PIDANA KERJA SOSIAL: PELUANG DAN TANTANGAN

13 August 2025 | A Aulia Rahman
A Aulia Rahman

format_quote

PENDAHULUAN

Dalam perkembangan sistem peradilan pidana di dunia, pemenjaraan tidak lagi dilihat sebagai solusi utama untuk penanggulangan tindak pidana. Pidana penjara tidak lagi memberikan dampak yang positif, namun justru kemudian menimbulkan efek samping negatif. Atas kondisi ini, semakin banyak organisasi dunia menyarankan agar hukuman penjara singkat perlu diganti dengan alternatif pemidanaan non pemenjaraan. Oleh karena itu, salah satu pembaharuan hukum yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) adalah diperkenalkannya mekanisme penjatuhan pidana kerja sosial.

Secara mendasar, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan hadirnya pidana kerja sosial dalam KUHP Nasional. Pertama, pidana kerja sosial hadir sebagai kritik atas efektivitas pidana penjara. Kedua, sejumlah kesepakatan internasional seperti The Tokyo Rules dan Beijing Rules mendorong hadirnya bentuk Sanksi Pidana yang tidak berorientasi pada pemenjaraan, serta ketiga, semakin menggeliatnya penegakan hukum melalui mekanisme restorative justice dalam penyelesaian kasus pidana yang mengedepankan pemulihan suatu keadaan.

Penerapan pidana kerja sosial setelah berlakunya KUHP Nasional akan dihadapkan pada sejumlah persoalan penting yang mengemuka. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengemukakan 2 (dua) pokok permasalahan, yaitu (1) Bagaimana mekanisme penjatuhan pidana kerja sosial berdasarkan KUHP Nasional? dan (2) Bagaimana tantangan dan solusi dalam penerapan pidana kerja sosial pasca berlakunya KUHP Nasional?

MEKANISME PENJATUHAN PIDANA KERJA SOSIAL

Di dalam KUHP Nasional, terdapat 5 (lima) jenis alternatif Pidana Pokok, yaitu pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial sendiri merupakan bentuk penjatuhan pidana yang dijatuhkan kepada seorang Terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan selanjutnya dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10.000.000) . Dalam kata lain, dapat dipahami bahwa meskipun pidana kerja sosial termasuk dalam kategori pidana pokok, namun pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan pidana alternatif dari pidana penjara dan/atau denda.

Lebih lanjut, sebelum penjatuhan pidana kerja sosial, Hakim diberikan kewajiban untuk mempertimbangkan sejumlah hal, yakni: riwayat sosial Terdakwa, pengakuan Terdakwa,, perlindungan keselamatan kerja Terdakwa, agama, kepercayaan, dan keyakinan politik Terdakwa, persetujuan Terdakwa terhadap Pidana Kerja Sosial, dan kemampuan Terdakwa dalam membayar Pidana Denda, dan kemampuan kerja Terdakwa. Pidana kerja sosial itu sendiri dilaksanakan paling singkat 8 (delapan) jam dan paling lama 240 (dua ratus empat puluh) jam, serta dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan pekerjaan sehari-harinya.

TANTANGAN DAN SOLUSI DALAM PENERAPAN PIDANA KERJA SOSIAL

Secara umum, tantangan penerapan pidana kerja sosial setelah diberlakukannya KUHP Nasional adalah tentang kesiapan Pemerintah dalam merumuskan peraturan pelaksana yang setidaknya memuat tentang implementasi, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, maupun mekanisme pengawasan atas berjalannya penerapan pidana kerja sosial.

Diantara sekian banyak tantangan yang akan dihadapi, penulis hendak mengemukakan setidaknya 3 (tiga) tantangan utama yang akan dihadapi, yaitu: batasan kewenangan Hakim dalam menentukan aktivitas kerja sosial yang dapat dijalankan oleh Terdakwa, ketersediaan infrastruktur penunjang dalam pidana kerja sosial yang memadai, dan optimalisasi peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK Bapas).

