PERAN HAKIM MENEGAKKAN KEADILAN DALAM PERSPEKTIF PASAL 53 DAN 54 KUHP

13 August 2025 | Andi Ramdhan Adi Saputra
Andi Ramdhan Adi Saputra

format_quote

Latar Belakang

Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), telah memberikan wawasan baru terkait penerapan hukum pidana di Indonesia. Salah satu kaidah baru termuat pada Pasal 53 ayat (2), “Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”.

Mengurai fungsi kekuasaan kehakiman pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kemudian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan, “Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa". Maka teranglah bahwa tujuan hukum yang ingin dicapai oleh pendiri bangsa dan pembentuk undang-undang adalah “keadilan” itu sendiri.

Keberlakuan KUHP lama mendorong hukum Indonesia bercorak positivisme, tercermin dengan pemberlakuan asas legalitas. Namun, dengan diberlakukannya KUHP baru diharapkan mampu mendorong hakim untuk kembali ke khittahnya sebagai penemu hukum serta penegak keadilan, bukan sekedar penegak undang-undang. Selanjutnya yang menjadi isu dalam kajian ini adalah bagaimanakah hakim mewujudkan keadilan dalam perkara konkret dengan menerapkan Pasal 53 dan 54 KUHP? Kajian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan pasal tersebut, agar ditemukan keseimbangan dalam penjatuhan pidana, sehingga keadilan dapat ditegakkan sebagai tujuan hukum yang paling utama.

Peran Hakim dalam Menegakkan Keadilan

Penjelasan Pasal 53 ayat (2) KUHP menguraikan kepastian dan keadilan merupakan tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Suatu peraturan perundang-undangan yang lebih menuntut kepastian, maka akan membuat keadilan semakin terdesak. Pembentuk undang-undang menyadari bahwa kepastian dan keadilan terkadang berada di sisi yang berseberangan. Nuansa positivisme yang kental, terkadang membuat aspek keadilan terabaikan. Sehingga diperlukan peran aktif hakim dalam menyeimbangkan aspek keadilan dan kepastian.

Mewujudkan rasa keadilan sebagaimana Pasal 53 KUHP dapat ditempuh dengan mengombinasikannya dengan Pasal 54 KUHP. Hakim tidak hanya menilai benar salahnya perbuatan terdakwa, namun juga wajib mempertimbangkan hal-hal yang melekat pada diri pelakunya, sehingga paradigma daad-dader strafrecht yang menjadi ruh dari KUHP bisa terwujud, hal tersebut akan dijabarkan satu persatu dalam paragraf selanjutnya.

Selain mempertimbangkan perbuatan pidananya, hakim wajib pula mempertimbangkan “bentuk kesalahan pelaku”. Hakim harus menilai bahwa perbuatan tersebut dilandasi iktikad jahat dari pelaku, yang merupakan perwujudan dari kesalahannya. Selain itu, hakim harus pula mempertimbangkan ada tidaknya alasan pemaaf yang mendorong terdakwa melakukan perbuatannya tersebut.

Hakim wajib mempertimbangkan “motif dan tujuan melakukan tindak pidana”. Paradigma lampau yang menyatakan bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan karena bukan merupakan unsur suatu delik, dinilai tidak relevan lagi. Mempertimbangkan motif seorang pelaku, akan memberikan wawasan tambahan kepada hakim untuk menjatuhkan strafmach yang tepat. Jika pelaku didorong dengan motif jahat (misalnya mencuri karena tamak) maka tentu hukumannya dapat diperberat. Sedangkan sebaliknya seorang melakukan delik dengan motif terpaksa (misalnya mencuri karena lapar), maka hakim dapat menjatuhkan vonis yang lebih ringan, atau bahkan memberikan pemaafan jika tindak pidananya bersifat ringan.

Sikap batin merupakakan wujud dari keadaan mental terdakwa, sehingga hakim wajib mempertimbangkan “sikap batin pelaku”. Apa yang terjadi dalam pikirannya sebelum atau pada saat melakukan kejahatan. Sikap batin seseorang nampak pada cara ia melakukan perbuatannya. Akibatnya pun, telah disadari sebagai konsekuensi dari tindakannya. Perbuatan yang didasari dengan sikap batin yang disengaja, maka harus mendapatkan vonis yang lebih berat, daripada perbuatan yang terjadi karena kelalaiannya.

Hakim wajib mempertimbangkan, “tindak pidana direncanakan atau tidak”. Hal tersebut menunjukkan suatu perbuatan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu telah melibatkan sikap batin yang matang, dari awal perbuatan hingga timbulnya akibat sebagai tujuannya. Kondisi tersebut tentunya layak dihukumi lebih berat, ketimbang pelaku melakukan delik dengan tiba-tiba, tanpa perencanaan. Sebagai contoh dapat dilihat pada pasal 459 KUHP, pembunuhan berencana diancam hingga pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama dua puluh tahun. Ketimbang pasal 458 ayat (1) KUHP, pembunuhan biasa diancam pidana lebih ringan yaitu maksimal lima belas tahun penjara.

Perbuatan pidana yang dilakukan dengan cara-cara yang keji, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan harus dihukumi lebih berat, dibanding perbuatan yang dilakukan dengan cara-cara yang biasa. Oleh karenanya hakim harus mempertimbangkan “cara melakukan tindak pidana”.

