Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) menandai babak baru dalam sistem hukum pidana Indonesia. Salah satu wujud pembaruan itu tampak dari dimuatnya pengakuan terhadap hukum adat dalam Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan bahwa hukum pidana nasional tetap memberi ruang bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Pengakuan ini tidak bersifat mutlak, melainkan harus selaras dengan prinsip-prinsip dasar negara serta nilai-nilai yang terkandung dalam KUHP itu sendiri.
Kehadiran ketentuan ini menunjukkan adanya kehendak untuk menjadikan hukum adat sebagai bagian dari sistem pemidanaan nasional. Namun demikian, pengakuan ini sekaligus membawa konsekuensi bahwa eksistensi hukum adat harus mendapat penegasan secara formal. Di sinilah letak urgensi pemerintah daerah untuk menggali, merumuskan, dan menetapkan norma hukum adat yang masih hidup di wilayahnya ke dalam bentuk peraturan daerah. Tanpa hal tersebut, hukum adat hanya akan menjadi pengetahuan sosial yang tidak bisa dijadikan dasar pertanggungjawaban pidana.
Dengan latar itu, tulisan ini hadir untuk mengkaji ulang posisi hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum pidana, menganalisis eksistensinya dalam KUHP Nasional, serta menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mendukung implementasi norma tersebut melalui pembentukan peraturan daerah. Penelitian ini hendak menjawab apa itu hukum adat dalam konteks sebelum adanya KUHP Nasional, bagaimana eksistensinya dalam KUHP Nasional, dan mengapa keterlibatan pemerintah daerah menjadi kunci dalam pengakuannya secara hukum.
Hukum Adat Sebelum KUHP Nasional
Sebelum KUHP Nasional hadir, hukum pidana adat telah lebih dahulu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai aturan hidup yang mencerminkan rasa keadilan dan nilai-nilai sosial yang dianut bersama . Hukum ini lahir dari kebiasaan masyarakat dalam menyelesaikan pelanggaran melalui kesepakatan bersama dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berbeda dengan pendekatan retributif yang fokus pada pemberian hukuman sebagai balasan atas perbuatan pelaku, hukum pidana adat lebih mengutamakan pendekatan restoratif, yaitu dengan memulihkan keadaan dan hubungan sosial yang terganggu.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, hukum pidana adat tetap dijalankan di tengah upaya penerapan hukum pidana Belanda. Masyarakat pribumi tetap diberi ruang untuk mempertahankan sistem hukum pidana adatnya, asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial atau ketertiban umum versi penguasa. Hal ini menyebabkan hukum pidana di Indonesia berjalan dalam dua jalur yaitu hukum pidana Barat untuk kalangan tertentu dan hukum pidana adat untuk masyarakat adat. Dalam praktiknya, penyelesaian perkara pidana di bawah hukum adat sering mengutamakan perdamaian, pengakuan kesalahan, dan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Setelah Indonesia merdeka, hukum pidana adat tidak serta-merta hilang. Banyak masyarakat adat di berbagai daerah masih mempertahankan hukum pidana mereka, meskipun pengaruh hukum nasional perlahan mulai masuk. Hukum pidana adat tetap menjadi cerminan kebutuhan masyarakat akan sistem penyelesaian perkara yang lebih sederhana, cepat, dan berbasis nilai lokal. Keberadaan hukum pidana adat sebelum berlakunya KUHP Nasional memperlihatkan bahwa hukum ini bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian penting dalam pembentukan karakter hukum pidana nasional yang berorientasi pada keadilan sosial dan pemulihan hubungan antarwarga.
Eksistensi Hukum Adat dalam KUHP Nasional
Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional memberikan pengakuan eksplisit terhadap hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum pidana yang hidup dalam masyarakat. Prinsip dasar yang mendasarinya adalah asas nulla poena sine jure, yang bermakna bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila terdapat hukum yang mengatur, termasuk yang tidak tertulis. Ini memberikan legitimasi bagi hukum adat untuk menjadi sumber hukum dalam menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana.
Namun, ketentuan ini tidak berlaku secara sembarangan. Hukum adat tidak hanya memuat sanksi, tetapi juga mengandung prinsip pembebasan atau pengampunan yang mencerminkan keadilan yang seimbang antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat, sebagaimana dianut dalam KUHP Nasional. Penerapan Pasal 2 ayat (1) juga hanya dimungkinkan terhadap perbuatan yang tidak diatur secara eksplisit dalam KUHP. Artinya, hukum adat hanya berlaku sebagai pelengkap, bukan pengganti ketentuan pidana yang telah ada.
Lebih lanjut, cakupan hukum adat yang dimaksud terbatas pada tindak pidana ringan, serta hanya berlaku apabila norma tersebut masih diakui dan dijalankan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam penerapannya, norma tersebut juga harus tunduk pada nilai-nilai dasar negara, konstitusi, hak asasi manusia, serta prinsip moral universal. Langkah ini diperlukan untuk mempertegas keberlakuan hukum adat dalam sistem hukum nasional, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan pentingnya adanya peraturan daerah guna memberikan kejelasan mengenai tindak pidana yang bersumber dari hukum adat.
