Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang sangat memuliakan Hak Asasi Manusia (HAM), terbukti pada hukum dasarnya yaitu dalam Pasal 28A-28J UUD 1945, kemudian dipertegas dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998, dan secara khusus diatur dalam UU HAM. Seluruh peraturan tersebut sepakat akan pengakuan dan jaminan hidup dan kehidupan bagi setiap individu sebagai bagian masyarakat. Akan tetapi pengakuan HAM seakan berbanding terbalik dengan lembaga pidana mati yang masih digunakan dalam ketentuan Hukum Pidana di Indonesia.
Pemenuhan nilai HAM yang berkeadilan dalam pidana mati masih memerlukan penelitian lebih lanjut, dimana penelitian ini diharapkan mampu menjawab dua pokok permasalahan yaitu: pertama, bagaimana perubahan pengaturan pidana mati dalam KUHP Nasional? Kedua, bagaimana implikasi penerapan pidana mati setelah KUHP Nasional berlaku? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pergeseran makna HAM dalam perubahan pengaturan pidana mati di KUHP serta dampak penerapannya.
Pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam KUHP Nasional Indonesia
Penerapan hukuman mati dalam KUHP lama sangat berbeda dengan KUHP Nasional (KUHPN). Pidana mati diklasifikasikan sebagai pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP lama sementara Pasal 98 KUHPN menjadikannya pengancaman secara alternatif sebagai upaya mencegah tindak pidana dan untuk mengayomi masyarakat. Pasal 67 KUHPN menyatakan pidana mati dalam undang-undang khusus lainnya juga selalu diancamkan secara alternatif. Kedua Pasal tersebut dalam penjelasannya sepakat menyatakan tindak pidana tersebut harus diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Ketentuan pidana mati itu sendiri juga ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan kekhususannya sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Pasal 100 KUHPN mengamanatkan hakim untuk menjatuhkan pidana mati dalam putusannya dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun. Kemudian terpidana mati yang menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji selama masa percobaan, maka pidananya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Cara pelaksanaan pidana mati adalah ditembak sampai mati oleh regu tembak atau cara lain yang ditentukan undang-undang, dengan dasar pertimbangan sampai saat ini cara tersebut adalah dinilai paling manusiawi, dan apabila kemudian hari ternyata ada cara lain yang lebih manusiawi, maka akan disesuaikan. Kemudian ketentuan pelaksanaan pidana mati bagi perempuan hamil juga berbeda, dimana harus ditunda sampai ia melahirkan dan si bayi tidak lagi mengonsumsi air susu ibu, yang dimaksudkan agar pidana mati itu sendiri tidaklah menjadi pembunuhan terhadap 2 (dua) makhluk dan untuk menjamin hak asasi dari si bayi yang baru dilahirkan.
Implikasi Ketentuan Pidana Mati dalam KUHP Nasional
Penulis menilai beberapa ketentuan tersebut akan berpotensi menimbulkan persoalan terhadap pelaksanaan pidana mati tersebut. Pertama, terkait waktu pelaksanaan pidana mati dikaitkan dengan masa percobaan. Frasa “dapat” dalam Pasal 99 ayat (1) KUHPN menimbulkan multitafsir apakah mengharuskan terpidana mengajukan permohonan grasi terlebih dahulu kemudian menunggu permohonan tersebut ditolak oleh Presiden atau dapat langsung dilaksanakan. Jika dapat langsung dilaksanakan, maka tidak ada masalah karena langsung masuk penghitungan masa percobaan. Akan tetapi jika hal tersebut dijadikan alasan bagi terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi, demikian karena harus menunggu penolakan, dan oleh karena tidak ada batasan waktu pengajuan permohonan grasi oleh terpidana, maka tentu tidak ada kepastian terhadap tenggang waktu pelaksanaan pidana mati tersebut.