Hakim wajib mempertimbangkan “sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan perbuatannya. Terkadang pada kasus konkret, setelah melakukan tindak pidana, terdakwa menunjukkan rasa bersalahnya dengan meminta maaf kepada korban dan memberikan ganti kerugian. Bagi pelaku seperti itu harus dihukumi lebih ringan, dibandingkan dengan terdakwa yang setelah melakukan perbuatannya tidak menunjukkan rasa penyesalan. Meskipun ia menyadari perbuatannya adalah salah.

Hakim wajib mempertimbangkan “riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku”. Selain menilai perbuatannya, hakim juga harus menilai keseharian hidup terdakwa. Apakah ia memiliki pribadi yang kesehariannya baik ataukah tidak, apakah ia memiliki kedudukan sosial dalam masyarakat, dan apakah ia merupakan orang berkecukupan materi atau tidak. Kondisi-kondisi tersebut menjadi pertimbangan hakim untuk mengukur strafmach yang dijatuhkan.

Seorang kesehariannya berperilaku buruk yang meresahkan kemudian melakukan kejahatan, harus dihukumi lebih berat dibandingkan orang yang kesehariannya berprilaku baik. Sedangkan orang yang memiliki posisi sosial sebagai pejabat, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan publik figur merupakan panutan yang harus menjadi contoh, sehingga jika melakukan delik harus dihukumi lebih berat ketimbang masyarakat biasa. Orang kaya atau berkecukupan jika melakukan tindak pidana, harus dihukumi lebih berat ketimbang warga miskin yang melakukan tindak pidana pencurian misalnya karena terpaksa.

Hakim wajib mempertimbangkan “pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku”. Terkadang ditemui pelaku tindak pidana masih berusia muda, sedang menempuh pendidikan, dan memiliki potensi yang harus dikembangkan. Oleh karenanya, hakim harus tetap mempertimbangkan agar pidana yang dijatuhkan tidak akan merusak masa depan, mental, dan semangatnya untuk mengejar cita-cita.

Hakim wajib mempertimbangkan, “pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarganya”. Pada perkara konkret, seperti kejahatan seksual terhadap anak, cenderung akan memberikan trauma yang mendalam bagi korban dan keluarganya. Untuk itu kejahatan yang yang memberikan dampak traumatis berkepanjangan, kepada pelakunya harus dihukum lebih berat daripada tindak pidana yang berdampak relatif singkat.

Suatu perkara yang mendapatkan pemaafan dari korban, baik itu melalui proses diversi, keadilan restoratif, maupun secara sukarela, hakim harus mepertimbangkannya untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibanding pelaku yang tidak mendapatkan pemaafan dari pihak korban. Sehingga faktor “pemaafan dari korban dan/atau keluarganya” harus dipertimbangkan.

Hakim wajib mempertimbangkan nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Hakim harus menyadari bahwa ia tidak hidup di ruang hampa, ada nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus peka pada nilai kearifan dalam masyarakat dimana ia bertugas. Misalnya budaya “siri” pada suku Bugis Makassar, seorang melakukan suatu tindak pidana karena merasa kehormatannya dinodai. Masyarakat tersebut akan menilai perbuatannya itu sebagai hal yang terhormat, namun perbuatan itu tetap sebagai tindak pidana. Oleh karenanya hakim wajib mempertimbangkan nilai tersebut dalam menjatuhkan vonis.

Perlu ditekankan bahwa hakim memiliki kebebasan, tidak hanya terbatas apa yang diuraikan di atas. Hakim harus mampu menggali segala potensi yang dimiliki untuk mewujudkan keadilan dalam menilai suatu perkara konkret dalam masyarakat.

Penutup

Paradigma daad-dader strafrecht sebagai ruh KUHP, tidak hanya berfokus pada perbuatan pidana saja, namun lebih tertuju pada pelakunya. Paradigma tersebut akan mendorong terciptanya keadilan dalam suatu perkara konkret. Oleh karenanya, suatu perkara sejenis terkadang harus dinilai berbeda jika dilihat dari latar belakang pelakunya.

Pedoman pada pasal 54 ayat (1) KUHP dapat menjadi rujukan hakim untuk menerapkan keadilan yang dimaksud pada Pasal 53 KUHP. Namun tentunya diharapkan keaktifan hakim agar dapat menilai suatu perkara secara holistik tidak hanya dari sisi perbuatan saja, namun lebih penting dari sisi pelakunya. Hal tersebut semata-mata untuk menegakkan hukum dan lebih utama menegakkan keadilan.

Referensi

[2] D. R. Afdhali and T. Syahuri, “Idealitas penegakkan hukum ditinjau dari perspektif teori tujuan hukum,” Coll. Stud. J., vol. 6, no. 2, pp. 555–561, 2023.

[3] Sri Pujianti, “Peran Hakim dalam Penegakan Hukum dan Keadilan.” Accessed: Apr. 22, 2025. [Online]. Available: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18316&menu=2

[4] J. Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jili I, Pertama. Jakarta Pusat: Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

[5] A. R. A. Saputra, “Seri KUHP Nasional III: Asas Retroaktif.” Accessed: Apr. 20, 2025. [Online]. Available: https://marinews.mahkamahagung.go.id/hukum/seri-kuhp-nasional-iii-asas-retroaktif-0fc