maya, Erasmus A. T. Napitupulu, Iftitahsari, and M. Eka Ari Pramuditya, Alternatives to Imprisonment: Provision, Implementation, and Projection of Alternatives to Imprisonment in Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2019. [Online]. Available: https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2020/03/Alternatives-to-Imprisonment_Indonesia.pdf