Latar Belakang
Tingginya tingkat overkapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang mencapai angka 187% masih menjadi problematika tersendiri yang sangat berdampak pada segi anggaran, sarana maupun efektifitas pelaksanaan pembinaan melalui pidana penjara [1]. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP Nasional) yang berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 mendatang seakan membawa angin segar bagi sistem pemidanaan di Indonesia karena lebih mengedepankan penjatuhan pidana yang tidak bersifat merampas kemerdekaan (non-custodial measurer).
Berlakunya KUHP Nasional berimplikasi pada tidak dikenalnya lagi lembaga pidana bersyarat dalam penyelesaian perkara pidana oleh karena KUHP Nasional telah menawarkan jenis pidana baru yang juga tidak bersifat merampas kemerdekaan yaitu pidana pengawasan. Pidana pengawasan merupakan bentuk penyesuaian dari perkembangan sistem peradilan pidana modern berbagai negara di dunia dan merupakan peningkatan dari pidana bersyarat [2] [3]. Namun perlu ditelaah kembali apakah pidana pengawasan yang diatur dalam KUHP Nasional identik dengan pidana bersyarat yang saat ini masih berlaku? Lalu apa saja perbedaannya? berkaca pada pengalaman yang lalu bahwa pidana bersyarat juga tidak cukup populer digunakan oleh para hakim sehingga pidana penjara masih tetap menjadi primadona dalam penegakan hukum di Indonesia.[5]
Mengenang Lembaga Pidana Bersyarat.
Sejak tahun 1927 pidana bersyarat telah dikenal di bumi pertiwi yang terpaut sekira dua belas tahun dari pemberlakuan lembaga tersebut di negara asalnya yaitu Belanda yang pada saat itu disebabkan belum dibentuknya lembaga reklasering di Indonesia [4]. Belanda bukanlah negara yang pertama kali menerapkan lembaga pidana bersyarat melainkan belanda telah mengadopsi dan memodifikasi lembaga pidana sejenis yang lebih dahulu diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Belgia dan Prancis sehingga saat ini dikenal adanya lembaga pidana bersyarat yang bersifat menunda pelaksanaan eksekusi pidana yang dikombinasikan dengan pemberian bantuan kepada terpidana dalam memperbaiki perilakunya selama masa percobaan melalui lembaga reklasering [6].
Pidana bersyarat diatur dalam Pasal 14a s.d. Pasal 14f KUHP yang pada pokoknya mengatur apabila hakim menjatuhkan pidana penjara selama satu tahun maka hakim dapat memerintahkan agar pidana tersebut tidak usah dijalani dalam putusannya apabila terpidana memenuhi syarat-syarat tertentu yang terbagi menjadi syarat umum dan syarat khusus [7]. Singkatnya syarat umum bersifat imperatif dan harus selalu diterapkan oleh hakim untuk ditentukan bahwa selama masa percobaan terpidana tidak boleh sama sekali melakukan tindak pidana atau perbuatan terlarang lainnya dan syarat khusus bersifat fakultatif dalam arti hakim dapat menerapkan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat yang berkenaan dengan penggantian kerugian yang ditimbulkan atau hal lain yang secara bebas dapat hakim tentukan untuk dilakukan oleh terpidana asalkan perbuatan tersebut tidak membatasi kebebasan terpidana dalam melakukan kegiatan beragama dan berpolitik [4].
Apabila dihubungkan dengan Pasal 10 KUHP maka dapat dimengerti alasan pidana bersyarat tidak dimasukan kedalam salah satu jenis pidana pokok oleh karena hakikat dari lembaga pidana bersyarat itu sendiri adalah bersifat menunda pelaksanaan eksekusi pidana penjara, kurungan maupun denda [6]. Lain halnya dengan sistem probation yang diterapkan di Amerika Serikat dimana lembaga probation bersifat menunda penjatuhan pidana sehingga terdakwa hanya dinyatakan terbukti bersalah tanpa dijatuhi pidana terlebih dahulu untuk selanjutnya ditetapkan masa percobaan [8].