Tantangan yang pertama, mengenai kewenangan Hakim dalam menentukan aktivitas kerja sosial yang dapat dijalankan oleh Terdakwa. Seperti kita ketahui, bahwa KUHP Nasional tidak memberikan penegasan sejauh mana Hakim dapat menentukan bentuk pidana kerja sosial maupun lokasi dilaksanakannya kerja sosial. Pasal 85 ayat (9) KUHP Nasional mengandung makna bahwa Hakim hanya diwajibkan untuk memuat dalam putusannya mengenai jangka waktu pidana kerja sosial yang harus dijalani (jumlah jam/hari dan lama waktu penyelesaiannya) tersebut. Artinya, tidak terdapat kewajiban secara khusus yang menyebutkan bahwa Hakim dapat menentukan aktivitas kerja sosial yang wajib dilakukan oleh Terdakwa.

Dalam tafsiran gramatikal, Pasal 85 ayat (9) KUHP Nasional dapat dmaknai bahwa aktivitas kerja sosial yang wajib dilakukan oleh Terdakwa yang kemudian menjadi seorang Terpidana sepenuhnya adalah kewenangan dari Penuntut Umum yang bertindak selaku eksekutor dalam putusan Hakim. Namun demikian, pandangan secara gramatikal ini perlu diimbangi dengan pendekatan asas kepastian hukum. Menurut penulis, dalam rangka mewujudkan asas kepastian hukum, Hakim haruslah diberikan kewenangan untuk aktivitas kerja sosial yang wajib dilakukan oleh Terdakwa. Pemberian kewenangan kepada Hakim dalam menentukan aktivitas kerja sosial tersebut menjadi hal yang sangat penting mengingat dalam menjatuhkan pidana, Hakim senantiasa akan menyesuaikan berat ringannya pidana penjara dan/atau denda yang dijatuhkan dengan berat ringannya aktivitas pidana kerja sosial yang akan dijalankan oleh pelaku tindak pidana.

Tantangan yang kedua, mengenai infrastruktur penunjang dalam pidana kerja sosial. Senada dengan tantangan sebelumnya, tantangan infrastruktur penunjang ini menjadi sangat relevan dikedepankan. Hadirnya sejumlah kritik atas kebijakan pidana kerja sosial dikarenakan belum tersedianya infrastruktur penunjang yang memadai untuk mendukung pelaksanaan pidana kerja sosial. Menurut hemat penulis, Hakim dalam menjatuhkan putusannya, harus terlebih dahulu menilai apakah aktivitas kerja sosial yang hendak diperintahkan tersebut layak dan dapat dilakukan di daerah tersebut. Dalam kaitan hal tersebut, penulis mengusulkan agar Pemerintah (dalam hal ini Kejaksaan, Kementerian terkait, dan pemangku kebijakan yang relevan) secara seksama dan berkelanjutan menyusun daftar tetap aktivitas kerja sosial yang telah memenuhi syarat untuk dilaksanakan di suatu daerah atau wilayah hukum. Ketersediaan daftar tetap aktivitas kerja sosial tersebut semata-mata agar Hakim mendapatkan jaminan bahwa perintah Hakim untuk melakukan kerja sosial sebagaimana dalam putusan menjadi dapat dilaksanakan (executable) dan putusan menjadi tidak kabur (ilusionir).

Tantangan ini apabila dibandingkan dengan penerapan rehabilitasi dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika menjadi sangat relevan dan apple to apple. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, diketahui bahwa di dalam memutus perkara penyalahguna narkotika, Hakim dapat memerintahkan Terdakwa menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Terdakwa sebagai Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Dalam kenyataannya, ketentuan mengenai rehabilitasi bagi pecandu narkotika ini seolah tidak “hidup” di beberapa daerah, dikarenakan kendala utamanya adalah tidak terdapat Balai atau Panti Rehabilitasi di setiap daerah yang memungkinkan Hakim kemudian secara tegas memerintahkan rehabilitasi bagi pecandu narkotika.