Persoalan kedua, terkait pemanfaatan waktu masa percobaan dan penghitungan masa tunggu pidana mati dalam Pasal 101 KUHPN dikaitkan dengan upaya hukum peninjauan kembali. Terpidana mati memiliki hak mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali atau permohonan grasi tanpa batas waktu, sehingga dapat memanfaatkan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun terlebih dahulu baru kemudian mengajukan permohonan grasi. Permohonan peninjauan kembali atau pun permohonan grasi setelah masa percobaan pada akhirnya akan memasuki penghitungan masa tunggu pidana mati pada Pasal 101 KUHPN. Perlu juga memerhatikan pengajuan permohonan grasi dan peninjauan kembali dalam waktu bersamaan atau yang tidak terlalu lama, maka keputusan grasi menunggu putusan peninjauan kembali dahulu sebagaimana ketentuan Pasal 14 UU Grasi. Hal tersebut menyiratkan semakin kaburnya penghitungan masa tunggu terpidana mati yang tentunya berpengaruh pada kepastian waktu pelaksanaan pidana mati.
Persoalan ketiga, multitafsir frasa “dapat” pada ketentuan Pasal 101 KUHPN terkait masa tunggu 10 (sepuluh) tahun jika grasi ditolak. Terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak kemudian pidana matinya belum dilaksanakan setelah masa tunggu, maka pidana matinya dapat diubah menjadi penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Frasa “dapat” menjadi momok ketidakjelasan bagi Presiden apakah harus menetapkan perubahan pidana tersebut atau menjadi pilihan. Jika menjadi pilihan, maka secara tersirat hak terpidana menjadi kabur karena ia atau keluarganya melihat ada harapan bagi terpidana tersebut untuk tetap hidup walau direnggut kebebasannya alih-alih setelah masa tunggu tersebut tercapai tetapi pelaksanaan mati tetap dilaksanakan. Selain itu dari sisi politik estafet sendiri apakah Presiden pada akhirnya akan mengeluarkan keputusan untuk merubah pidana mati itu sendiri yang notabene sebelumnya telah menolak permohonan grasinya.
Penutup
Persoalan-persoalan yang terdapat dalam ketentuan pidana mati pada prinsipnya dapat menjadi pedang bermata dua baik bagi terpidana atau pemerintah khususnya Kejaksaan sebagai pelaksana putusan pidana mati. Semangat KUHPN secara tersurat dan tersirat mengarah pada pergeseran pemenuhan HAM yang adil dan berkeadilan bagi terpidana namun sekaligus potensial menimbulkan ketidakpastian waktu pelaksanaan pidana mati. Selain itu, hak terpidana untuk mengajukan Peninjauan Kembali atau pengajuan grasi kepada Presiden dapat menjadi kabur. Ujung-ujungnya ketika dilakukan eksekusi putusan pidana mati dapat menimbulkan polemik di masyarakat.
Mengacu pada segala persoalan yang potensial dalam penerapan pidana mati, Penulis menilai masih ada kesempatan bagi Pemerintah atau pemangku kepentingan terkait untuk mengatur teknis pelaksanaan pidana mati berdasarkan Pasal 102 KUHPN yang mengamanatkan ketentuan tata cara pelaksanaan pidana mati diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang kemudian. Salah satu jalan tengah tentu dengan mengatur secara tegas jadwal atau penjabaran waktu kegiatan dalam persiapan pelaksanaan pidana mati tersebut di dalam peraturan yang khusus. Jangan sampai setiap lembaga yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana membuat peraturan internal sendiri untuk petunjuk pelaksanaan pidana mati.
Referensi
[2] O. G. Usmonovna and O. B. Kholmurodovich, “In the History of the Ancient World, the Death Penalty,” JournalNX - A Multidiscip. Peer Rev. J., vol. 6, no. 8, pp. 100–106, 2021, [Online]. Available: https://repo.journalnx.com/index.php/nx/article/view/722
[3] T. Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana, 1st ed. Depok: Rajawali Pers, 2023.
[4] D. M. Putri, “Hukuman Pidana Mati dalam KUHP Baru dan Perspektif Abolisionalis serta Retensionis,” Eksekusi J. Ilmu Huk. Dan Adm. Negara, vol. 2, no. 4, pp. 1–13, 2024, doi: https://doi.org/10.55606/eksekusi.v2i4.1451.
[5] J. R. G. Dotulong, O. A. Pangkerego, and R. V. Karamoy, “Fungsi dan Pelaksanaan Pidana Mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,” Lex Adm., vol. 10, no. 3, pp. 1–13, 2022.