Rumusan Pasal 14a ayat (1) KUHP juga mengisyaratkan bahwa penggunaan pidana bersyarat bergantung pada kehendak hakim yang ditentukan pada lamanya pidana penjara atau kurungan yang akan dijatuhkan yaitu maksimal satu tahun sehingga penjatuhan pidana bersyarat bukan bergantung pada lamanya pidana penjara yang diancamkan pada suatu delik[7].
Sejatinya sifat penundaan pelaksanaan pidana dalam lembaga pidana bersyarat telah memberi kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki perilakunya secara mandiri maupun melalui bantuan lembaga reklasering sehingga sifat perampasan kemerdekaan atas pidana yang dijatuhkan akan hilang apabila terpidana memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hakim. Sebaliknya hukuman baru dilaksanakan apabila terpidana tidak memenuhi syarat-syarat tersebut sehingga akan tercipta suatu keadaan layaknya Pedang Damokles bagi terpidana karena pada dasarnya maksud penjatuhan pidana bersyarat adalah memperbaiki pelaku kejahatan tanpa menggunakan suatu hukuman yang bersifat merampas kemerdekaan [6]. Pidana bersyarat merupakan salah satu solusi bagi permasalahan overkapasitas lembaga pemasyarakatan saat ini, bahkan pidana bersyarat juga dipandang sebagai pintu masuk proses restoratif dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Indonesia oleh karena syarat khusus dalam pidana bersyarat telah memberikan panggung dan perhatian lebih kepada korban tindak pidana dimana terpidana dapat dihukum untuk mengganti kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya sehingga tak ayal pidana bersyarat telah dijadikan opsi dalam pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2024 [9].
Sayangnya penggunaan pidana bersyarat masih kurang dilirik oleh para penegak hukum karena masih banyak yang memandang pidana penjara merupakan bentuk hukuman yang paling efektif dan mudah dilaksanakan [5]. Kurang komprehensifnya pengaturan dan sosialisasi menimbulkan kesimpangsiuran dikalangan para penegak hukum khususnya mengenai tindaklanjut pelaksanaan pidana penjara atas terlanggarnya putusan pidana bersyarat terlebih juga terdapat pandangan skeptis dari sebagian hakim terhadap lembaga pidana bersyarat sehingga penggunaan lembaga pidana bersyarat dalam praktik peradilan di Indonesia tidak berjalan secara efektif [1].
Mengenal Kerancuan Pidana Pengawasan dalam KUHP Nasional
Pidana bersyarat tidak lagi diberlakukan dalam KUHP Nasional namun sebagai gantinya telah diperkenalkan jenis pidana baru yang juga bersifat non-perampasan kemerdekaan yaitu pidana pengawasan vide Pasal 75 s.d. Pasal 77 KUHP Nasional [10]. Menariknya pidana pengawasan telah ditempatkan sebagai pidana pokok dalam KUHP Nasional, walaupun dalam penjelasan Pasal 75 KUHP Nasional pidana pengawasan tetap diakui sebagai salah satu jenis pidana pokok yang sebenarnya merupakan cara pelaksanaan dari pidana penjara sehingga tidak secara khusus diancamkan dalam perumusan suatu tindak pidana. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pidana pengawasan serupa dengan pidana bersyarat yang dianotasikan substansi pengaturannya memiliki kemiripan namun dengan beberapa perbaikan dan detail yang lebih jelas dari pada pidana bersyarat [3]. Kedudukan tersebutlah yang membedakan pidana pengawasan dengan pidana bersyarat secara fundamental.
