PERAN HAKIM UNTUK MENUMBUHKAN RASA PENYESALAN DAN MEMBEBASKAN RASA BERSALAH TERPIDANA DALAM TUJUAN PEMIDANAAN KUHP NASIONAL

13 August 2025 | Muhammad Nurulloh Jarmoko
Muhammad Nurulloh Jarmoko

format_quote

Latar Belakang

Permasalahan tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut, dimana penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan pokok yaitu: Pertama, apa hakikat rasa penyesalan dan rasa bersalah? dan yang kedua bagaimana peran hakim untuk menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana dalam proses persidangan dan yang ketiga bagaimana peran hakim untuk menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana dalam pertimbangan di putusan? Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang paradigma baru tujuan pemidanaan dalam KUHP Nasional serta menjelaskan peran sentral hakim dalam menjatuhkan putusan yang sesuai tujuan pemidanaan KUHP Nasional.

Hakikat Makna Penyesalan dan Rasa Bersalah Pada Terpidana

Jika disimpulkan bahwa rasa penyesalan bukan hanya perasaan yang bersifat emosional, tetapi menjadi indikator bahwa Terdakwa mampu menyelaraskan dirinya kembali dengan norma- norma rasa keadilan. Begitu pula dengan rasa bersalah adalah bukti bahwa seseorang memahami keberlakuan hukum yang telah diinternalisasi ke dalam sanubari manusia tersebut, bukan sekadar mematuhi karena takut hukuman.

Dari permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa penyesalan hadir karena merugikan diri sendiri (intrapersonal) yang sebelumnya ada karena terjadinya pergulatan moral dari diri Terpidana dan rasa bersalah terjadi karena karena sadar telah merugikan orang lain (interpersonal) dalam hal ini adalah korban. Pergulatan moral tersebut untuk menyelaraskan dirinya kembali dengan norma dan nilai keadilan;

Peran Hakim untuk Menumbuhkan Rasa Penyesalan dan Membebaskan Rasa Bersalah Pada Terpidana dalam Proses Persidangan

Selaras dengan hal tersebut pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif menyatakan pada pokoknya bahwa Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.

Dalam persidangan selanjutnya dijelaskan dalam pasal 8 ayat (2) PERMA tersebut menegaskan adanya dialog dalam persidangan yaitu korban hadir dalam persidangan menceritakan mengenai kronologis tindak pidana yang dialami olehnya selanjutnya menjelaskan kerugian yang timbul dan/atau kebutuhan korban sebagai akibat dari tindak pidana tersebut, juga menjelaskan perdamaian antara terdakwa dan korban sebelum persidangan dan juga menjelaskan pelaksanaan kesepakatan atau perjanjian karena adanya perdamaian tersebut, dalam hal telah ada perdamaian. Proses ini memungkinkan terdakwa untuk memahami kerugian yang ditimbulkan, meminta maaf, dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini selaras untuk menumbuhkan rasa bersalah dari Terdakwa.

Peran Hakim Untuk Menumbuhkan Rasa Penyesalan dan Membebaskan Rasa Bersalah Pada Terpidana dalam Penjatuhan Putusan

Dari penjelasan diatas kemudian dapat dipraktikan dalam putusan dengan beberapa cara yakni hakim dapat menyampaikan nasihat atau peringatan yang bersifat mendidik, menekankan pentingnya perubahan perilaku dan tanggung jawab moral. Kata-kata yang bijaksana dari hakim dapat memotivasi dan memberikan ruang refleksi bagi terpidana untuk menyesali perbuatannya dan terbebas dari rasa bersalah.

Dalam KUHP Nasional banyak terdapat pilihan jenis pemidanaan yang beragam sehingga hakim perlu melihat jenis pidana yang cocok dan sepadan kepada diri terdakwa. Disebutkan dalam pasal 65 ayat (1) KUHP Nasional antara lain terdiri dari pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial. Pasal tersebut menegaskan pada dasarnya pemidanaan tersebut merupakan alternatif dari pidana penjara.

Selain itu pula pasal 103 ayat (1) KUHP Nasional menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan tindakan bersama dengan pidana pokok dengan berbagai macam jenis yaitu berupa konseling, rehabilitasi, pelatihan kerja, perawatan di lembaga dan/ atau perbaikan akibat Tindak Pidana. Pilihan pemidanaan tersebut diatas dapat dipilih hakim secara arif dan bijaksana agar sesuai dengan tujuan pemidanaan yang selaras dengan pendekatan keadilan rehabilitatif. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat dapat berperan secara aktif agar terpidana bermanfaat bagi masyarakat dan juga pada diri terpidana.

Penutup

Berdasarkan kajian terhadap tiga rumusan masalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan dalam KUHP Nasional khususnya pasal 51 huruf (d) menekankan pentingnya menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Rasa penyesalan mencerminkan pergulatan moral terpidana untuk menyelaraskan diri dengan norma keadilan, sedangkan rasa bersalah terkait kesadaran akan kerugian yang berkaitan dengan diluar dirinya dalam hal ini terhadap korban.

Hakim berperan sentral dalam persidangan dengan menerapkan keadilan restoratif yaitu memfasilitasi dialog antara terpidana dan korban untuk memicu rasa penyesalan dan mendengarkan penyesalan dari terdakwa. Dalam penjatuhan putusan, hakim dapat menggunakan pendekatan rehabilitatif yaitu memilih pidana alternatif seperti pidana pengawasan, kerja sosial, atau tindakan rehabilitasi.

Pendekatan keadilan restoratif dan rehabilitatif memungkinkan hakim akan memberikan putusan yang adil, juga secara perlahan akan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana sesuai tujuan pemidanaan dalam KUHP Nasional.

Referensi

[2] S. Hanafi, “Hakim Sebagai Tokoh Sentral Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,” Bilancia, vol. 15, p. 208, 2021.

[3] S. T. Aquinas, The summa theologica: Complete edition. Catholic Way Publishing, 2014.

[4] M. Berndsen, J. van der Pligt, B. Doosje, and A. Manstead, “Guilt and regret: The determining role of interpersonal and intrapersonal harm,” Cogn. Emot., vol. 18, no. 1, pp. 55–70, 2004.

[5] M. Zaim, H. P. Tua, and N. Jamaludin, “Etika Profesi Hakim,” al-Rasῑkh J. Huk. Islam, vol. 12, no. 1, pp. 60–69, 2023.

[6] U. Prasetya, “Analisis Asas Audi Et Alteram Partem dalam Proses Persidangan Perkara Perdata (Perkara Nomor 20/Pdt. G/2019/PN Pwr),” Amnesti J. Huk., vol. 2, no. 2, pp. 57–75, 2020.

[7] Eddward O.S Hiarriej, “Prinsip-prinsip hukum pidana,” Yogyakarta Cahaya Atma Pustaka, 2016.

[8] F. Hikmah and R. A. Agustian, “Konvergensi Konsep Retribusi dan Rehabilitasi dalam Filsafat Hukum Pidana Kontemporer Indonesia,” Crepido, vol. 05, no. November, pp. 217–228, 2023.