Peran Penting Pemerintah Daerah Dalam Mengaktualisasikan Hukum Adat di KUHP Nasional
KUHP Nasional memberikan ruang yang sangat penting bagi hukum adat untuk dapat hidup dan diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Namun, ruang ini hanya akan berarti jika pemerintah daerah turut mengambil peran besar dalam mengkodifikasikan hukum adat menjadi peraturan daerah yang jelas dan terperinci. Tanpa langkah ini, penerapan hukum adat dalam KUHP Nasional bisa terhambat, dan potensi besar untuk menciptakan keadilan yang sesuai dengan kearifan lokal akan sia-sia. Hukum adat hanya akan menjadi kata tanpa makna jika tidak ada regulasi yang mendasarinya.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah memegang kunci untuk menjadikan hukum adat sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Dengan mengkodifikasikan hukum adat dalam bentuk peraturan daerah, pemerintah daerah memberikan legitimasi hukum yang sah dan memperjelas batasan-batasan tindak pidana adat. Inilah langkah krusial yang diperlukan untuk memastikan bahwa hukum adat tidak hanya diakui dalam teori, tetapi juga dapat diterapkan dengan tegas dan jelas dalam praktik. Tanpa peraturan daerah, hukum adat akan tetap terjebak dalam ketidakjelasan dan bisa saja terabaikan oleh masyarakat yang membutuhkan keadilan adat mereka.
Pemerintah daerah harus melangkah lebih jauh dari sekadar memberi pengakuan terhadap hukum adat. Mereka harus berani menetapkan peraturan daerah yang mengatur secara rinci mengenai tindak pidana adat, yang tentunya harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar negara. Langkah ini bukan hanya soal pengakuan, tetapi juga tentang mewujudkan keadilan yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal, yang selama ini mungkin terpinggirkan oleh dominasi hukum nasional.
Dengan keberanian untuk mengkodifikasikan hukum adat, pemerintah daerah tidak hanya menguatkan eksistensi hukum adat itu sendiri, tetapi juga membantu mewujudkan sistem hukum yang lebih inklusif dan sensitif terhadap keragaman budaya di Indonesia. Tanpa kontribusi nyata dari pemerintah daerah, hukum adat dalam KUHP Nasional tidak akan bisa berjalan maksimal. Oleh karena itu, keberhasilan penerapan hukum adat dalam KUHP Nasional sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah untuk mengesahkan hukum adat melalui peraturan daerah, memastikan bahwa keadilan tidak hanya dirasakan di tingkat nasional, tetapi juga mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Penutup
Tulisan ini telah menguraikan bahwa hukum adat dalam konteks pidana adalah sistem norma yang bersifat lokal, tidak tertulis, dan hidup dalam praktik sosial masyarakat. KUHP Nasional mengakui eksistensinya melalui Pasal 2 ayat (1), dengan berbagai batasan yang menunjukkan bahwa hukum adat memiliki posisi pelengkap dalam sistem hukum nasional, selama tidak bertentangan dengan nilai dasar negara.
Agar ketentuan tersebut dapat diberlakukan secara efektif, maka kehadiran peraturan daerah menjadi syarat yang tidak bisa ditawar. Pemerintah daerah menjadi pihak yang memegang tanggung jawab strategis dalam menghidupkan kembali hukum adat melalui proses legislasi. Dengan demikian, norma hukum pidana yang lahir dari akar budaya masyarakat tidak hanya diakui, tetapi juga benar-benar dapat diterapkan sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang berkeadilan dan inklusif.
Referensi
[1] D. R. Tene, A. Muliyono, and N. Lahangatubun, “Implikasi Penerapan Hukum Pidana Adat Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Pasca Pembaruan Hukum Pidana Nasional Indonesia,” Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan, vol. 22, no. 2, pp. 29–41, 2023, doi: 10.30863/ekspose.v22i2.4151.
[2] S. J. M. RI, “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah,” Jdih.Bapeten.Go.Id, pp. 1–21, 1945. Available: https://jdih.bapeten.go.id/en/dokumen/peraturan/undang-undang-dasar-negara-republik-indonesia-tahun-1945
[3] F. Hikmah and R. A. Agustian, “Konvergensi Konsep Retribusi dan Rehabilitasi dalam Filsafat Hukum Pidana Kontemporer Indonesia,” vol. 05, no. November, pp. 217–228, 2023.
[4] N. Mubarok, “Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia: Menyongsong Kehadiran KUHP 2023 dengan Memahami dari Aspek Kesejarahan,” Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, vol. 27, no. 1, pp. 15–31, 2024, doi: https://doi.org/10.15642/alqanun.2024.27.1.15-31.
[5] Prof. Edward Omar Sharif Hiariej dan Prof. Topo Santoso., Anotasi KUHP Nasional. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2025.
[6] J. W. Presiden Republik Indonesia, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” no. 16100, pp. 1–345, 2023.
[7] Y. Halawa, K. Siburian, and H. Siregar, “Hak Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah,” Journal of Constitutional and Administrative Law, vol. 01, pp. 35–44, 2022. Available: https://ejournal.uhn.ac.id/index.php/administrative_law/article/download/556/588/4474
[8] Yoserwan, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Dalam Hukum Pidana Nasional Setelah Pengesahan Kuhp Baru,” UNES Law Review, vol. 5, no. 4, pp. 1999–2013, 2023, doi: 10.31933/unesrev.v5i4.577.