Tidak optimalnya rehabilitasi dalam penanganan tindak pidana bagi pecandu narkotika diharapkan tidak terjadi dalam rangka penjatuhan pidana kerja sosial. Oleh karena itu, Pemerintah diharapkan sangat serius dalam membangun infrastruktur penunjang dalam pidana kerja sosial dalam hal ini menyusun daftar bentuk aktivitas kerja sosial yang telah memenuhi syarat, telah diverifikasi, dan dinyatakan layak untuk dilakukan di masing-masing wilayah tersebut secara gradual.

Tantangan yang ketiga, mengenai optimalisasi peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK Bapas). Seperti diketahui bahwa salah satu yang wajib dipertimbangkan oleh Hakim sebelum menjatuhkan pidana kerja sosial adalah riwayat sosial daripada Terdakwa. Tantangannya adalah institusi mana yang diberikan tanggung jawab dan kewenangan untuk menyediakan informasi dan penelitian tentang riwayat sosial Terdakwa, dalam hal ini apakah Hakim yang melakukan penelitian riwayat sosial Terdakwa secara langsung dalam persidangan atau Undang-Undang dapat memerintahkan kepada institusi Kementerian seperti PK Bapas untuk melakukan penelitian riwayat sosial Terdakwa sebelum seluruh proses penegakan hukum dimulai?

Hakim dalam porsi tertentu akan sangat sulit untuk melakukan penelitian riwayat sosial pada diri Terdakwa mengingat proses acara di pengadilan yang tidak memberikan keleluasaan waktu untuk itu. Karenanya, apabila kita berkaca pada sistem peradilan pidana anak yang saat ini telah berlangsung sejak tahun 2012, PK Bapas merupakan pihak yang diwajibkan melakukan penelitian sosial terhadap anak sebelum diajukan ke persidangan. Oleh karenanya, menurut hemat penulis, PK Bapas memiliki peranan yang sangat vital dalam terpenuhinya syarat penjatuhan pidana kerja sosial ini. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa kehadiran PK Bapas, baik secara institusi maupun secara personalia di seluruh wilayah kabupaten/kota menjadi sangat mendesak demi optimalnya penjatuhan pidana kerja sosial kedepannya.

KESIMPULAN

Pengaturan mengenai pidana kerja sosial dalam KUHP Nasional merupakan jawaban atas berbagai kritik atas efektivitas pidana penjara yang selama ini terjadi. Kehadiran pidana kerja sosial memberikan alternatif baru dalam penjatuhan pidana pada diri seorang pelaku tindak pidana. Namun demikian, setidaknya terdapat 3 (tiga) tantangan yang akan dihadapi sehubungan dengan penerapan pidana kerja sosial di masa mendatang, yaitu batasan kewenangan Hakim dalam menentukan aktivitas kerja sosial yang dapat dijalankan oleh Terdakwa yang kemudian menjadi Terpidana, ketersediaan infrastruktur penunjang dalam pidana kerja sosial yang memadai, dan optimalisasi peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK Bapas) dalam melakukan penelitian Riwayat sosial Terdakwa. Dalam menghadapi tantangan tersebut diperlukan peran aktif Pemerintah dalam rangka menyiapkan peraturan pelaksana yang setidaknya memuat tentang implementasi, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, maupun mekanisme pengawasan atas berjalannya penerapan pidana kerja sosial.

REFERENSI

[1]Ove Syaifudin Abdullah, Orientasi Implementasi Pidana Kerja Sosial sebagai Alternatif Pidana Non-Pemenjaraan dalam KUHP 2023, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2024. Halaman 61.

[2]Sani Siti Aisyah, Pengembangan ide kerja sosial sebagai bentuk pidana alternatif di Indonesia, Depok: Universitas Indonesia (Tesis). 2018. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20476151&lokasi=lokal diakses pada tanggal 29 April 2025 Pukul 09.30 WITA.

[3] Lihat ketentuan Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[4] Lihat ketentuan Pasal 85 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[5] Lihat ketentuan Pasal 85 ayat (4) dan (5) UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[6] Endri, Pidana Kerja Sosial sebagai Alternatif Pidana Penjara, Jakarta: Penerbit Kencana, 2024. (Halaman 148).

[7]Lihat ketentuan Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.