Perbedaan lainnya terdapat pada penggunaan pidana pengawasan yang bergantung pada lamanya pidana penjara yang diancamkan dalam suatu delik yaitu paling lama tahun. Berbeda halnya dengan pidana bersyarat yang penerapannya digantungkan pada kehendak hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara terhadap terdakwa yaitu maksimal satu tahun [7]. Aturan diatas juga berimplikasi pidana pengawasan hanya dapat diterapkan terhadap pidana penjara saja sedangkan pidana bersyarat dapat diterapkan secara lebih luas karena mencakup pelaksanaan pidana penjara, kurungan maupun pidana denda vide Pasal 14a ayat (1) dan ayat (2) KUHP [4].
Syarat umum dan syarat khusus masih dikenal dalam pidana pengawasan bahkan penerapannya juga tetap tidak terlepas dari peran lembaga reklasering yang dalam hal ini dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Lembaga reklasering tidak lagi diperintahkan secara khusus untuk memberikan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat pidana pengawasan sehingga sedikit melenceng dari tujuan pembentukan lembaga reklasering itu sendiri apabila dikaji secara historis maupun filosofis [7]. Ironisnya saat ini justru telah terjadi kekosongan dasar hukum berkenaan dengan pelaksanaan pidana bersyarat oleh karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan telah mencabut ketentuan perundang-undangan sebelumnya tanpa mengakomodir masa transisi pemberlakukan KUHP Nasional atau dengan kata lain sampai dengan tanggal 1 Januari 2026 mendatang tidak ada lembaga reklasering yang secara resmi memberikan bantuan kepada terpidana pidana bersyarat di Indonesia.
Walaupun KUHP Nasional menjelaskan alasan pencantuman pidana pengawasan sebagai jenis pidana merupakan konsekuensi dari penerimaan hukum pidana yang memerhatikan keseimbangan kepentingan perbuatan dengan keadaan pelaku tindak pidana demi mengembangkan alternatif pidana penjara [3], namun dengan diakuinya pidana pengawasan sebagai cara pelaksanaan pidana justru menjadi paradoks yang berkonsekuensi hukum yaitu pidana pengawasan selalu dijatuhkan bersamaan dengan pidana penjara. Uniknya KUHP Nasional juga mengatur agar pelaksanaan pidana pengawasan tetap dilanjutkan apabila terpidana melanggar syarat umum vide Pasal 77 KUHP Nasional yang menurut Penulis juga akan menimbulkan kerancuan dalam tataran praktik khususnya ketika terpidana kembali melakukan pelanggaran atas syarat umum. Singkatnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama maka hukum acara dan produk hakim dalam menindaklanjuti terlanggarnya syarat-syarat dalam pidana pengawasan perlu digagas dan lebih diperhatikan demi menjamin efektifitas penggunaan pidana pengawasan.
Penutup
Walaupun sama-sama merupakan alternatif pemidanaan yang tidak bersifat merampas kemerdekaan (non-custodial measurer), namun pada dasarnya terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara pidana bersyarat dengan pidana pengawasan yang digagas dalam KUHP Nasional. Penempatan pidana pengawasan kedalam salah satu jenis pidana pokok tentu akan menimbulkan kerancuan dalam tataran praktik peradilan karena penempatan tersebut justru telah menyimpang dari hakikat pidana bersyarat itu sendiri yang sejatinya merupakan penundaan pelaksanaan pidana (eksekusi).
Referensi
[1] J. P. Raharjo, “Optimalisasi Pidana Bersyarat Melalui Penerapan Keadilan Restoratif,” Universitas Islam Riau, 2023.
[2] Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta, 2015.
[3] E. O. S. Hiariej and T. Santoso, Anotasi KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers, 2025.
[4] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1-Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2019.
[5] Zainal Abidin dan Anggara, Hukuman Tanpa Penjara Pengaturan, Pelaksanaan, dan Proyeksi Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan di Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), 2019.
[6] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: PT. Alumni, 2016.
[7] Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
[8] Puteri Hikmawati, “Pidana pengawasan sebagai pengganti pidana bersyarat menuju keadilan restoratif,” no. 1, pp. 71–88, 2016.
[9] Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana. Jakarta: Universitas Trisakti, 2009.
[10] E. O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Penyesuaian KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers, 2024.